PENDERITAAN
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang: {“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan rugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling bertaushiyah dalam kebenaran dan kesabaran.”}(Q. S. Al-Ashr).
1. Setelah turunnya wahyu yang pertama kepada Rasulullah SAW, istri beliau yaitu Khadijah ra pergi bersama beliau kepada paman Khadijah yaitu Waraqah bin Naufal untuk bertanya kepadanya tentang apa yang beliau lihat dan beliau dengar. Waraqah berkata,”Sesungguhnya itulah An-Namus (malaikat Jibril) yang juga telah turun menemui Musa bin Imran. Mudah-mudahan aku masih ada ketika kaummu mengusirmu sehingga aku dapat membantumu dengan bantuan yang memberi kekuatan.” Rasulullah SAW bertanya,”Apakah mereka akan mengusirku, wahai paman.” Waraqah berkata,”Benar. Tidak seorang pun yang datang membawa ajaran seperti yang engkau bawa kecuali dia dimusuhi.”
Rasulullah SAW bersabda: [“Ketahuilah bahwa kepemimpinan Islam senantiasa beredar. Maka bergabunglah kalian di manapun dia berada. Ketahuilah bahwa kekuasaan dan Al-Quran kelak akan terpisah maka berpegang teguhlah dengan Al-Quran. Ketahuilah bahwa kalian akan dipimpin oleh para penguasa yang sesat dan menyesatkan. Apabila kalian mengikuti mereka maka mereka akan menyesatkan kalian dan apabila kalian menentang mereka maka mereka akan membunuh kalian. Para sahabat bertanya,”Apa yang harus kami lakukan, wahai Rasulllah SAW?” Beliau menjawab,”Lakukanlah sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat Isa. Mereka memberikan dukungan dan menyebarkan seruan. Demi Zat yang menggenggam jiwa Muhammad, sungguh kematian di jalan Allah adalah lebih baik daripada hidup dalam kemaksiyatan.”]. (H. R. Abu Nuaim, berkaitan dengan dalil-dalil kenabian.). Allah SWT telah menyampaikan kisah-kisah para Nabi kepada Rasul-Nya sebagai penjelasan baginya tentang apa yang telah dialami oleh para nabi tersebut seperti penolakan, pendustaan dan penganiayaan serta apa yang membuat beberapa orang di antara mereka memperoleh predikat ulul ‘azmi. Kisah-kisah itu disampaikan dalam rangka meneguhkan hati Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman kepada beliau: {“Maka bersabarlah sebagaimana kesabaran ulul ‘azmi dari kalangan para Rasul.”}(Q. S. Al-Ahqaf: 35). Dengan demikian, masyarakat adalah masyarakat (kapanpun dan di manapun berada) sehingga upaya untuk mengubahnya pun akan menghadapi apa yang dihadapi orang-orang terdahulu seperti penghinaan, penolakan, pendustaan, penentangan dan penyerangan. Bahkan, kita hampir-hampir mendengar perkataan orang-orang pada saat ini sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Nabi Nuh as: {“Tidaklah kami melihat orang-orang yang mengikutimu kecuali hanya orang-orang rendah yang bodoh di antara kami dan kami tidak melihat kelebihan kalian dibandingkan dengan kami.”}(Q. S. Hud: 27). Itu pula perkataan yang akan didengar oleh para pengemban dakwah saat ini.
Oleh karena itu, wajib bagi para aktivis untuk membangkitkan umat, mengangkat martabatnya dan mengubah apa-apa yang yang terdapat dalam jiwa-jiwanya sehingga Allah akan mengubah keadaannya: {“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat dalam sebuah kaum hingga mereka sendiri mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka itu.”}(Q. S. Ra’du: 11). Para aktivis harus membulatkan tekad dan menjaga semangatnya untuk menghadapi lawan-lawan mereka, mengalahkan musuh-musuh mereka, senantiasa meneladani Rasulullah SAW dan bertawakal kepada Allah SWT. Allah telah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia sebagai peringatan bagi orang-orang mukmin berkaitan dengan penderitaan yang akan mereka alami dan bahaya yang akan mereka hadapi. {“Dan ingatlah ketika kalian masih berjumlah sedikit dan tertindas di muka bumi. Kalian takut orang-orang akan menculik kalian maka Allah memberi kalian tempat menetap dan menguatkan kalian dengan pertolongan-Nya.”}(Q. S. Al-Anfal: 26). Benar, merupakan kewajiban bagi mereka -yaitu orang-orang yang menghendaki kebangkitan- untuk mengkaji apa yang telah dialami oleh Rasulullah SAW dan para sahabat beliau. Bagaimana ujian yang telah Allah berikan kepada mereka bagaimana kedudukan mereka. Ujian itu diberikan dalam rangka menempa dan membangun jiwa mereka, mengemban apa yang diperintahkan Allah kepada mereka yaitu ilmu dan amal serta mengetahui apa yang diinginkan dan apa yang didakwahkan mereka. Aktivitas untuk mewujudkan kebangkitan itu dalam realitas kehidupan harus disertai dengan kesungguhan dan kerja keras serta kesanggupan menghadapi ujian dan cobaan. Dengan demikian, kesiapan jiwa, rasa tanggung jawab dan kepemimpinan atas umat tersebut mengharuskan adanya pengetahuan mengenai apa-apa yang dituntut oleh tanggung jawab dan kepemimpinan itu sendiri.
Salah satu kewajiban terpenting yang dituntut oleh pertanggungjawaban dan kepemimpinan adalah pertanggungjawaban atas satu milyar lebih orang Islam dan pertanggungjawaban atas masa depan dunia secara keseluruhan, untuk merealisasikan firman-Nya: {“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian umatan wasathan (umat pilihan) agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian.”}(Q. S. Al-Baqarah: 143).
Salah satu kewajiban terpenting yang dituntut oleh pertanggungjawaban adalah ilmu mengenai apa yang diinginkan. Apabila tidak, maka bagaimana mungkin seorang penanggung jawab dapat menjadi orang yang memikul tanggung jawab apabila dia tidak mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya? Dan bagaimana mungkin kaumnya mau mengikuti pemimpin seperti itu yakni orang yang tidak mengetahui ke arah mana mereka akan dia pimpin? Adalah benar perkataan yang berbunyi,”Sesungguhnya sebuah umat tidak akan memberikan kepemimpinannya kepada orang yang bodoh dan pengecut.” Hal itu bukan berarti saya tetap diam menunggu hingga menguasai seluruh ilmunya, melainkan saya akan membulatkan tekad untuk mengetahui apa yang merupakan kewajiban saya, mengetahui apa yang saya butuhkan berkaitan dengan tanggung jawab yang saya pikul serta melakukan aktivitas berdasarkan pengetahuan yang telah sampai kepada saya atau telah saya ketahui itu. Rasulullah SAW menyampaikan apa yang beliau dengar dari wahyu dan semua yang telah diwahyukan Allah kepada beliau tanpa menunggu sampai pengetahuan dan ilmu beliau sempurna. Beliau terus berdakwah, melakukan tabligh dan menjalankannya selama dua puluh tiga tahun. Beliau senantiasa menyampaikan ayat atau surat atau hadits. Rasulullah SAW telah bersabda: [“Sampaikankanlah dariku walaupun satu ayat.”](H. R. Bukhari, Muslim, imam ahmad dan Tirmidzi, dari Ibnu Umar). Rasulullah SAW juga bersabda: [‘Allah memuliakan seseorang yang telah mendengar dariku sebuah hadits kemudian dia menghafalnya sehingga dia dapat menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang menyampaikan masalah fikih kepada orang yang lebih mengetahui daripada dirinya. Dan banyak orang yang menyampaikan masalah fikih padahal dia bukan ahli fikih.”](H. R. Imam Ahmad dalam musnadnya, Tirmidzi dan Ibnu Hibban dalam shahihnya, dari Ibnu Mash’ud). Itu berkaitan dengan individu. Adapun berkaitan dengan kutlah (partai politik) maka kutlah pun sama wajibnya untuk memahami apa yang hendak dituju, untuk memahami tanggung jawabnya serta untuk mengetahui posisi dan kepemimpinannya atas para pengemban dakwah dan juga umat, bahkan bagi dunia ketika kutlah tersebut berada di pusat kepemimpinan yang bersifat riil. Hal itu mengharuskan kutlah untuk menetapkan grand design secara lengkap berkaitan dengan apa yang hendak ditujunya agar dapat membina para kadernya berdasarkan grand design tersebut dan agar dapat meraih kepercayaan dan kepemimpinan umat dengan grand design tersebut. Kutlah juga harus memahami fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia sekelilingnya agar partai politik itu dapat menganalisisnya dengan akurat dan memberikan solusi yang tepat. Peristiwa dan fakta-fakta tersebut tidak akan pernah berhenti sehingga tindakan mengambil posisi atau membuat analisis dan solusi atas hal itu merupakan perkara yang harus dilakukan. Hal itu dilakukan dalam rangka mengikuti apa yang terdapat dalam Al-Quran Al-Karim. Al-Quran turun mensikapi fakta dan peristiwa yang ada serta menyingkapkan tipu daya dan persekongkolan yang terjadi. Kemudian, membantahnya dengan bantahan yang bersifat pemikiran atas hal-hal yang terjadi itu. Maka, ketika ada seseorang yang melarang orang lain untuk melaksanakan shalat, turunlah ayat Al-Zajirah: {“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran atau dia menyuruh untuk bertakwa? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidakkah dia mengetahui bahwa Allah melihat segala perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti niscaya Kami akan menarik ubun-ubunnya. Yaitu ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.”}(Q. S. Al-‘Alaq: 9-16). Oleh karena itu, wajib bagi kutlah (partai politik) untuk menyampaikan pendapatnya berkaitan dengan peristiwa dan fakta yang terjadi serta mengambil posisi yang seharusnya atas hal itu. Partai politik itu tidak boleh gentar menerima celaan dari orang yang suka mencela ketika berada di jalan Allah sehingga tidak tunduk kepada penguasa dan tidak pula menjilat kepada para pemimpin serta tidak berdiam diri terhadap kemungkaran. {“Mereka menginginkan supaya engkau bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak juga.”}(Q. S. Al-Qalam: 9). Itulah tindakan bersungguh-sungguh dalam meraih ilmu dan sabar dalam mengahadapi rintangan. Hal itu sebagaimana yang terjadi pada Bilal. Suatu waktu dia dipukuli dan disiksa sehingga hatinya merasa sedih. Dia pergi menemui Rasulullah SAW untuk mengadu. Dia berkata,”Wahai Rasulullah, seandainya engkau mendoakan mereka agar binasa.” Maka Rasulullah SAW pun diam dan berjalan dengan Bilal hingga beliau bersandar pada dinding Kabah dan berkata kepada Bilal,”Wahai Bilal, sesungguhnya aku berdoa kepada Allah agar seorang penggembala dapat menggembalakan ternaknya dari negeri Yaman hingga Al-Farat tanpa merasa takut kecuali oleh Allah dan srigala.” Ini adalah pelajaran yang disampaikan Rasulullah SAW kepada para sahabat beliau hingga mereka terangkat sampai tingkatan para pemimpin dan tokoh. Adapun perkataan beliau kepada keluarga Yasir,”Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Sesungguhnya imbalan bagi kalian adalah surga.” Sumayah ibu Amr menjawab perkataan beliau,”Seakan-akan aku telah melihatnya di hadapanku, wahai Rasulullah.” (Sirah Ibnu Hisyam –Mukhtashar Sirah Ibnu Hisyam- Darun Nafais halaman 57). Itulah pelajaran yang lain dan dengan jenis yang lain yaitu tahan menghadapi siksaan dan sabar dalam menghadapi cobaan.
2. Penderitaan yang berkaitan dengan permusuhan yang dilakukan anak, keluarga dan karib kerabat.
Sebuah syiir mengatakan:
Kezaliman karib kerabat lebih menyakitkan jiwa
dibandingkan tusukan ujung pedang yang tajam
Sesungguhnya hal itu merupakan sunatullah yang terjadi pada orang-orang terdahulu. Allah telah menyampaikan kisah-kisah kepada Rasulullah SAW berkaitan dengan peristiwa yang menimpa para nabi terdahulu. Nabi Nuh yang diuji dengan istri dan anaknya: {“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya.”}(Q. S. At-Tahrim: 10). Allah SWT juga berfirman: {“Dan Nuh memanggil anaknya sedangkan anaknya itu berada di tempat yang jauh terpencil,”Wahai anakku, naiklah bersma kami dan janganlah engkau berada bersama orang-orang yang kafir. Anaknya berkata,”Aku akan mencari perlindungan ke atas gunung yang dapat menyelamatkan aku dari air bah.” Nuh berkata,”Hari ini tidak ada yang dapat berlindungi dari azab Allah Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya. Maka jadilah anak itu termasuk golongan orang-orang yang ditenggelamkan.”}(Q. S. Hud: 42-43). Allah SWT juga telah menyampaikan kisah-kisah beberapa kaum dan perilaku mereka terhadap para nabi. Allah menyampaikan kepada beliau kisah tentang perilaku Bani Israil dan pembunuhan mereka terhadap para nabi mereka tanpa alasan yang dibenarkan. {“Tidak akan engkau temukan perubahan dalam sunatullah.”}(Q. S. Fatir: 43). Lalu ujian apa yang dialami oleh Rasulullah SAW dari keluarga beliau? Ada paman beliau yang bernama Abu Lahab dan istrinya. Ada kaum Quraisy dan para tokohnya. Ada orang-orang Arab yang melempari beliau. Inilah doa beliau ketika kembali dari Thaif,”Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku, sedikitnya kekuatanku serta kelemahanku di hadapan manusia, wahai Zat Yang Maha Penyayang. Engkau adalah Tuhan dari orang-orang yang lemah dan Engkau adalahTuhan-ku. Kepada siapa aku bersandar? Apakah kepada orang yang menganiayaku? Apakah kepada orang yang jauh dan menerimaku dengan muka masam? Ataukah kepada musuh yang telah menghalangi urusanku? Apabila kemurkaan-Mu tidak akan menimpa diriku aku tidak akan peduli, tetapi pengampunan-Mu untukku lebih luas lagi. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang telah menerangi kegelapan dan memperbaiki urusan dunia dan akherat, dari turunnya kemurkaan-Mu atau dari datangnya kemarahan-Mu atas diriku. Engkaulah yang berhak memberikan peringatan hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali karena-Mu.” (lihat Sirah Ibnu Hisyam jilid I hal. 420).
Dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap para sahabat dan penentangan anak-anak mereka atau bapak-bapak mereka atau ibu-ibu mereka atau karib kerabat mereka terhadap mereka, akan ditemukan contoh-contoh yang baik (patut dijadikan renungan). Ada Abu Bakar yang diuji dengan ayah dan anaknya. Abu Ubaidah yang diuji dengan ayahnya. Said bin Abi Waqash yang diuji dengan ibunya. Orang-orang yang melakukan hijrah ke Habsyi dengan meninggalkan agama mereka terdahulu. Mereka tidak mempunyai penolong dari kalangan keluarga dan karib kerabat mereka kecuali Allah. Cukuplah Allah sebagai penolong. Inilah yang akan dialami juga oleh partai politik (kutlah) dan para kadernya yaitu penderitaan. Dengan demikian, dituntut adanya kesabaran menghadapi keluarga dan karib kerabat. Sikap yang harus diambil mereka dalam posisi seperti itu adalah menghadapi keadaan tersebut. Dengan demikian, seorang individu atau partai politik tidak boleh berharap akan menjadi kuat, kokoh dan memperoleh kemenangan kecuali setelah mengalami ujian dan cobaan.
3. Penderitaan dan sikap sabar dalam menghadapi masyarakat. Merupakan sesuatu yang sudah diketahui bahwa sebuah masyarakat akan menampakkan sikap permusuhan dan penentangan terhadap setiap pemikiran baru yang hendak mengubah model kehidupan yang telah mereka bentuk dan tata kehidupan yang telah mereka jalankan. Hal itu terjadi apabila berkaitan dengan perubahan yang menyeluruh dalam ‘alaqat (hubungan) yang mengikat sebagian mereka dengan sebagian yang lain dan apabila berkaitan dengan asas yang melandasi terbentuknya masyarakat mereka dan asas yang melahirkan kemaslahatan dan sistem peraturan mereka. Dalam hal itu perasaan dan pengindraan mereka adalah satu. Kita memiliki suri tauladan yang baik dalam diri Rasulullah SAW. Dakwah beliau yang mengajak untuk mengesakan penyembahan kepada Allah bukanlah hal yang membangkitkan kemarahan orang-orang Quraisy dan orang-orang Arab. Sebelumnya telah terdapat orang yang menyeru pada hal tersebut misalnya yang dilakukan oleh sekelompok orang yang hanif seperti Waraqah bin Naufal dan Al-Qas bin Saadah al-Ibadi yang melakukan orasi di pasar ‘Ukazh. Dia berkata,”Qas bersumpah kepada Allah dengan sumpah yang tidak mengandung dosa di dalamnya bahwa Allah memiliki agama yang lebih baik dari agama yang kalian anut.” Tetapi orang-orang Arab tidak memusuhi dia dan tidak menentangnya. Hal itu terjadi karena tidak menyinggung hubungan yang berlangsung di antara mereka. Tidak pula menyinggung kemaslahatan mereka serta model dan tata kehidupan mereka. Tetapi ketika mereka mendengar Rasulullah SAW berkata kepada mereka,”Katakanlah oleh kalian,”Tidak ada Tuhan selain Allah” maka kalian akan memperoleh kebahagiaan.” Dan juga ketika mereka mendengar dari beliau apa yang terdapat dalam Al-Quran maka mereka memahami lebih jauh dari itu dan menjadi jelas bagi mereka bahwa beliau hendak mengubah pandangan hidup mereka, menghancurkan institusi tersebut dan membangun institusi baru dengan landasan yang juga baru serta pandangan hidup yang baru pula. Semua itu akan menghancurkan kepentingan mereka dan meruntuhkan kepemimpinan mereka serta menjadikan kekuasaan berada di tangan Allah atau di tangan orang selain mereka. Oleh karena itu, perlawanan dan permusuhan mereka serta upaya yang mereka lakukan adalah dalam rangka untuk menghentikan dakwah. Maka terjadilah pergolakan antara Rasulullah dan para sahabat di satu pihak dengan orang-orang Quraisy dan orang-orang Arab di pihak yang lain. Terjadi penganiayaan terhadap orang-orang seperti Bilal, Amar, Yasir, Sumayah, Abdullah bin Mash’ud dan yang lainnya. Terjadi pula hijrah yang dilakukan oleh orang-orang yang mampu melakukannya seperti Jafar, Utsman, Abdullah bin Jahsyi dan yang lainnya. Sungguh indah apa yang disampaikan Allah berkaitan dengan penderitaan yang mereka alami dan juga kesabaran mereka atas penderitaan tersebut, melalui firman-Nya: {“Dan ingatlah ketika kalian masih berjumlah sedikit dan tertindas di muka bumi. Kalian takut orang-orang akan menculik kalian. Maka Allah memberi kalian tempat menetap dan dijadikan-Nya kalian kuat dengan pertolongan-Nya.”}(Q. S. Al-Anfal: 26). Keadaan tersebut membuat individu dan juga partai politik merasa khawatir atas dirinya yaitu khawatir bahwa orang-orang akan menganiayanya dan menghancurkan keberadaannya. Pemboikotan dan pengucilan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah, orang-orang yang bersama beliau dan orang-orang yang mendukung beliau, di bukit-bukit yang berada di pinggiran kota Makkah merupakan salah satu pukulan saja dari pukulan-pukulan yang dilancarkan mereka dan merupakan salah satu cara untuk melakukan penentangan.
Oleh karena itu, wajib bagi kutlah atau hizb apapun untuk melakukan aktivitas mengubah masyarakat atau mengubah hubungan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, mengubah sistem peraturan yang mengatur hubungan-hubungan tersebut, mengubah pandangan hidup masyarakat, membangun masyarakat berdasarkan pemikiran dan perasaan yang baru, mengatur hubungan yang terjadi dalam masyarakat dengan hukum-hukum yang baru, menjaga sistem peraturan yang mengatur hubungan dalam masyarakat tersebut dengan landasan dan kaidah yang baru, melakukan penanganan urusan-urusan masyarakat dengan model yang baru dan mewujudkan pandangan hidup tertentu yang dapat menjelaskan makna keberadaan mereka dalam kehidupan ini.
Kutlah atau hizb apapun yang menempuh semua aktivitas tersebut harus menyadari bahwa pengucilan, pemboikotan, penganiayaan dan pemutusan mata pencaharian merupakan sebagian perkara yang akan ditemui pada saat berupaya dan beraktivitas untuk mewujudkan fikrahnya dalam realitas kehidupan. {“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan dicukupkan pahalanya tanpa batas.”}(Q. S. Az-Zumar: 10). Mereka memiliki sifat: {“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta salaing bertaushiyah dalam kebenaran dan kesabaran.”}(Q. S. Al-Ashr: 3). Atau firman-Nya: {“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya. Keadaannya telah melampaui batas.”}(Q. S. Al-Kahfi: 26).
{“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan dicukupkan pahalanya tanpa batas.”}(Q. S. Az-Zumar: 10).
Penderitaan Bersama Sistem Peraturan dan Para Penguasa
Sesungguhnya yang menjadi tujuan kita adalah mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan, yakni menjadikan hukum-hukum Islam sebagai pengatur bagi perilaku individu dan sebagai pengatur bagi hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat. Kedaulatan harus berada di tangan hukum syara dan Islam harus diemban ke seluruh dunia hingga hujah dapat ditegakkan terhadap manusia dan dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya kebenaran. Itulah makna perwujudan Islam dalam realitas kehidupan. Itu berarti terciptanya bangunan umat, terciptanya perubahan dalam masyarakat serta tegaknya negara yang memberlakukan Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Aktivitas tersebut, disamping dilakukan dalam rangka membangun umat serta mengubah pemikiran dan perasaan masyarakat, aktivitas itu juga dilakukan dalam rangka menjelaskan kerusakan hubungan-hubungan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Baik hubungan yang terjadi antara sebagian individu dengan individu lainnya ataupun hubungan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pelaksana –penguasa- ataupun rusaknya hubungan antar struktur aparat pelaksana itu sendiri maupun rusaknya kewenangan setiap bagian dari struktur tersebut. Sesungguhnya aktivitas tersebut walaupun dilakukan dalam bentuk pemikiran saja dan berupa penetapan garis lurus di hadapan garis yang bengkok semata, tetapi hal itu akan membuat cemas para aparat pelaksana sistem, membangkitkan kemarahan mereka dan mendorong mereka untuk menghentikan dakwah tersebut dengan berbagai cara termasuk menjebloskannya ke dalam penjara. Hal itu terjadi karena mereka menyadari bahwa eksistensi fikrah tersebut di tengah-tengah umat berarti kehancuran bagi kekuasaan mereka dan terganggunya kepentingan mereka.
Sesungguhnya Firaun merupakan contoh yang tepat di tengah-tengah manusia dari aspek tindakannya yang melampaui batas dan sewenang-wenang, yaitu pada saat dia berbuat kezaliman dan bersikap arogan serta pada saat dia menganggap orang lain lebih rendah dan lebih hina dibandingkan dirinya sehingga dia meminta dirinya disembah oleh orang-orang: {“Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagi kalian selain aku.”}(Q. S. Al-Qashsash: 38). Allah SWT telah mensifati Firaun sebagai orang yang termasuk golongan pembuat kerusakan, orang yang telah bertindak melampaui batas dan sebagainya. Akan tetapi, Firaun yang sewenang-wenang dan arogan ini masih mau mengadu hujah dengan hujah dan mengadu bukti dengan bukti. Allah berfirman melalui lisan Firaun: {“Siapakah Tuhan kalian berdua, wahai Musa?” Musa menjawab,”Tuhan kami adalah Tuhan yang telah memberikan kepada setiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk.” Firaun bertanya,”Bagaimana keadaan umat-umat terdahulu?” Musa menjawab,”Pengetahuan tentang hal itu berada pada sisi Tuhanku di dalam sebuah kitab. Tuhan kami tidak akan salah dan juga tidak akan lupa.”}(Q. S. Thaha: 50). Pada keadaan seperti itu Firaun menoleh kepada orang-orang terdekatnya dan para penasehatnya. Mereka pun berkata: {“Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukanmu yang mulia.”}(Q. S. Thaha: 63). Para penasehatnya berkata kepadanya: {“Tundalah dia dan saudaranya. Kirimkanlah orang-orang yang akan mengumpulkan (para ahli sihir) ke seluruh negeri. Niscaya mereka akan mendatangkan ahli sihir yang mahir kepadamu.”}(Q. S. Asy-Syuara: 37). Kemudian Firaun menoleh kepada Musa dan berkata: {“Apakah kamu datang kepada kami untuk mengusir kami dari negeri kami dengan sihirmu, wahai Musa?” Dan kami pun pasti akan mendatangkan kepadamu sihir semacam itu. Maka buatlah suatu waktu untuk pertemuan kami dan kamu. Kami tidak akan menyalahinya dan tidak pula kamu berada pada tempat yang pertengahan.” Musa berkata,”Waktu untuk pertemuan dengan kalian itu adalah di hari raya dan kumpulkanlah manusia pada saat dhuha (matahari naik sepenggalan).”}(Q. S. Thaha: 57-59). Sungguh indah dialog yang terdapat dalam surat Thaha itu, yaitu antara Nabi Musa as dengan Firaun yang melampaui batas itu.
Maha Suci Allah, Firaun yang digelari dengan orang yang melampaui batas dan lalim masih bersedia untuk mengadu argumentasi dan bukti dengan disaksikan dan didengarkan oleh masyarakat. Apabila seperti itu keadaan orang yang digelari sebagai orang yang zalim dan sewenang wenang, lalu apa sebutan bagi para penguasa masa sekarang yang tidak mau menerima kritikan atas hukum atau perundang-undangan atau sistem peraturan yang mengatur hubungan-hubungan di antara masyarakat. Tidak ada balasan bagi orang yang melakukan kritik tersebut kecuali penjara dan penyiksaan atau pembunuhan atau pengusiran. Itulah fakta yang harus dihadapi oleh kutlah yang beraktivitas membangkitkan umat. Selain jalan tersebut, tidak ada jalan lain yang dapat mengantarkan pada tegaknya bangunan umat, perbaikan masyarakat, perubahan sistem peraturan dan terwujudnya fikrah dalam realitas kehidupan. Hal itu karena masyarakat hanya dapat tegak di atas hubungan-hubungan yang terus-menerus di tengah-tengah masyarakat tersebut. Kritik terhadap hubungan tersebut berarti kritik terhadap sistem peraturan yang sedang diberlakukan. Kritik terhadap sistem peraturan yang berlaku berarti upaya untuk menghancurkannya. Upaya untuk menghancurkan sistem peraturan, dalam pandangan seorang penguasa adalah kejahatan. Pelakunya, dalam pandangan undang-undang adalah seorang pelaku kriminal yang berhak untuk di jatuhi sanksi. Upaya untuk mengubah hubungan-hubungan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat menuntut adanya pengungkapan tentang kerusakan hubungan-hubungan dan sistem peraturan tersebut. Dengan demikian, penderitaan dan sikap sabar menghadapi penderitaan tersebut merupakan suatu keniscayaan. Oleh karena itu, imbalannya sangat tinggi dan pahalanya pun sangat besar. [“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan orang yang berdiri (melakukan koreksi) di hadapan seorang penguasa zalim lalu dia dibunuh.”]. Adakah imbalan yang lebih tinggi dan pahala yang lebih besar dari orang yang menempati posisi sebagai pemimpin para syuhada –yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib- singa Allah dan paman dari Rasulullah SAW.
Lalu bagaimana memadukan dua hal yang bertentangan itu? Di satu sisi, aktivitas tersebut berupaya mengungkapkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan sedangkan di sisi lain mesti mengungkapkan kerusakan hubungan-hubungan yang terjadi di antara masyarakat dan kerusakan sistem peraturan yang menjaga hubungan-hubungan tersebut; baik itu hubungan yang bersifat ekonomi atau sosial ataupun tsaqafah. Berkaitan dengan hal itu, penejelasam adalah sebagai berikut. Konstitusi dan perundang-undangan lainnya merupakan ketentuan yang membatasi hubungan-hubungan tersebut dan menjelaskan tata cara menjalankannya. Mulai dari pengaturan di jalan raya hingga peraturan mengenai perkataan yang diucapkan seseorang. Juga yang berkaitan dengan barang-barang dagangan yang dijualbelikan atau rumah yang disewakan atau barang yang diambil manfaatnya atau mobil yang dikendarai atau wanita yang dinikahi atau harta warisan yang ditinggalkan atau sekolah yang dibuka untuk umum atau materi yang dipelajari. Semuanya itu merupakan hubungan-hubungan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dan dijalankan oleh para penguasa. Upaya mengungkapkan kerusakan apapun dalam perkara tersebut berarti mengungkapkan kerusakan penguasa dan para aparat pelaksana negara. Hal itu merupakan tindakan kejahatan yang akan mengantarkan pelakunya ke penjara atau pada kematian. Tindakan yang mengutamakan keselamatan menuntut sikap berdiam diri dari melakukan aktivitas tersebut. Lalu, bagaimana kita menyelaraskan antara aktivitas tersebut dengan keselamatan? Di satu sisi, aktivitas tersebut berarti penjara dan kebinasaan. Di sisi lain, sikap berdiam diri berarti dosa dan kemurkaan dari Allah SWT.
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk melakukan aktivitas tersebut: {“Harus ada di antara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan (Islam) serta memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebahagiaan.”}(Q. S. Ali Imran: 104). Rasulullah SAW bersabda: [“Lakukanlah amar ma’ruf dan nahyi munkar oleh kalian atau Allah akan menjadikan kalian dikuasai oleh orang-orang jahat di antara kalian sehingga ketika orang-orang baik di antara kalian berdoa, doa mereka itu tidak dikabulkan.”](H. R. Al-Bazar dan Thabrani dalam kitab Al-Ausath). Rasulullah juga bersabda: [“Orang yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran adalah syetan yang bisu.”]. Lalu bagaimana kita menyelaraskan antara aktivitas tersebut dengan penjara dan antara ketaatan kepada Allah dengan keselamatan?
Inilah perkara yang akan menyebabkan penderitaan serta menuntut sikap sabar menghadapi penderitaan tersebut. Hal itu juga mengharuskan adanya sikap saling menasehati dalam kesabaran. Inilah yang menentukan makna keberadaan manusia dalam kehidupan. Ada yang mengalami kerugian yang sangat besar. Ada pula yang melakukan aktivitas tersebut serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dan itu merupakan keuntungan yang sangat besar.
Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan,”Demi Allah, seandainya aku tidak mendapatkan penentangan dari keluargaku dan orang-orang bersikap akrab terhadapku; seandainya aku tidak menemukan halangan dan rintangan dari manusia, tidak mendapatkan penganiayaan dan penyerangan dari sistem peraturan yang diberlakukan di negeri-negeri Islam niscaya aku akan merasa ragu apakah aku sudah berada di jalan yang telah Rasulullah tempuh. Hal itu karena yang menjadi ukuranku adalah sabda Rasulullah SAW: [“Tidak ada lagi kata istirahat setelah ini, wahai Khadijah.”] Manhajku adalah satu yaitu jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, kisah-kisah yang telah disampaikan Allah berkaitan dengan perjalanan para nabi dan rasul terdahulu serta perkara-perkara yang dialami mereka dari kaum dan keluarga mereka. Sungguh tepat perkataan Waraqah bin Naufal ketika dia berkata kepada Rasulullah SAW,”Semoga aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu sehingga aku dapat menolongmu dengan pertolongan yang dapat memberikan kekuatan.” Rasulullah SAW bertanya,“Apakah mereka akan mengusirku, wahai paman?” Waraqah menjawab,”Benar. Tidak ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran seperti yang engkau bawa itu kecuali dia dimusihi.” Allah SWT berfirman: {“(Itu) merupakan sunatullah yang berlaku atas orang-orang yang terdahulu sebelum(mu) dan kamu tidak akan menemukan perubahan pada sunatullah itu.”}(Q. S. Al-Ahzab: 62).
Allah SWT berfirman: {“Demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat pilihan agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian.”}(Q. S. AL-Baqarah: 143). Allah SWT juga berfirman: {“Kalian adalah sebaik-baik umat yang diciptakan untuk manusia. Kalian memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.”}(Q. S. Ali Imran: 110). Umat manakah yang dimaksud itu?
Itu adalah umat Islam. Dalilnya adalah apa yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib dan apa yng didiktekan oleh Muhammad Rasulullah SAW pada pembukaan konstitusi yang ditandatangani oleh para tokoh kaum pada saat Rasulullah SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Pasal pertama dari konstitusi tersebut adalah definisi umat itu. Dalam pasal itu tertulis: “Muhammad Rasulullah serta orang-orang muslim dan mukmin yang bersamanya adalah umat yang satu di hadapan manusia.” Inilah umat yang telah Allah jadikan sebagai umat pilihan yakni sebaik-baiknya umat yang diciptakan untuk manusia dan menduduki posisi terhormat di dunia sehingga mampu menjalankan peran penting yang diembannya yaitu sebagai saksi atas seluruh manusia sebagaimana peran yang telah diemban oleh Muhammad SAW. Dalam posisi umat yang terhormat tersebut risalah disampaikan, amanah ditunaikan, umat diberi bimbingan dan jihad fi sabilillah dijalankan dengan sebenar-benarnya. Dalam keadaan seperti itu, umat terjamin keamanannya dan terjaga dari kesesatan. Rasulullah SAW bersabda: [“Telah aku tinggalkan bagi kalian perkara yang apabila kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya setelah aku pergi, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.”](H. R. Al-Hakim dengan periwayatan dari Hurairah ra).
Itulah kesaksian Rasulullah SAW atas umatnya dan hujah beliau bagi mereka. Lalu manakah kesaksian umatnya atas manusia? Rasulullah SAW pernah menangis ketika beliau mendengar firman-Nya: {“Dan Kami datangkan dirimu sebagai saksi atas mereka.”}(Q. S. An-Nisa: 41). Kemudian berkata kepada orang yang membaca ayat tersebut,”Cukuplah itu bagimu.”
Rasulullah memegang kekuasaan dalam jangka yang cukup lama sampai beliau meninggal dunia. Kemudian, beliau meninggalkan kekuasaan itu untuk umatnya. Umat pun bangkit karena kekuasaan tersebut. Kemudian kepemimpinan itu dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Maka dia pun menjadi saksi atas Persia dan Romawi. Berikutnya Umar mengikuti jejak Abu bakar Ash-Shiddiq. Kemudian setelahnya diikuti oleh para khalifah dan amir sehingga mereka tegak menjadi saksi atas manusia pada masa itu dengan berpegang pada kebenaran. Mereka adalah umat yang satu. Mereka adalah negara adi daya yang menduduki posisi terhormat di dunia dan menegakkan hujah atas manusia serta menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. {“Tidaklah Kami mengutusmu kecuali untuk seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.”}(Q. S. As-Saba: 28). Maka dakwah Islam pun disebarkan dan disampaikan kepada umat-umat yang ada di muka bumi tanpa kecuali; mulai dari perbatasan Cina di sebelah Timur hingga perairan Atlas di sebelah Barat; mulai dari Turkistan, Samarkan dan Azerbaijan yang terbentang di Asia Tengah hingga Aswara Fina (?) di Eropa Tengah; mulai dari selat Jabal Thariq (Gibraltar) hingga dataran Bawatiyih dekat kota Paris. Hal itu terus berlangsung hingga masa dimana mereka masih menjalankan perintah Allah yaitu melakukan amar ma’ruf dan nahyi munkar. Pada saat mereka melakukan penyimpangan dan dihinggapi sifat al-wahn (cinta dunia dan takut mati), menjauhi perkara yang telah diperintahkan kepada mereka, melakukan apa yang dilarang, semakin lemahnya keimanan dalam jiwa mereka, semakin buruknya pemahaman mereka terhadap makna keberadaan mereka dalam kehidupan dan makna keberadaan mereka sebagai kaum muslimin sebagaimana lemahnya pemahaman mereka terhadap Islam, serta semakin merosotnya tarap pemikiran mereka bahkan dalam beberapa hal sudah sangat terpuruk maka tersebarlah di tengah-tengah mereka virus yang menyebabkan terjadinya keterpecahbelahan, kebodohan dan keterbelakangan seperti faham kebangsaan, kesukuan, patriotisme, primordialisme dan fanatisme golongan. Semua itu telah menyebabkan runtuhnya negara mereka, hancurnya kekuatan mereka dan luluh lantaknya negara mereka. Bahkan, mereka sendiri yang telah meruntuhkan negara mereka, mengoyak-ngoyak panji kemuliaan mereka dan merobohkan peninggalan umat-umat terdahulu kemudian memungut bagian-bagiannya yang masih dapat disatukan dan meluruskan yang bengkoknya.
Hari ini, kita mewarisi tugas tersebut. Tugas yang dimaksud adalah {“Agar kalian menjadi saksi atas manusia”}(Q. S. Al-Baqarah: 143). Apakah kita mampu menjadi saksi atas manusia tanpa terwujudnya Islam dalam realitas kehidupan? Apakah kita mampu menjadi saksi atas manusia apabila kita tidak dapat melanjutkan kehidupan Islam? Apakah kita dapat melanjutkan kehidupan Islam tanpa adanya sebuah negara yang menegakkan hudud (hukum-hukum yang ditetapkan Allah, pen.), menjaga benteng pertahanan, menangani urusan-urusan masyarakat, menerapkan hukum-hukum Islam di dalam negeri dan mengemban Islam kepada umat-umat di muka bumi. Dengan adanya negara yang menjalankan semua hal itu, kita dapat menegakkan hujah sehingga kesaksian pun dapat direalisasikan. Maksudnya, negaralah yang mampu menyampaikan dakwah tersebut kepada seluruh umat, memperluas kekuasaan Islam di muka bumi, menampakkan hukum-hukumnya serta menjelaskan akidah dan pemikirannya. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang dapat mengajukan hujah kepada Allah dan umat akan menjadi saksi atas hal itu.
Tugas itu telah diwariskan kepada lebih dari satu milyar orang Islam, yang tersebar di lebih dari lima puluh negara di mana kekuasaannya bukan milik Islam bahkan tidak ada perwujudan Islam sama sekali dalam kehidupan yang bersifat publik. Orang-orang mukmin di antara mereka hanya membatasi diri pada ibadah dan akhlak –kecuali orang yang dirahmati Allah- sementara masyarakatnya dipimpin oleh pemikiran-pemikiran Kapitalisme dan Sosialisme serta pandangan-pandangan yang rapuh, hipokrit dan apatis. Masyarakat juga sudah terkontaminasi oleh perasaan patriotisme, kebangsaan dan fanatisme golongan yang bersifat ruhiyah semata. Negeri-negeri muslim itu juga diatur oleh sistem peraturan Kapitalisme dan Kapitalisme tambal sulam. Bencana yang paling besar adalah bahwa semua negeri-negeri muslim tersebut berjalan di bawah perintah orang-orang kafir dan para antek mereka.
Para pemimpin politik dan juga partai-partai politik dengan berbagai kepentingannya, berlomba-lomba dan saling sikut untuk memperoleh keuntungan yang bersifat sepele dan untuk meraih tujuan sesaat dan bersifat emosional. Mereka tidak mengetahui asas dari sebuah kebangkitan dan juga tidak memiliki thariqah (metode) yang jelas. Tidak ditemukan di dalam partai-partai politik tersebut kecuali simbol-simbol berupa pemikiran-pemikiran yang masih bersifat umum. Partai-partai politik itu juga belum menetapkan manhaj (metode) yang hendak dijalankan atau paling tidak dapat menjelaskan hendak dibawa ke arah mana masyarakat itu dan asas apa yang dijadikan landasan kebangkitannya. Partai-partai politik itu juga belum memiliki thariqah yang jelas kecuali hanya slogan dan simbol saja. Partai-partai politik tersebut justru memihak kepada penguasa dan menjilat mereka; atau kalaupun bersikap memusuhi dan menentang para penguasa tersebut, hal itu dilakukan sesuai dengan keadaan dan demi kepentingan sesaat; atau bersikap tunduk kepada penguasa dengan menyatakan kepada masyarakat bahwa politik itu kotor, hina dan penuh kemunafikan. Partai-partai politik itu juga bersikap menjilat demi meraih tujuan dan merealisasikan cita-citanya. Lebih parah dari itu, mereka memandang bahwa meminta bantuan kepada orang-orang kafir merupakan keharusan. Hal itu dilakukan dalam rangka merealisasikan keinginan mereka dan meraih tujuan mereka. Ataupun kalau tidak seperti itu, mereka tidak memandang hal itu sebagai aib tanpa menyadari bahwa hal itu merupakan tindakan bunuh diri politik.
Itulah tugas yang kita warisi dan itu pula fakta umat yang hendak kita bangkitkan.
No comments:
Post a Comment