Tiga Asas Penerapan Hukum Islam
Islam, sebagai agama dan idiologi, akan dapat dilaksanakan secara utuh apabila “tiga asas penerapan hukum Islam” ada didalam kehidupan ummat. Yaitu: (1)Ketaqwaan individu yang mendorangnya untuk terikat kepada hukum syara’, (2) Kontrol dari masyarakat, dan (3) Negara Islam yang menerapkan syar’iat Islam secaara utuh. Apabila salah satu syarat ini telah runtuh, maka penerapan syari’at Islam dan hukum-hukumnya akan mengalami penyimpangan, dan akibatnya Islam, sebagai agama dan idiologi, akan hilang dari muka bumi.
Asas pertama: ketaqwaan individu. Taqwa adalah sikap seseorang untuk menjaga diri dari azab neraka pada hari kiamat, apabila melakukan atau meninggalkan perbuatan.184 Taqwa ini merupakan natjilah dari keimanan seseorang yang memahami makna pemikiran rukun Iman, khususnya kesadaran akan konsekuensi surga –neraka, apabila melakukan atau meninggalkan perbuatan. Kesadaran ini benar-benar menguasai diri seseorang, sehingga ia sangat menjaga perbuatannya dan senantiasa memperhitungkannya.
Maka dari satu sudut, taqwa ini akan mendorong seseorang untuk terikat terhadap hukum syara’ dalam setiap amalan-amalannya. Dan, darisudut lain, taqwa ini akan menjadikan orang tersebut, papabila menyimpang dari hukum syara’ segera bertaubat dan menebus segala kekhilafannya. Sebab, bayangan akhirat sangat menguasai dirinya, sehingga apabila tidak sgera bertaubat, ia takut apabila diazab dengan azab akhirat, yang tentu jauh lebih berat daripada hukuman di dunia. Dan ia sadar, bahwa Allah SWT. senantiasa mengawasi tingkah lakunya, sehingga tidak ada satu perbuatan pun yang ia lakukan, terlepas dari sepengetahuan Allah SWT.
Adalah Maiz Al-Aslami dan Al-Ghamediah, dua orang yang hiduppada masa Rosulullah saw.,yang sama-sama melakukan zina, yang kemudian miinta dijatuhi hukuman oleh baginda saw. meskipun tidak ada seorangpunyang menyaksikannya. Mengapa merka dapat berbuat demikian? Padahal jelas bahwa dengan mereka menyerahkan diri kepada baginda saw. untuk dihukum, mereka akan mati. Karena hukuman bagi orang yang berzina, sedangkan ia berstatus pernah menikah (muhshan), adalah dirajam hingga meninggal dunia. Belum lagi mereka harus menanggung malu kepada orang banyak. Jawabannya, tentu karena ketaqwaan mereka kepada Allah SWT. dan bayangan akhirat mereka yang begitu kuat, sehingga rasa malu dan hukuman di dunia hingga mati sekalipun, sanggup mereka jalani. Sebab, dengan begitu dosa mereka akan diampuni, dan diakhirat mereka akan mendapatkan jaminan surga Allah SWT. Inilah natjilah dari ketaqwaan seseorang. Dan apabila ketaqwaan tersebut masih dimiliki oleh individu, masyarakat dan pemerintah, maka hukum syara’ pastinya akan terjamin pelaksanaanya.
Asas kedua: pengawasan individu dan masyarakat. Pengawasan individu dan masyarakat kepada individu yang lain ini di perlukan, karena manusia bukanlah malaikat. Juga karena tidak ada manusia yang maksum dari pada dosa besar. Oleh karena itu, manusia memerlukan kepada manusia yang lain untuk mengawal dirinya. Sehingga masing-masing manusia berhajt kepada yang lain, agar saling dapat mengawasi. Allah SWT. berfirman:
“Demi masa, sesungguhnya manusia sebenarnya dalam keadaan merugi, kecualiorang-orang beriman dan beramal solehserta saling mengingatkan (sesamanya) dengan kebenaran dan saling mengingatkan (sesamanya) sengan penuh kesabaran.” (Q.s. Al- Ashr: 1-3).
Ayat ini menerangkan, bahwa manusia benar0benar dalam keadaan merugi. Pertama, diterangkan dengan sumpah, yaitu al al-ashri (demi masa). Kedua, diterangkan dengan ta’kid, yaitu inna (benar-benar).
Ketiga, diterangkan dengan ta’kid, yaitu la fi (dungguh dalam). Ketiga bentuk keterangan ini semuanya menguatkan makna mauduk ayat ini, yaitukerugian manusia yang sangat serius. Artinya bahwa secara umumnya, semua manusia mengalami kerugian yang serius, kecuali oranga yang beriman, beramal soleh dan saling mengawasi dengan orang lain dalam melakukan kebaikan dengan penuh kesabaran. Yakni secara terus menerus, tanpa ada rasa putus asa atau bosan. Sehingga masing-masing diantara mereka selamat dari pada kekhilafan. Inilah orang yang tidak merugi.
Ayat dan kenyataan diatas, masing-masing menunjukan, bahwa kontrol manusia, baik secara pribadi maupun brsama-sama,terhadap orang lain adalah suatu keprluan sekaligus kewajiban. Yang dengan kawalan tersebut, masing-masingnnya akan dapat diselamatkan dari kekhilafan yang menyebabakan seseorang secara pribadi maupun secara bersama-sama akan menderitaa kerugian yang serius. Yaitu kerugia karena keimnannya menurun dan amalannya rusak. Karena itu, kontrol individu atau masyarakat kepada orang lain akanmampu menyelamatkan oran gtersebut dari kerugian serius tersebut. Dan dengan kontrol ini pun, [elaksanaan hukum Islam yang dilakukan oleh individu, baik sebagai pribadi, masyarakat mauppun pemerintah akan tetap terjaga. Meskipun dari sudut lain ada hukum keta’atan kepada pemimpin. Yang masing=masingnya merupakan hukum syara’ yang wajib dilaksankan, yaitu dari sudut wajib ta’at, di sudut lain wajib melakukan kontrol terhadap hal tersebut.
Asas ketiga: adany negara Islam yang menerrapkan seluruh syar’iat Islam. Islam telah menegaskan kedudukan khalifah kaum muslimin sebagai ra’in (penggembala) yang bertanggung jawab terhadap ra’iyah (gembala)-nya. Apabila ada yang sakit, kelaparan, terjadi kerusuhan antara satu gembala dengan satu gembalanya yang lain, atau apabila ada gembalanya yang didzalimi oleh gembala yang lain, dan begitu seterusnya, semuanya merupakan bertanggungjawab penggembala (khalifah). Yang semuanya wajib ia selesaikan dengan baik, yaitu dengan menghukumi masing-masing “gembala” tersebut dengan hukum syara’, ini sebagaimana sabda Rosulullah saw.:
“Kamu semua adalah penanggugn jawab trhadap gembalanya. Maka pemimpin adalah penggembala, dan dialah yang selalu bertanggungjawab terhadap gembalanya.” (H.r. Akhmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan At-Tharmizi dai Ibnu Umar). 185
Hadits diatas menerangkan kedudukan khilafah dan negara Islam yang menerapkan hukum Islam. Oleh karena itu, apabila khalifah dan negara Islam ini terwujud, disamping ketaqwaan inidividu, masyarakat dan pemerintah (khalifah dan para pembantunya) niscaya semua hukum Islam akan dapat diterapakan secara utuh. Dan keutuhannya akan dapat dipertahankan dengan baik.
Sebab, apabila ada individu dan masyarakat yang bertaqwa dan begitu juga adnya kontrol dari individu atau masyarakat, namun tidak ada negara yang menerapkan hukum Islam, terntu mustahil hukum Islam itu dapat diterapkan. Karena negaralah yang bertanggung jawab menerapkan hukum tersebut. Begitu pula apabila ada negar yang menerapkan hukum Islam, tetapi tidak ada kontrol individu atau masyarakat yang bertaqwa, maka sedikit semi ssedikit penerrapan Islam yang dilakukan oleh negara tersebut akan dislewangkan. Hal ini nampak dari penyimpangan yang dilakukan oleh khilafah Islam setelah khilafah ar-rasyidah, apabila hal itu tidak lagi dikontrol oleh masyarakat. Yaitu tidak terwujudnya kekuatan partai yang dapat mengendalikan negara, apabila negara (khalifah) melakukan penyimpangan.
Olehkarena itu, tiga asas inilah yang menjadi asas tergaknya pelaksanaan hukum Islam di dalam negar khalifah Islam.
Metode Penerapan Hukum Islam: Khilafah Islam
Adapun hukum metode Islam yang berkenaan dengan penerapan hukum Islam, adlah huum yang dapat menjamin tegaknya hukum Islam secara utuh dalam kehidupan ummat, yang sebelumnya belum dapat ditegakkan. Dan hanya dapat ditegakkan dengan terujudnya perkara tersebut. Maka, apabila dianalisa secara mendalam hukum metode islam berkenaan dengan penerapan Islam tersebut, hanya satu yaitu hukumnya tentang khilafah, Imamah, Imarah atau Suthan Islam. Meskipun furu al-ahkam (cabang hukum) dibawahnya banyak lagi.
Khilafah, imamah, imarah atau sulthan Islam adalah istilah yang berbeda tetapi maknanya sama. Yaitu institusi yang memimpin kaum muslimin. Abu bakar ra. adalah orang yang pertama kalinya disebut dengan sebutan khalifatu ar-rasul.186 Umar bin khatab ra. adalah orang yang pertama kalinya disebut dengan amiru al-mu’minin.187 Sedangkan sulthan yang digunakan untuk menyebut sebutan yang sama, setelah khulafa’ ar-rasyidin.
Khilafah, menurut bahasa, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang yang sebelumnya.188 Menurut istilah syaara’ hal tersebut diartikan sebagai kepemim[inan umum, yang menjadi hak seluruh kaum musllimin di dunia untuk menegakan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.189 Batasan kepemimpinan umum beermakna, bahwa Khilafah Islam bertugas mengurus seluruh urusan, yang meliputi pelaksanaan semua hukum syara’ terhadap rakyat, tanpa pengecualian termasuk terhadap orang Islam maupun bukan Islam. Mulai dari masalah aqidah, ibadah, ekonomi, sosial pendidikan, politik dalam negeri maupun luar negeri, semuanya diurus oleh khalifah Islam. Inilah sifat jami’ dalam definisi tersebut. Batasan yang merupakan hak kaum muslimin adalah batasan yang membatasi, bahwa selain Islam tidak berhak untuk menjadi khilafah. Dan ini juga merupakan sifat mani’, yang mencegah masuknya unsur lain dalam definiisi tersebut. Dan inilah definisi yang shahih tentang khilafah Islam.
a. kewajiban wujudnya khilafah Islam
banyak nas, baik alqur’an maupun as- Sunnah, yang memerintahkan kaum muslimin untuk mewujudkan adanya khilafah Islam. Antara lain, adalah:
firman Allah SWT.:
“Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah Rasul, serta orang-orang yang menjadi pemimpin di antara kamu.” (Q.s. An-Nisa’: 59).
Ayat ini memerinthkan keta’atan kepada Allah, dan Rosul serta pemimpin, dimana hukum keta’atan tersebut adalah wajib. Maka, baik Allah maupun Rasul, wujudnya sama-sama pasti, karena itu hukum mentaatinya adalah pasti. Sedangkan hukum menta’ati pemimpin adalah pasti, yang tidak berubah menjadi tidak pasti karena orangnya tidak ada. Justru sebaliknya apabila diperintahkan untuk menta’atinya maka hukum mewujudkannya mejadi pasti (wajib). Sebab tidak pernah ada hukum wajib diperintahkan keatas sesuatu yang wujudnya tidak wajib.190
Disamping ayat diatas, juga banyak ayat-ayat lain berkenaan dengan kewajiban untuk melaksanakan hukum potong tangan terhadap pencuri, 191 sebat terhadap orang yang berzina (ghaira al-muksan),192 dan sebagainya , yang tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengan aadany khilafah Islam. Maka hukum wujudnya khilafah Islam adalah wajib, sebagai bagian dari hhukum wajibnya melaksankan hudud tersebut. Sebagaimana kaidah ushul:
“suatu kewajiban tidak akan dapat dilaksanakan sengan sempurna, kecuali dnegan adanya sesuatu yang lain, maka sesuaut yang lain itu menjadi wajib pula.”
Sedangkan hadits nash, adlah sebagaimana sabda Nabi saw.:
“sesungguhnya imam adalah laksana perisai, yang (orang ramai) akan berperang disebelah belakangnya, dan ia akan dijadikan sebagai pelindung.” (H.r. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Akhmad dari Abu Hurairah). 193
hadits diatas memberikan ikhbar (pemberitahuan) yang berisi pujian, yaitu “imam adalah perisai”. Apabila adanya sesuatu yang dipuji” tersebbut tidak ada , maka hukum islam tidak akan tegak, maka pujian tersebut merupakan qarinah jazimah (indikasi yang tegas), bahwa “bahwa sesuatu yang dipuji tidak ada lain addlah wujudnya khalifah Islam, yang akan mejadi perisai bagi kaum muslimin.
Karena itulah, maka semua ulama’ sepakat mengenai wajibnyamengangkat dan mewujudkan khilafah Islam, apabila tidak ada. Seperti daari kalangan ahlu sunnah wal jama’ah, syi’ah, khawarij maupun mu’tazilah. Semuanya berpendapat bahwa ummat ini haruslah mempunyai seorng imam. Dan hukum mengankatnya adalah wajib.195 Imam Akhmad melalui riwayat dari Muhammad bin Abu Sofyan Al-Hamasi, mengatakan: “fitnah akan terjadia manakala tidak ada imam yang melaksankan urusan orang ramai.”196
Jadi, tidak ada alasan lagi, bahwa hukum menegakan khilafah Islam adalah wajib. Kecuali setelah timbulnya fitnah yang dibangkitkan oleh Najdad (Mu’ tazilah), Al-ashsam dan Hisyam Al-Ghauthi (khawrij) serta Ali bin Abdurraziq (modern sekuler), yang menafikan kewajiban tersebu. Yang kemudian menyebabkan orang yang disebutkan terakhir itu dicopot jbatannya sebagai anggota deewan Ulama’ Al-Azhar.197
Inilah hukum mengenai kewajiban adanya khilafah Islam. Yang menunjukkan terntang kedudukan hukum terseut sebagai sifat hukum metode Isalam, yaitu “wajib”.
b. Bentuk dan Sistem Khilafah Islam
Karrean khilafah atau negara Islam ini merupakan institusi pollitik, yang tidak dapat diasingkan dari aktivitas politik, sedangkan aktivitas politik Islam diasaskan pada empat asas, sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka tentu saj bentuk dan sistem khilaafah tidak dapat diasingkan pula dari asas tersebut.
Karena itu, bentuka dan sistem Islam dapt disimpulkan sebagai berikut:
1. negara Islam tidak berbentuk persekutuan (federation) persemakmuran (commanwealth), tetapi berbentuk kesatuan (union)
2. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan (monarkhi), baik absolut, seperti kerajaaan saudi arabia , maupun parlementer, seperti kerajaan inggris. Juga tidak berbentuk republik, baik presidensil, seperti negara republik Indonesia, maupun parlementer, seperti rusia. Akan tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sisitem khilafah, dimana khalifah tidak seperti presiden, juga tidak sperti perdana menteri, atau juga tidak seperti raja.
3. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk demokrasi, juga tidak berbentuk teokrasi, ataupun autokrasi. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem syura khilafah yang tidak sama seperti demokrasi.
4. Sistem pentadbiran pemerintahan Islam adalah terpusat (centralization), sedangkan administrasinya menganut sistem tak terpusat (decentralization).198
Saturday, June 2, 2007
METODE MENERAPKAN HUKUM ISLAM
Posted by Harist al Jawi at 6:25 PM
Labels: Artikel Pemikiran
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment