Saturday, June 2, 2007

Pajak

Pajak
Sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan oleh syara' untuk baitul mal sebenarnya sudah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka. Dalam hal ini tidak perlu lagi mewajibkan pajak, baik langsung maupun tidak tidak langsung. Akan tetapi, meskipun demikian, syara' benar-benar telah memperhatikannya, sehingga syara' mengklasifikasikan kebutuhan-kebutuhan umat menjadi dua, antara lain kebutuhan-kebutuhan yang difardlukan kepada baitul mal untuk sumber-sumber pendapatan tetap baitul mal, dan kebutuhan-kebutuhan yang difardlukan kepada kaum muslimin, sehingga negara diberi hak untuk mengambil harta dari mereka, dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dengan demikian, pajak (dharibah) itu sebenarnya merupakan harta yang difardlukan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Dimana Allah telah menjadikan seorang imam sebagai pemimpin bagi mereka, yang bisa mengambil harta dan menafkahkannya sesuai dengan obyek-obyek yang mengikuti pandangannya.
Boleh menamakan harta yang dikumpulkan ini dengan sebutan dharibah (pajak), seperti halnya diperbolehkan untuk menyebut dengan sebutan harta yang diwajibkan, maupun sebutan-sebutan yang lain. Selain sumber-sumber pendapatan yang telah difardlukan oleh Allah, yang telah dinyatakan oleh syara' semisal jizyah, dan kharaj serta sumber-sumber pendapatan yang telah difardlukan oleh Allah kepada kaum muslimin untuk memberikan infaq pada kebutuhan yang difardlukan kepada mereka secara keseluruhan, semisal jalan-jalan, dan sekolah-sekolah, maka tidak diambil pajak. Sehingga bea apapun tidak boleh dipungut untuk keperluan mahkamah, instansi-instansi, serta keperluan-keperluan yang lain. Adapun bea cukai itu sesungguhnya tidak termasuk dalam katagori pajak yang boleh diambil. Namun, ia hanyalah praktik mu'amalah negara dengan mu'amalah sepadan yang kita lakukan, bukan pajak untuk mencukupi kekurangan baitul mal, dimana syara' telah menyebut praktik tersebut dengan sebutan mukus (cukai), serta melarang mengambilnya dari kaum muslimin serta kafir dzimmi.
Tidak boleh mengambil selain harta yang telah difardlukan oleh Allah sebagai pajak, secara mutlak. Sebab, tidak diperbolehkan mengambil sedikit pun dari harta seorang muslim, selain dengan cara yang haq menurut syara', yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syara' yang rinci. Sementara tidak ada satupun dalil yang menjelaskan kebolehan mengambil pajak dari seorang muslim selain apa yang telah dikemukakan sebelumnya. Orang non muslim juga tidak boleh dipungut pajak sama sekali. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah difardlukan oleh syara' adalah semata-mata difardlukan kepada kaum muslimin saja, sehingga pajak tersebut tidak boleh diambil selain dari kaum muslimin saja. Sedangkan kharaj bisa dipungut atas tanah kharajiyah dari orang muslim dan orang non muslim. Sedangkan, bagaimana cara memungut pajak tersebut dari kaum muslimin? Semuanya itu dipungut dari sisa nafkah (kebutuhan hidup) mereka, serta dari harta orang kaya, menurut ketentuan syara'.
Harta orang kaya tersebut adalah harta yang merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan primer (basic needs) serta kebutuhan skunder yang ma'ruf. Sebab nafkah seseorang kepada dirinya sendiri adalah pemenuhan seseorang terhadap seluruh kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi secara ma'ruf, sesuai dengan taraf hidup di mana dia tinggal bersama-sama individu yang lain. Dan kelebihan ini tidak bisa ditakar dengan standar tertentu yang berlaku umum untuk semua orang, namun masing-masing orang harus ditakar menurut taraf hidupnya. Apabila orang tersebut maupun yang lain membutuhkan sebuah mobil dan seorang pembantu, maka kelebihannya harus ditakar berdasarkan kelebihan dari kedua kebutuhan tersebut. Apabila dia membutuhkan seorang istri, maka kelebihannya harus ditakar berdasarkan kelebihan dari kebutuhan istrinya, dan begitu seterusnya. Apabila harta yang dimiliki melebihi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dari orang tersebut akan diambil pajak. Apabila tidak melebihi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka tidak diambil pajaknya. Sebab, dia masih membutuhkan sehingga dia tidak diwajibkan membayar pajak.
Dalam mewajibkan pajak tersebut tidak akan memperhatikan larangan bertambahnya kekayaan dan larangan tidak boleh kaya, sebab Islam tidak melarang agar orang menjadi kaya. Dan untuk mengumpulkan pajak tersebut juga tidak memperhatikan anggapan ekonomi apapun, namun pajak harta tersebut dipungut semata-mata berdasarkan cukup dan tidaknya harta yang ada di dalam baitul mal untuk memenuhi seluruh kebutuhan yang dibutuhkan, sehingga pajak tersebut dipungut berdasarkan kadar kebutuhan belanja negara. Dalam belanja tersebut tidak akan diperhatikan selain kebutuhan-kebutuhan rakyat, serta kemampuan kaum muslimin untuk membayarnya. Dimana pajak tersebut tidak ditentukan berdasarkan ukuran tinggi rendah, secara mutlak, selain hanya dengan satu ukuran untuk seluruh kaum muslimin, tanpa memperhatikan jumlah kekayaan yang diambilnya. Dalam menentukan ukuran tersebut harus memperhatikan keadilan antara kaum muslimin, karena pajak tersebut tidak dipungut selain dari orang kaya, tanpa dibedakan apakah berupa modal, keuntungan atau pendapatan. Namun, pajak diambil dari harta tersebut secara keseluruhan. Dimana faktor-faktor produksi yang biasanya dipergunakan dalam berproduksi dan pertanian, termasuk tanah dan pekarangan, tidak bisa disebut sebagai modal.


No comments: