Oleh Iyad Hilal, MA
Daulah Islamiyah wajib menerapkan hukum Allah secara sempurna di dalam negeri, mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia, dan mengadopsi seluruh hubungannya dengan negara-negara lain atas dasar hukum Islam. Pengembangan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia tidak akan sempurna kecuali dengan metode (tharîqah) yang datang dari wahyu. Wahyu telah memerintahkan jihad fi sabilillah sebagai metode untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk menerapkan Islam atas seluruh umat manusia sekaligus agar mereka melihat dan merasakan bagaimana Islam benar-benar hidup di dalam realitas kehidupan, bukan sekadar kata-kata ataupun topik yang diseminarkan.
Sikap Daulah Islamiyah seperti ini membawanya terjun ke dalam dua jenis pergulatan, yaitu ash-shirâ‘ al-fikrî dan ash-shirâ‘ as-siyasî (pergulatan pemikiran dan politik) dengan seluruh negara-negara yang ada di dunia, di samping ash-shirâ‘ al mâdî ad-dumuwwî (pergulatan fisik dan darah) dengan negara-negara yang berperang dengannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa kondisi ini mengharuskan diumumkannya perang secara sekaligus atau serentak kepada seluruh dunia, karena hal itu tidak mungkin dilakukan secara praktis. Pergulatan dengan seluruh negara-negara di dunia akan mengakibatkan negara-negara tersebut berkumpul dalam satu aliansi yang sangat kuat untuk melawan Daulah Islamiyah. Hal ini tidak akan memberi kebaikan bagi Daulah Islamiyah sedikitpun.
Pergulatan politik merupakan perkara yang harus dilakukan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi karena sudah menjadi tabiat Islam yang berseberangan dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia seluruhnya. Konsekuensinya, Daulah Islamiyah harus terjun dalam pergulatan politik dengan seluruh negara yang ada.
Pergulatan politik sangat berbeda dengan pergulatan fisik (militer) yang amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Pergulatan fisik merupakan cara paling akhir yang dipakai jika cara-cara lain telah gagal. Simpul itu wajib dipecahkan dengan ‘pedang’ ketika sulit diuraikan dengan cara lain.
Rasulullah saw. telah melakukan langkah-langkah strategis dan taktis, yakni membuat perjanjian dengan sebagian kabilah dan memerangi sebagian lainnya. Itu dilakukan tatkala beliau menandatangani Perjanjian Hudaibiyah agar dapat berkonsentrasi untuk memukul kekuatan Yahudi yang masih bercokol di Khaibar serta senantiasa mengancam eksistensi dan kepentingan Daulah Islamiyah. Demikian juga ketika beliau mengikat perjanjian dengan kabilah-kabilah yang berada di seputar wilayah Quraisy agar dapat terfokus menyerang Quraisy. Orang yang mengikuti sirah Rasulullah saw. akan melihat bahwa beliau pertama-tama mengikat perjanjian gencatan senjata dengan kabilah-kabilah di sekitar Quraisy untuk memukul Quraisy. Setelah itu, beliau membuat perjanjian dengan Quraisy untuk memukul Khaibar. Setelah Quraisy dapat dikunci posisinya, beliau mempersiapkan serangannya untuk memukul Romawi yang merupakan negara adidaya di dunia saat itu. Semua ini terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Dengan itu, Rasulullah saw. mampu mengangkat pamor Daulah Islamiyah; dari negara yang bersifat lokal menjadi negara yang menyaingi negara-negara besar. Semua itu dilakukan dalam rangka mengemban dakwah Islam yang memang wajib beliau kembangkan.
Politik Luar Negeri (Polugri) Daulah Islamiyah
Daulah Islamiyah wajib mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan metoda yang telah dijalankan oleh Rasulullah saw., yaitu jihad fi sabilillaah. Perkara ini sama sekali tidak boleh dilalaikan. Melalaikannya sama saja dengan melalaikan dakwah Islam dan berlepas diri dari kewajiban mengemban dakwah.
Dakwah Islam ke luar negeri yang dilakukan Daulah Islamiyah melalui jihad menunjukkan bahwa asal dari hubungan luar negeri Daulah Islamiyah dengan darul kufur (negara-negara kafir) adalah al-harb (perang). Kondisi perang—baik muhâriban hukman atau muhâriban fi‘lan—ini menjadi basis hubungan luar negeri sampai darul kufur tunduk pada pemerintahan Islam dan sampai umat manusia dibiarkan menganut apa yang mereka yakini tanpa ada paksaan atau tekanan. Pemahaman ini adalah pemahaman para fukaha dan kaum Muslim terdahulu (Lihat: al-Mughni, jld. 8/345; al-Mabsûth, jld. 10/2; al-Umm, jld. 3/160; Bidâyah al-Mujtahid, jld. I/308).
Islam telah membagi dunia ini menjadi dua, yaitu darul Islam (Daulah Islamiyah) dan darul kufur. Daulah Islamiyah (negara Islam) adalah negara yang satu, yang wajib mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Pengembanan dakwah Islam adalah asas politik luar negeri bagi Daulah Islamiyah. Inilah yang menjadi landasan dibangunnya hubungan Daulah Islamiyah dengan negara-negara lain.
Titik-tolak Daulah Islamiyah untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia melalui jihad bermaknan bahwa negara menjadikan peperangan (al-harb) sebagai asal dalam (menjalin) hubungannya dengan negara lain. Meskipun demikian, bukan berarti Daulah Islamiyah harus selalu menyulut api peperangan secara terus-menerus dengan seluruh negara yang ada di dunia meskipun negara-negara tersebut memusuhi Islam dan melakukan konspirasi melawannya. Sebab, kadangkala negara Islam tidak memiliki kemampuan untuk berperang karena sebab-sebab tertentu, seperti tidak adanya kondisi yang tepat untuk berperang, atau karena negara sedang memfokuskan peperangan di medan (perang) lain. Bahkan, kadangkala negara terpaksa menghentikan peperangan karena satu keadaan atau beberapa keadaan. Meskipun demikian, aktivitas jihad fi sabilillah yang dilakukan Daulah Islamiyah tetap melalui prosedur syariat, sebagaimana yang dikandung di dalam Hadis Nabi saw. berikut:
أَدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ أَدْعُهُمْ إِلَىالتَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَاعَلَى اْلمُهَاجِرِيْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَّتَحَوَّلُوْا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَابِ اْلمُسْلِمِيْنَ يَجْرِيْ عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِيْ يَجْرِيْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِيْ الفَيْءِ وَالْغَنِيْمَةِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوْا مَعَ اْلمُسْلِمِيْنَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ اْلجِزْيَةَ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، وَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ
Ajaklah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menerima seruanmu itu maka terimalah hal itu dari mereka dan hentikanlah peperangan. Kemudian, ajaklah mereka untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Muhajirin. Beritahukan kepada mereka, bahwa jika mereka menerima hal itu maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang Muhajirin. Jika mereka menolak untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Islam maka beritahukan kepada mereka, bahwa kedudukan mereka seperti orang-orang Arab Badwi dari kaum Muslim, yaitu diterapkan hukum Allah atas mereka sebagaimana diterapkan atas kaum Muslim, dan mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari fai’ dan ghanîmah, kecuali jika mereka turut berjihad dengan kaum Muslim. Apabila mereka menolaknya maka pungutlah atas mereka jizyah. Jika mereka menerima hal itu maka janganlah engkau memerangi mereka. Namun, apabila mereka menolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. (HR Muslim dan Ahmad, dengan lafal Muslim).
Dengan kata lain, sebelum melakukan perang (jihad fi sabilillah), Daulah Islamiyah terlebih dahulu menawarkan beberapa alternatif: (1) Memeluk Islam; (2) Bergabung dan tunduk terhadap Daulah Islamiyah serta bagi ahl adz-dzimmah diberi kebebasan untuk menganut agamanya masing-masing dengan membayar jizyah; (3) Jika dua pilihan tersebut ditolak, berarti secara syar‘î, Daulah Islamiyah berhak memerangi mereka dengan jihad fi sabilillah.
Itulah yang Rasulullah saw. tunjukkan kepada kita melalui aktivitas beliau dengan mengirimkan belasan utusan kepada para raja maupun kaisar di darul kufur. Isi surat yang disampaikan kepada para raja tersebut menunjukkan ajakan Rasulullah saw. untuk memeluk Islam atau—jika mereka menolak— bersedia tunduk di bawah kekuasaan Islam dengan membayar jizyah (sebagai tanda ketundukan mereka terhadap Daulah Islamiyah). Jika dua pilihan tersebut mereka tolak, Daulah Islamiyah secara syar‘î berhak melakukan futuhat (invansi terbuka) untuk menghancurkan penghalang-penghalang fisik bagi sampainya Islam kepada penduduk darul kufur tersebut. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa futuhat Islam ke negara Persia (wilayah Iran dan Irak), Romawi (wilayah Syam), maupun Mesir didahului oleh ajakan untuk memenuhi dua alternatif tersebut.
Pengakuan Daulah Islamiyah atas Darul Kufur
Secara syar‘î, Daulah Islamiyah tidak mengakui keberadaan darul kufur. Pengakuan atas keberadaan darul kufur hanya didasarkan pada realitas politik yang memang ada. Berdasarkan asas (pengakuan) ini, Daulah Islamiyah mengadopsi hubungan-hubungannya dengan negara-negara lain dan bergaul dengan mereka. Rasulullah saw. mengadakan hubungan dengan negara-negara kufur yang mengelilinginya dan mengakui keberadaannya sebagai suatu realitas politik, namun tidak sebagai realitas syar‘î.
Karena Daulah Islamiyah tidak mengakui secara syar‘î keberadaan negara-negara lain (yang termasuk darul kufur), maka asas yang menjadi dasar berdirinya Daulah Islamiyah juga bertentangan dengan asas berdirinya negara-negara lain. Akidah Islam adalah asas Daulah Islamiyah, asas konstitusi dan perundang-undangannya, serta asas di dalam melakukan muhâsabah (pengawasan, koreksi) terhadap negara. Sebaliknya, negara-negara lain ada yang menggunakan ideologi komunis (yang mengingkari adanya Pencipta) atau mengambil ideologi kapitalis (yang memisahkan agama dari kehidupan) sebagai asasnya. Ada juga negara yang tidak mengambil akidah apapun sehingga negara tersebut tidak berdiri di atas landasan yang bersifat akidah. Semua ini sangat berbeda dengan Daulah Islamiyah.
Berdasarkan hal ini maka seluruh struktur yang tidak Islami merupakan struktur yang batil dan tidak diakui oleh negara Islam (‘Abdul Karim Zaidan, Majmû‘ât al-Buhûts al-Fiqhiyyah, hlm. 52-54). Sebab, adanya pengakuan atas semua itu berarti sama saja dengan penerimaan total atas keberadaannya. Padahal, Islam tidak menerima keberadaan kekufuran secara mutlak.
Meskipun Daulah Islamiyah tidak mengakui darul kufur secara syar‘î, bukan berarti peperangan selalu terjadi antara negara Islam secara terus-menerus. Daulah Islamiyah kadang-kadang terikat perjanjian dengan sebagian negara dan berperang dengan sebagian yang lain. Kadang-kadang ada negara yang tidak mengikat perjanjian dengan negara Islam dan tidak pula berperang dengan dengan negara Islam.
Rasulullah saw. membuat berbagai perjanjian sebagai cara untuk memecah-belah kekuatan musuh, seperti yang terjadi pada Perang Ahzab. Rasulullah saw. telah bersiap-siap untuk memerangi mereka seluruhnya. Setelah pengepungan atas Madinah berlarut-larut, beliau berniat untuk mengikat perjanjian dengan sebagian kabilah. Akan tetapi, sikap Sa‘ad bin ‘Ubadah dan Sa‘ad bin Mu‘adz membuat Rasulullah saw. mengurungkan perjanjian tersebut. Beliau kemudian bersiap untuk memerangi seluruh kabilah sekaligus sampai Allah memenangkan beliau dengan kemenangan yang didukung oleh-Nya.
Semua ini memperlihatkan kepada kita bahwa memerangi suatu negara dan mengikat perjanjian dengan negara lainnya, memecah-belah persatuan musuh, atau menghadapi musuh yang bersatu merupakan perkara-perkara yang mubah yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Berbagai perjanjian yang dibuat oleh negara dapat dimanfaatkan oleh negara pada saat melakukan pergulatan politik maupun fisik sekaligus. Negara dapat menggunakannya ketika melakukan aktivitas politik maupaun militer. Perjanjian di bidang perdagangan dengan negara tertentu tiada lain sesuai dengan kepentingan dakwah. Bahkan, aktivitas-aktivitas politik semacam ini jauh lebih penting dari aktivitas-aktivitas militer yang digunakan sebagai alternatif terakhir. Rasulullah saw. telah meminta kepada tentara yang beliau kirim untuk menawarkan Islam, jizyah, atau perang. Lebih dari itu, Rasulullah saw. melakukan sendiri kontak-kontak dengan para raja yang ada di sekitarnya. Penawaran dan kontak ini merupakan aktivitas politik yang tidak bisa dilalaikan sama sekali dan tidak boleh diremehkan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dalam hubungannya dengan Daulah Islamiyah, kita dapat membagi negara-negara lain menjadi tiga:
(1) Negara-negara muhâribah fi‘lan (secara de facto dalam kondisi perang), seperti Israel. Artinya, perang pada dasarnya sedang berlangsung antara kum Muslim dengan institusi tersebut.
(2) Negara-negara muhâribah hukman (secara de jure dalam kondisi perang), seperti negara imperialis Inggris atau negara-negara yang sangat berambisi menguasai kita seperti Rusia dan Amerika.
(3) Negara-negara yang terikat dengan kita melalui sejumlah perjanjian dan kesepakatan tertentu.
Perlu diingat bahwa negara apapun dapat berubah statusnya sesuai dengan situasi dan kondisi. Misalnya saja AS. Sebelum melakukan ekspansi terhadap Kuwait dan sebagian wilayah Irak pada Perang Teluk, AS tergolong negara-negara yang muhâribah hukman. Akan tetapi, setelah negara ini memerangi Irak, statusnya berubah menjadi negara muhâribah fi‘lan. Apalagi AS secara biadab melakukan invasi terhadap Afganistan dan membantai ribuan kaum Muslim melalui pemboman yang dahsyat dan membabi buta. Hal ini tergolong perkara yang bisa berubah sesuai dengan perubahan fakta.
Oleh karena itu, kaum Muslim wajib untuk mengubah negeri-negeri mereka dari darul kufur menjadi darul Islam dengan cara melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui pendirian Daulah Islamiyah atau mengembalikan lagi Khilafah Islamiyah setelah diruntuhkan pada tahun 1924 M. Kekhilafahan inilah yang akan menyatukan negeri-negeri Islam dan berusaha untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia dan mengembannya dengan tharîqah (metode) yang dikehendaki oleh Islam.
Sesungguhnya hal ini merupakan perkara utama yang dihadapi kaum Muslim, yang karenanya tidak boleh diremehkan. Mengecilkan perkara ini akan mengakibatkan kehinaan di dunia serta kesengsaraan dan azab yang amat pedih di akhirat. []
Iyad Hilal, MA, pengamat Politik Islam Internasional, alumnus Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh.