Muhammad Hafidz
Pengantar
Bahasa bukanlah pemikiran. Bahasa adalah sarana untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran manusia. Bahasa menjelaskan gambaran pikiran manusia tentang segala sesuatu baik itu benda maupun perbuatan. Orang Indonesia mengatakan kata “pria” atau orang Arab mengatakan “rojul” untuk menyatakan seorang manusia laki-laki dewasa (baligh).
Bahasa adalah sekumpulan lafadz yang tersusun dan memiliki makna, yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain dalam satu kaum. Proses komunikasi tersebut digunakan oleh manusia ketika manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya yang melibatkan manusia yang lain. Kita sering melihat bagaimana sebuah komunikasi tidak berlangsung, ketika dua pihak yang mencoba berkomunikasi menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh pihak yang lain, misalkan seorang turis asing tidak bisa berbahasa lokal bertanya ke orang lokal yang tidak berbahasa asing. Atau, kita pun sering menonton film yang menggambarkan seorang intelijen menggunakan kode-kode tertentu untuk berkomunikasi dengan pusat komandonya. Oleh karena itu, kesamaan makna dalam sebuah bahasa menjadi syarat mutlak bagi terjalinnya komunikasi.
Proses komunikasi terjalin disebabkan oleh kesamaan makna lafadz yang digunakan oleh kedua pihak … artinya kedua belah pihak saling memahami atau memiliki persepsi yang sama tentang lafadz-lafadz yang digunakan. Ini berarti lafadz-lafadz yang digunakan dalam komunikasi haruslah menunjukkan makna yang khas atas sebuah fakta tertentu, sehingga proses komunikasi berlangsung.
Kaum muslim sebagai sebuah kaum juga memiliki bahasa yang khas, yaitu bahasa Arab. Sebagaimana dipahami bahwa Rasulullah Muhammad diturunkan oleh Allah di tengah-tengah masyarakat yang berbahasa Arab, maka risalah Islam datang dalam bahasa Arab, yaitu dalam bentuk Al Qur'an dan As Sunnah.
Sebagai bahasa Islam, bahasa Arab sangat vital bagi pemahaman kaum muslim terhadap Islam. Dengan bahasa Arab, sumber-sumber hukum bisa digali untuk menghukumi fakta-fakta baru yang muncul saat ini. Dengan bahasa Arab, proses ijtihad terus berlangsung dan tanpanya proses ijtihad akan “mandeg” dan kaum muslim “jumud” dalam menjalani kehidupannya.
Setelah kekuasaan Daulah Khilafah Islamiyyah meluas hingga kaum muslim bersentuhan dengan budaya Persia dan Romawi, para ulama bahasa dan para ulama ushul fiqh mulai menyusun kaidah-kaidah dalam berbahasa Arab yaitu bahasa Al Qur'an. Sehingga, saat ini kita mengenal dua aliran besar dalam mempelajari bahasa Arab, yaitu ulama Bashrah (yang berpendapat bahwa semua kata bahasa Arab dibangun dari isim mashdarnya) dan ulama Kuffah (yang berpendapat bahwa semua kata bahasa Arab dibangun dari fiil madlinya). Penyusunan kaidah tersebut untuk menjaga kemurnian bahasa Arab dan kemudahan untuk mempelajari (bagi bangsa yang tidak berbahasa asli Arab) dan mengajarkannya. Semua usaha tersebut menunjukkan bahwa bahasa Arab telah menjadi bahasa resmi didalam Daulah Khilafah Islamiyyah.
Saat ini, ketika bahasa Arab telah ditinggalkan kaum muslim, maka muncul berbagai kebingungan ketika sebuah kata dilontarkan ke tengah-tengah kaum muslim. Ambil contoh kata JIHAD, yang menjadi topik perbincangan di berbagai media massa. Ada yang mengatakan bahwa jihad bermakna segala aktivitas yang dilakukan secara sungguh-sungguh, sehingga muncul istilah-istilah baru: JIHAD ekonomi, JIHAD ilmu pengetahuan, JIHAD politik dan lain-lain. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa jihad adalah BERPERANG di jalan Allah.
Berbagai suara tersebut membingungkan kaum muslim yang tidak memiliki pemahaman akan bahasa Arab dan pemahaman akan peristilahan menurut Islam yang kemudian berdampak kaum muslim tidak memiliki pemahaman yang shohih tentang Islam.
Peristilahan dalam Islam
Kaum muslim adalah kaum yang unik. Dalam berbahasa pun mereka unik. Secara umum, dalam berbahasa hanya dikenal dua jenis makna, yaitu:
§ Makna bahasa (al haqiqah al lughowiyyah al wudlu’iyyah), makna sebuah lafadz yang asli dari pemilik bahasanya.
§ Makna istilah (al haqiqah al lughowiyyah al ‘urfiyyah), makna sebuah lafadz yang sudah beralih dari makna aslinya karena masyarakat sudah biasa menggunakan makna baru tersebut untuk sebuah fakta baru (teks dipengaruhi oleh konteks kalimat).
Sedangkan kaum muslim memiliki satu lagi pemaknaan kata yaitu makna SYAR’I (al haqiqah al lughowiyyah al syar’iyyah), yaitu makna sebuah lafadz beralih dari makna aslinya karena nash syara’ telah menetapkan makna baru tersebut.
Kita ambil contoh. Makna bahasa kata “ekor” akan berbeda dengan makna istilahnya. Jika kita katakan “saya membeli dua ekor kambing” tidaklah bisa kita artikan bahwa “saya membeli ekor kambing sebanyak dua”. Begitupun dengan makna kata “buah”. “Saya membeli dua buah mobil” tidaklah berarti mobil adalah “buah” dari sebuah pohon atau mobil adalah sebuah pohon yang ber”buah”. Begitu pula dengan kata “bunga”. Kalimat “Bunga bank itu indah” memiliki makna kata “bunga” yang berbeda dengan kalimat “bunga bank itu riba”.
Begitupun dalam khazanah Islam. Kata “al khoir” secara bahasa adalah segala sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi manusia. Namun, kata “al kohir” ini memiliki makna istilah yang beragam, sebagaimana Al Qur'an menyebutkannya dalam:
§ Ali Imran 104, bermakna al Islam, sebagaimana para mufassirrin menafsirkannya demikian.
§ Al Baqoroh 272, bermakna harta benda (maal).
§ Al Muzammil 20, bermakna semua aktivitas yang diridloi Allah.
Begitupun dengan kata”sholat”. Sholat, secara bahasa (dari kata sholaa-yashuluu), bermakna do’a. Jika kata “sholat” terkait dengan “min Allah” berarti rahmat (makna istilah). Namun, para fuqoha telah menetapkan kata “sholat” dengan makna syar’i, yaitu sebuah aktivitas ibadah mahdloh yang diawali dengan takbiratul ihram dan ditutup dengan dua salam yang dilaksanakan secara tertib. Sehingga, ketika disampaikan ajakan “laksanakan sholat”, bukanlah do’a atau rahmat yang tergambar di benak kita, tetapi sebuah aktivitas ibadah tersebut.
Tentang jihad juga demikian. Jihad secara bahasa bermakna budzil al wus’i, yaitu bersungguh-sungguh. Dalam banyak hadits pun kata “jihad” memiliki makna yang beragam. Namun, secara syar’i, para fuqoha telah menetapkan makna jihad sebagai mengerahkan segala kemampuan dalam berperang di jalan Allah untuk menegakkan kalimat Allah dan yang diperangi adalah orang-orang kafir, karena dari berbagai nash Al Qur'an, para fuqoha menetapkan kekafiran sebagai sebab bagi jihad. Oleh karena itu, jihad adalah aktivitas-aktivitas yang terkait secara langsung dengan peperangan, baik itu berperangnya, tulisan-tulisan, pidato-pidato, harta untuk perang dan lain-lain (silakan baca dalam beragam kitab fiqh, seperti As Syakhshiyyah Al Islamiyyah jilid 2 oleh Taqiyyuddin an Nabhani bab Jihad, Nailul Author oleh Imam As Syaukani, Al Mahalliy oleh Ibn Hazm, Subulussalam oleh Imam As Shon’aniy).
Tetapi bisakah seorang pelacur yang bersungguh-sungguh melayani pelanggannya disebut seorang mujahid ? Secara bahasa, ya. Bagaimana dengan beragam hadits yang menyatakan jihad nafs, jihad kaum wanita adalah haji dan umroh atau jihad yang paling utama adalah menasihati penguasa yang dholim ? Lafadz “jihad” dalam berbagai hadits tersebut dimana tidak terkait dengan peperangan memiliki makna majaziy, yaitu bukan makna haqiqiy/bukan makna sebenarnya (lihat dalam Subulussalam) dan menunjukkan bahwa ganjaran yang akan diterima oleh pelaku aktivitas sangat besar (lihat As Syakhshiyyah Al Islamiyyah jilid 2). Oleh karena itu, pemaknaan jihad secara luas untuk kasus serangan AS ke Afghan tidaklah tepat, karena yang dituntut saat ini adalah berperangnya kaum muslim ketika diserang oleh kaum kuffar. Selain itu, pemaknaan demikian membahayakan kaum muslim dengan semakin jauhnya pemahaman akan Islam dari dirinya. Lebih jauh pembahasan jihad dalam Islam diberikan dalam kesempatan lain.
Penutup
Topik ini sangatlah penting. Kelemahan dalam memamahami berbagai istilah yang muncul saat ini akan menghasilkan hukum yang salah terhadap fakta yang bersangkutan. Banyak istilah yang merasuki kaum muslim yang tidak semakin memahamkan umat akan Islam tetapi semakin mengaburkan bahkan menyeret kita kepada kemaksiatan kepada Allah. Kita pun sudah melupakan istilah Khilafah Islamiyyah, kholifah, mu’awwin, jihazul idariy, amirul jihad dan lain-lain yang termasuk dalam khazanah kehidupan kaum muslim dengan masuk dan diterapkannya istilah Republik, Kerajaan, Presiden, menteri, demokrasi, nasionalisme dan lain-lain.
Demikianlah peristilahan dalam Islam. Kaum muslim memiliki kahzanah pengetahuan yang sangat luas dan agung. Karenanya, kaum muslim saat ini yang asing dengan Islam haruslah berusaha sekuat tenaga menyiapkan generasi berikutnya agar memiliki pemahaman Islam yang lebih baik, sehingga terwujudlah generasi sekualitas 50 orang sahabat. Semoga Allah mencatat setiap usaha kita untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam. Amiin.
Wallahu a’lam bis showwab
Friday, May 18, 2007
Peristilahan dalam Islam
Posted by Harist al Jawi at 3:06 PM
Labels: Artikel Pemikiran
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment