Seperti halnya al-Quran, Sunnah adalah sumber hukum Islam. Sunnah merupakan pernyataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad saw. Allah Swt. berfirman:
…dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS an-Najm [53]: 3-4)
Proses untuk menegakkan masyarakat dan negara Islam seperti yang tergambar dalam Sirah adalah metode yang berasal dari Allah Swt. Kita wajib mengikutinya sebagaimana kita wajib mengikuti cara beliau dalam melaksanakan shalat atau haji. Jadi, metode Nabi Muhammad saw. adalah juga metode kita. Allah Swt. berfirman:
Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya dia telah menaati Allah. Barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS an-Nisaa’ [4]: 80)
Katakanlah, "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS Yusuf [12]: 108)
Gambaran Metode
Setelah mengkaji Sirah secara intensif, kita dapat mengategorikan metode itu menjadi tiga tahap di mana tahap yang satu menjadi prasyarat bagi tahap berikutnya. Tahap Sirriyah dilakukan ketika Nabi saw. mulai melakukan dakwah dan secara sembunyi-sembunyi. Pada tahap ini, beliau membangun kelompok dakwah dengan mencetak individu-individu yang akan menjadi kader dakwah. Tahap Dzahriyah adalah perkembangan dari tahap pembinaan para sahabat. Pada tahap ini, Rasulullah saw. dan para sahabat melakukan interaksi ideologis dan politis dengan masyarakat untuk membentuk opini publik tentang penegakan Islam. Pada tahap ini pula, orang-orang Quraisy melakukan penyiksaan, propaganda, pemboikotan, dan penawaran kompromi untuk melawan perjuangan ideologis dan politis Nabi saw. dan gerakannya. Ketika umat mengadopsi pelaksanaan Islam sebagai masalah utama, Rasulullah saw. memasuki tahap ketiga, yaitu menegakkan Islam dengan meraih kepemimpinan dan kekuasaan politik, yang secara alamiah berasal dari umat.
Tahap 1: Dakwah Sirriyah
Pada tahap awal ini, Nabi saw. menyampaikan risalah Islam kepada sahabat dan kerabatnya. Dengan bantuan kerabat dan sahabat dekat yang telah masuk Islam, Nabi saw. mampu mengajak orang-orang untuk masuk Islam. Misalnya, Abu Bakar r.a. mengajak Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan yang lainnya, untuk masuk Islam.
Selama tahap awal ini, yang berlangsung selama tiga tahun, Islam disampaikan secara personal, serta belum ada konfrontasi pemikiran atau ideologis dengan orang-orang musyrik dan kehidupan jahiliahnya.
Pada periode ini, Nabi saw. membina dan mengembangkan pola sikap dan pola pikir para sahabat agar sesuai dengan tuntutan al-Quran. Membangun keyakinan yang kuat terhadap akidah adalah hal yang sangat penting. Tanpa keyakinan mendalam terhadap Allah Swt. sebagai landasan bagi mafahim, maqayis, dan qanaat mereka, setiap gerakan yang menyerukan perubahan akan tergoda untuk berkompromi dan menghindari konfrontasi atau konflik. Atas dasar itulah, Nabi saw. sangat memperhatikan pembinaan kepribadian Islam yang kuat dan dinamis berlandaskan akidah. Ini menjadi modal yang sangat penting untuk menapak ke tahap selanjutnya.
Sebelum membahas tahap kedua, perlu dicamkan bahwa pada tahap awal ini, Nabi saw. mendirikan sebuah partai yang terdiri atas beliau sendiri dan para sahabatnya. Pendirian Negara Islam tidak dapat dilakukan secara individual. Itu merupakan kewajiban kolektif sehingga kaum Muslim harus melakukannya secara berjamaah melalui suatu partai. Setelah orang-orang menjadi Muslim, Rasulullah saw. tidak membiarkan mereka bertindak sendiri-sendiri. Beliau mengonsolidasikan mereka untuk siap memasuki tahap berikutnya.
Tahap 2: Tahap Dzahriyah (Interaksi Terbuka)
Dalam al-Quran Allah Swt. berfirman:
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu), (yaitu) orang-orang yang menganggap adanya tuhan yang lain di samping Allah; maka mereka kelak akan mengetahui (akibatnya). (QS al-Hijr [15]: 94-96)
Ayat ini menandai proses transisi dakwah Rasulullah saw. dari tahap pertama ke tahap kedua. Pada tahap kedua ini, Nabi saw. mulai secara terbuka mengajak orang-orang Makkah untuk menerima dan menyembah Allah Swt. semata, untuk meninggalkan kehidupan jahiliah, dan untuk masuk Islam. Beliau memilih sejumlah cara untuk membawa Islam ke arena publik. Misalnya, beliau pernah mengundang sejumlah kerabat, di antaranya terdapat pemuka-pemuka Quraisy, untuk menghadiri perjamuan makan di rumah beliau. Di acara itu Rasulullah saw. menyampaikan Islam kepada mereka.
Nabi saw. juga menampilkan kaum Muslim sebagai kelompok terorganisasi yang beritikad untuk menentang dan mengubah masyarakat; berupa nilai-nilainya, tujuan-tujuannya, tradisi-tradisinya, pemikiran dan perasaannya, serta sistem pemerintahan dan sistem pengaturan urusan kehidupannya. Perjuangan kolektif itu menimbulkan efek yang dahsyat. Aktivitas yang dilakukan itu mampu menciptakan opini publik tentang dakwah Islam dan hal ini membantu penyebaran Islam ke seluruh Makkah. Orang-orang yang masuk Islam adalah mereka yang pikiran dan hatinya memahami kemurnian, kebijaksanaan, dan kebenaran Islam; sedangkan mereka yang menolak Islam adalah orang-orang yang keras kepala, yang menolak terjadinya perubahan dalam kehidupan mereka. Orang-orang masuk Islam karena mereka menyadari kebenaran orang yang menyampaikan Islam itu.
Keberhasilan dakwah Islam ternyata membuat para pemimpin Quraisy bak kebakaran jenggot. Rasulullah saw. terus melakukan perang ideologis terhadap ketidakadilan, kekejaman, dan perbudakan yang mendominasi Makkah. Beliau juga mencerca, menyerang, serta mengungkapkan konsep-konsep dan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka.
Dalam menjalankan tugasnya, Nabi saw. terus menyerang sistem jahiliah tanpa kenal kompromi atau penyimpangan. Beliau menyerang nilai-nilai aristokratis dan nilai-nilai materialis masyarakat jahiliah dengan turunnya ayat-ayat berikut.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. (QS al-Humazah [104]: 1-4)
Metode seperti itu membangkitkan amarah para pemimpin Quraisy. Sampai-sampai mereka mengadu kepada Abu Thalib, paman Nabi saw., “Kami tidak terima nenek moyang kami dihina, kebiasaan-kebiasaan kami dicemooh, dan tuhan-tuhan kami dicerca!”
Al-Quran juga menyerang dan mengkritik kaum elit Makkah, terutama mereka yang bersikeras melawan Islam, seperti Abu Jahal, al-Walid bin al-Mughirah, dan Abu Lahab. Satu surat al-Quran secara khusus Allah Swt. turunkan menyoroti perilaku Abu Lahab dan mengabari kedudukan dia dan istrinya di neraka (QS al-Lahab [111]: 1-5).
Ayat-ayat di atas dan yang semacamnya menyerang dan mengkritik masyarakat jahiliah dan kalangan elit Quraisy. Tujuan dari perjuangan ideologis dan politis itu ialah untuk mengubah loyalitas masyarakat dari pandangan hidup yang tengah dianut ke Islam; serta untuk menghilangkan ikatan yang semu dan menggantikannya dengan ikatan Islam. Tujuan seperti itu hanya dapat diraih dengan cara mengemukakan kekeliruan dari pandangan hidup yang tengah dianut.
Ketika Quraisy tidak mampu menghentikan dakwah Rasulullah saw. dengan pemikiran dan argumentasi, mereka mencoba untuk melakukan rekonsiliasi, kompromi, dan tawar-menawar. Para pemimpin Quraisy mengirim sejumlah delegasi kepada Nabi saw. untuk menawarkan harta, kepemimpinan, dan kekuasaan. Namun, Nabi saw. menolak segala bentuk kompromi dan terus menyerukan dakwah Islam secara terbuka.
Ketika taktik itu tak membuahkan hasil, orang-orang Quraisy melakukan cara-cara kekerasan untuk menghentikan dakwah. Mereka menyiksa dan membunuh orang-orang Muslim. Mereka juga mengarahkan serangan mereka langsung terhadap Nabi saw. dengan cara memfitnah, menyebarkan kebohongan dan propaganda untuk menjelek-jelekkan beliau, serta berupaya membunuh beliau.
Segala upaya kaum Quraisy itu tetap tidak mampu menghentikan dakwah. Hal itu justru semakin meningkatkan motivasi Nabi saw. Dalam tahap kedua ini, Nabi saw. berjuang lebih keras dengan bimbingan wahyu. Bagian ini dicirikan oleh aktivitas mencari dukungan fisik, yang diistilahkan dengan nushrah.
Mencari Nushrah
Ketika Nabi saw. menyadari bahwa orang-orang Quraisy tidak akan mendukung penerapan Islam di Makkah, beliau mulai mencari dukungan dari suku selain Quraisy. Nabi saw. menawarkan Islam kepada suku-suku lain setiap kali ada kesempatan, terutama di musim haji tatkala suku-suku itu berdatangan ke Makkah. Nabi saw. mencari dukungan dan kekuasaan dari sejumlah suku, misalnya, Tsaqif, Kindah, Bani Amir bin Sha’sha’ah, Bani Kalb, dan Bani Hanifah.
Rabi’ah bin Ubad r.a. meriwayatkan, “Aku masih muda ketika aku dan ayahku menetap di Mina. Rasulullah saw. mengunjungi perkemahan sejumlah suku dan mengatakan, ‘Wahai suku anu dan suku anu! Aku adalah Utusan Allah. Aku mengajak kalian untuk menyembah Allah, tidak menyekutukan-Nya; tinggalkan tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Dia; percayalah padaku dan saksikanlah risalahku… .” (Ibnu Ishaq)
Nabi saw. menjelaskan hakikat nushrah kepada suku-suku yang didatanginya. Ini juga terbukti dalam dialog yang terjadi antara Rasulullah saw. dan suku Amir bin Sha’sha’ah ketika mereka (Bani Amir) ingin jadi penguasa setelah beliau, “Kami harus menyerahkan leher kami pada pedang orang-orang Arab (membahayakan diri dalam peperangan) demi melindungimu, tapi ketika kemenangan diraih, kekuasaan diberikan kepada yang lain?” (Ibnu Hisyam)
Dialog tersebut jelas memperlihatkan bahwa Bani Amir memahami maksud Nabi saw. meminta nushrah kepada mereka. Mereka mengerti bahwa jika memberikan nushrah kepada Muhammad saw., berarti mereka harus siap berperang bersama beliau, dan harus siap untuk berperang melawan suku-suku lain. Mereka juga paham bahwa dengan diberikannya nushrah itu berarti Nabi saw. menjadi penguasa, dan beliau akan memegang tampuk kepemimpinan. Akhirnya, adalah suku Aus dan Khazraj yang memberikan nushrah untuk mendukung penegakan Islam dalam bentuk sebuah negara.
Pada tahap ini, tantangan yang tadinya berupa penganiayaan dan propaganda digantikan oleh tawaran-tawaran kompromistis. Namun, dari metode Nabi saw., kita bisa melihat bahwa dalam perkara ini tidak ada peluang kompromi atau solusi setengah-setengah. Islam tidak dapat hidup berdampingan dengan kejahiliahan. Bahkan, Islam tidak dapat menerima atau membiarkan situasi dengan komposisi 99 persen Islam dan 1 persen jahiliah!
Nabi saw. menolak tawaran Bani Amir karena mereka menginginkan kepemimpinan diberikan kepada mereka setelah beliau meninggal. Beliau juga menolak tawaran dari suku Syaiban bin Tsa’labah karena meskipun mereka siap melindungi Rasulullah saw. dari seluruh suku Arab, tapi mereka tidak akan melindungi beliau dari Persia.
Tujuan dari nushrah ini bukanlah semata-mata demi kekuasaan. Tidak ada artinya kita dapat menegakkan kekuasaan dengan cara yang menyimpang dari metode Islam. Meskipun bertujuan menegakkan hukum Allah Swt. dan pandangan hidup Islam, tapi tujuan utama dari setiap perbuatan haruslah demi memperoleh ridha Allah Swt. Dengan demikian, setiap perbuatan dilakukan murni karena Allah Swt., tanpa mengharapkan pujian dari siapa pun jua.
Tahap 3: Menerapkan dan Mengemban Islam
Sejak pertama kali menjejakkan kaki di Madinah, Rasulullah saw. mendirikan Negara Islam dan mulai membangun strukturnya dengan membentuk masyarakat di atas fondasi yang solid, serta dengan mengumpulkan segenap potensi kekuatan yang mampu melindungi negara dan menyampaikan dakwah Islam. Ketika program penguatan internal itu telah tercapai, beliau mulai menghilangkan hambatan-hambatan fisik yang merintangi jalan persebaran Islam.
Pada tahap ini Nabi saw. menerapkan Islam secara komprehensif terhadap seluruh warga negara. Beliau juga menggunakan Negara di Madinah itu sebagai kendaraan politik untuk menyebarkan Islam pada bangsa-bangsa lain di dunia. Ketika itu, beliau bermultifungsi sebagai Kepala Negara, Hakim, dan Panglima Militer. Beliau melayani kepentingan-kepentingan masyarakat; menyelesaikan segala persengketaan yang terjadi di masyarakat; dan menunjuk para kepala divisi pasukan yang akan dikirim ke luar Madinah untuk mengemban misi militer tertentu.
Pertolongan Allah Swt.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa kebahagiaan dan kemenangan senantiasa datang setelah penderitaan, kemalangan, dan kesulitan. Dengan demikian, kaum Mukmin harus senantiasa bersabar dan bertawakal, serta menyadari bahwa menjawab panggilan Allah Swt. harus lebih diprioritaskan ketimbang mengurusi kepentingan kita, harta kita, keluarga kita, dan segala macam kesenangan duniawi. Allah Swt. berfirman:
Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya, serta (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS at-Taubah [9]: 24)
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS Muhammad [47]: 7)
Allah Swt. telah berjanji untuk memberikan kemenangan kepada orang-orang yang menolong-Nya dan menolong agama-Nya.
Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.(QS al-Hajj [22]: 40)
Allah Swt. menyatakan bahwa hak-Nyalah untuk membantu orang-orang yang beriman.
Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. (QS ar-Rum [30]: 47)
Allah Swt. Maha Mengetahui kapan datangnya kemenangan. Ketika Allah Swt. menghendaki kemenangan itu tiba, Dia akan memudahkan jalan untuk mencapainya dan mempersiapkan segala sesuatu yang diketahui dan yang tidak diketahui oleh kaum Mukmin. Karena itu, kita harus yakin bahwa semakin kita menolong Allah Swt. dan agama-Nya, semakin dekat pula pertolongan-Nya kepada kita.
Walhasil, untuk meraih kemenangan dan ridha Allah Swt., kita harus menjawab panggilan tugas dari-Nya, menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada-Nya, meyakini seyakin-yakinnya bahwa Dialah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, serta Zat yang memberikan kehidupan dan kematian, Dia pula yang memberikan kemuliaan dan kehinaan. Juga hanya Dialah yang memberikan kemenangan, serta Dia berkuasa atas segala sesuatu dan tidak ada seorang manusia pun yang mati kecuali karena memang rezekinya, usianya, dan segala sesuatu yang ditakdirkan baginya, telah habis.
Para sahabat r.a. mendapat pertolongan Allah Swt. dalam perjuangannya karena mereka memenuhi panggilan Allah Swt. Mereka menunjukkan kesungguhan mereka dalam berjuang, dan mereka mengorbankan harta dan hidup mereka untuk meninggikan Kalimat Allah Swt. Bersama Nabi saw, mereka mendirikan Negara Islam pertama; serta membangun pilarnya di atas reruntuhan sistem jahiliah dan di atas wilayah kaum musyrik.
Saat ini, kaum Muslim harus menyadari pentingnya memenuhi panggilan Allah Swt. dan berjuang bersama-sama untuk mengembalikan kemuliaan Islam.
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS al-Anfal [8]: 24)
Saturday, June 2, 2007
METODE PERUBAHAN MASYARAKAT
Posted by Harist al Jawi at 6:26 PM
Labels: Artikel Pemikiran
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment