MELENYAPKAN NEGARA ISLAM
Perang Dunia I berakhir ditandai dengan gencatan senjata antara dua pihak yang bertempur. Pasca-perang, Sekutu memperoleh kemenangan yang gemilang. Sementara Daulah 'Utsmani hancur berkeping-keping menjadi negara-negara bangsa yang kecil-kecil. Sekutu berhasil menguasai seluruh Negara Arab. Mesir, Siria, Palestina, Timur Yordan, dan Iraq dipaksa melepaskan diri dari kesatuan Negara Islam.
Di tangan penguasa 'Utsmani tidak ada yang tersisa selain Negara Turki. Turki sendiri sudah disusupi Sekutu. Angkatan Laut Inggris menguasai pelayaran. Pasukannya menduduki sebagian ibukota, semua pelayaran Selat Dardanil, dan medan-medan pertempuran yang penting di semua wilayah Turki. Pasukan Perancis menduduki sebagian Istambul dan memenuhi jalan-jalan Sinegal. Tentara Itali menganeksi Beira dan jalur rel kereta api. Para perwira sekutu mengatur tata tertip kepolisian, penjagaan tanah air, dan pelabuhan. Mereka juga melucuti senjata para perwira Turki dan mensipilkan sebagian besar mereka. Jam'iyyatu al-Ittihaadi wa al-Taraqiy (Komite persatuan dan kemajuan) menyusut. Jamal Pasya dan Anwar Pasya lari keluar negeri. Sisa-sisa anggota jam'iyyah menyembunyikan diri. Pemerintahan yang kurus (sakit) ini akhirnya dibentuk kembali dengan kepemimpinan Taufiq Pasya agar menjalankan instruksi-instruksi musuh yang berkuasa. Ketika itu Khalifah Negara Islam adalah Wahiduddin. Dia melihat bahwa dirinya berada di depan masalah ini dan harus bertanggung jawab. Karena itu, dia bertekad akan menyelamatkan kedudukannya dengan cara yang sangat bijak. Langkah pertama yang ditempuhnya membubarkan parlemen dan menyerahkan jabatan perdana mentri kepada sahabat karibnya yang paling jujur, Farid. Dia mendukung pandangannya yang perilaku politiknya ramah terhadap Sekutu dan tidak mengambil sikap oposan supaya tidak menyebabkan hancurnya negara. Apalagi peperangan telah berhenti.
Khalifah akhirnya benar-benar melaksanakan kebijaksanaannya ini. Kondisinya pun masih tetap seperti semula karena Sekutu masih terus mengontrol, sementara Turki terlena dalam kebekuan hingga pertengahan tahun 1919 M. Di ujung tahun ini keadaan mulai berubah dan berganti. Kelemahan menggerogoti kedudukan Sekutu. Itali, Perancis, dan Inggris mengalami kelesuan yang sangat parah karena pertikaian masalah ras. Konflik internal sangat tajam hingga nyaris mencerai-beraikan barisan kesatuan mereka. Di antara negara-negara Sekutu sendiri pun telah dirayapi pertikaian. Indikasinya terlihat di Istambul di tengah para aktor politik Sekutu yang memperebutkan harta rampasan perang. Tiap-tiap anggota negara-negara Sekutu berambisi untuk memperoleh bagian yang paling besar dari markas-markas militer dan keistimewaan-keistimewaan ekonomi yang dikuasainya. Kondisi ini sebenarnya sangat memungkinkan bagi Turki mencoba membidikkan anak panahnya yang terakhir sehingga diharapkan dapat menyelamatkan kedudukan daulah. Tindakan ini seharusnya diambil Turki setelah melihat Sekutu dalam keadaan lemah dan saling bertikai sampai-sampai di antara sesama mereka saling berebut membakar Turki agar melawan negara-negara tertentu dan membantu mengalahkan negara-negara tertentu lainnya dari kelompok yang sama, yaitu Sekutu.
Pasca-perang, di tengah konflik internal Sekutu, konferensi perdamaian belum ditetapkan. Syarat-syarat perdamaian juga belum dirumuskan. Sementara di ufuk, kilauan kecermelangan angan-angan mulai tampak. Di tengah kehidupan manusia, keyakinan akan kemungkinan menyusun gerakan perlawanan mulai membentuk. Akan tetapi, Inggris lebih dulu menangkap tanda-tanda ini. Dengan cepat, Inggris mempekerjakan Mushthafa Kamal. Dia harus berjalan sesuai dengan garis politik Inggris, melaksanakan kebijakan globalnya, dan mewujudkan misi utamanya yang hendak menghabisi Negara Khilafah. Maka, di Istambul dibentuk kelompok-kelompok rahasia yang jumlahnya lebih dari 10 buah. Tujuannya mencuri senjata dari gudang-gudang negara (Daulah 'Utsmani) yang pengawasannya sudah dibeli supaya tunduk pada musuh. Di samping itu, Inggris juga mengirimkan sistem aturannya yang samar dan menyusupkannya ke dalam daulah. Sebagian pejabat resmi justru membantu penyusupan ini. Untuk lebih memperlancar keberhasilan misi politik Inggris, maka 'Ashamta diangkat menjadi wakil mentri peperangan, Fauzi menjadi kepala kesatuan militer, Fathiy menjadi mentri dalam negeri, dan Rauf menjadi mentri kelautan. Mereka semua membantu gerakan-gerakan bawah tanah. Maka tidak heran jika kelompok-kelompok ini berdiri dalam jumlah yang banyak. Tujuannya yang paling penting adalah menjalankan permusuhan rahasia terhadap musuh. Lalu muncul kelompok al-Ittihad wa al-Taraqiy. Sebagian kelompok militer yang sistematis bergabung dengan gerakan-gerakan ini. Kemudian gerakan-gerakan berkumpul dalam satu wadah di bawah pimpinan Mushthafa Kamal. Dia memainkan peran penting dalam memberikan perlawanan terhadap Sekutu (selain Inggris karena Mushthafa bekerja untuknya) dan mengusir mereka dari daulah. Dalam waktu yang sama, Mushthafa Kamal juga memusuhi pasukan khalifah ketika menentang aksi politis dan militernya yang memusuhi Sekutu. Dalam operasi ini, Mushthafa Kamal memperoleh hasil yang besar. Kemudian dia melihat bahwa pemerintah pusat dan kekuasaan di Istambul jatuh di bawah kontrol Sekutu. Karena itu, sebagai gantinya dia harus menjalankan pemerintahan kebangsaan di Anatoli.
Dalam melaksanakan aksinya, Mushthafa Kamal mengawali revolusinya dengan memberi baju kebangsaan dan mengakhirinya dengan melenyapkan kekhilafahan dan memisahkan Turki dari bagian-bagian wilayah Daulah 'Utsmani. Bukti di lapangan menunjukkan revolusi Mushthafa Kamal untuk kepentingan Inggris. Inggrislah yang menyiapkan segala hal untuk kesuksesan revolusi ini. Inggris mengirim Mushthafa Kamal agar mengadakan revolusi.
Mushthafa Kamal mengadakan muktamar kebangsaan di Swis dan berhasil mengeluarkan berbagai keputusan, di antaranya tentang sarana dan pola strategi (wasilah dan uslub) yang memiliki tanggung jawab politik dalam mengamankan kemerdekaan Turki. Muktamar juga berhasil mengambil berbagai keputusan. Satu di antaranya memilih Komite Pelaksana dan Mushthafa Kamal ditunjuk sebagai pemimpin komite. Tidak berapa lama muktamar mengirimkan mosi peringatan kepada penguasa. Isi mosi menuntut Perdana Mentri Farid diturunkan dari jabatannya dan melangsungkan pemilihan parlemen baru yang bebas. Di bawah tekanan muktamar, sultan dipaksa tunduk untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya sampai akhirnya sultan menurunkan perdana mentri dan mengangkat 'Ali Ridha menggantikan kedudukan Farid. Sultan juga memerintahkan perdana mentri baru (Ali Ridha) untuk mengadakan pemilihan anggota parlemen baru yang sebagian besar tunduk pada para peserta muktamar. Mereka sukses menyusun parlemen baru.
Akibat dari kesuksesan ini berhasil memboyong muktamar dan para anggotanya ke Angkara. Semenjak itu, Angkara menjadi pusat kegiatan politik. Anggota muktamar mengadakan perkumpulan di Angkara. Agendanya mengusulkan parlemen agar berkumpul di Istambul dan setelah itu membubarkan muktamar yang anggotanya telah resmi menjadi anggota parlemen. Akan tetapi, Mushthafa menentang dua pikiran ini dan mengatakan, "Muktamar harus dilanjutkan hingga keberpihakan parlemen pada keadilan menjadi jelas dan politiknya juga jelas. Mengenai kepindahan parlemen ke ibukota tidak lain merupakan tindakan dungu yang gila. Kalian seandainya melakukannya, niscaya kalian menjadi manusia di bawah belas kasihan musuh yang asing. Inggris akan selalu mengontrol daulah dan kekuasaan akan memasuki urusan kalian dan mungkin akan menahan kalian. Kalau begitu parlemen harus tetap diadakan di sini! Di Angkara! Agar kemandiriannya tetap terjaga." Dengan total, Mushthafa Kamal terus-menerus memaksakan idenya, akan tetapi tidak berhasil mengangkat anggota dewan yang akan mengadakan sidang parlemen di Angkara. Anggota dewan justru pergi ke ibukota (Istambul) dan mengatakan pada khalifah tentang dukungan mereka terhadapnya. Kemudian mereka bekerja menekuni tugas mereka masing-masing. Demikian itu terjadi di bulan Januari tahun 1920 M.
Akan tetapi, sultan justru berusaha memenuhi kehendaknya agar anggota dewan melaksanakannya, namun mereka menolak dan menampakkan kekukuhan memegang hak-hak negara. Ketika tekanan sultan terhadap mereka mengeras, mereka malah menyebarkan opini umum tentang deklarasi kebangsaan yang telah ditetapkan muktamar, di Swis. Deklarasi ini mencakup syarat-syarat penerimaan perdamaian berdasarkan asas deklarasi. Dan, yang paling penting, agenda menjadikan Turki merdeka masuk dalam ketetapan Deklarasi Swis. Tentu keputusan ini menyenangkan Sekutu, apalagi Inggris. Karena keputusan inilah yang sebenarnya mereka upayakan, di samping upaya lain dengan menggiring penduduk daulah mengeluarkan keputusan yang sama.
Menilik dari indikasi-indikasi ini, dapat diketahui bahwa semua negeri yang diperintah Daulah 'Utsmani yang notabene Negara Islam pasca-Perang Dunia I membuat konsensus kebangsaan yang mengandung satu komitmen saja, yaitu memerdekakan diri sebagai negara merdeka yang berdiri sendiri dan terpisah dari Daulah 'Utsmani. Konsensus ini persis dengan yang dikehendaki Sekutu. Iraq membuat deklarasi kebangsaan. Agendanya mewujudkan Negara Iraq merdeka. Siria membuat piagam kebangsaan. Targetnya memerdekakan Siria menjadi Negara Siria yang berdiri sendiri. Begitu juga Palestina, Mesir, dan negeri-negeri Islam lainnya. Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan Sekutu, apalagi Inggris. Lebih-lebih dengan adanya deklarasi kebangsaan Turki. Gerakan-gerakan kebangsaan itu sesuai dengan apa yang dikehendaki mereka (Sekutu dan Ingris). Kebijakan global mereka adalah memecah-belah Daulah 'Utsmani dan membagi-baginya menjadi beberapa negara hingga tidak kembali menjadi satu negara yang kuat yang menjalankan pemerintahan negara kaum muslimin. Seandainya tidak ada deklarasi dan perjanjian ini yang disukseskan oleh Sekutu dengan ketetapannya dalam semua wilayah daulah, niscaya persoalannya akan menjadi lain. Demikian itu karena Daulah 'Utsmani adalah negara satu dan semua wilayahnya dihitung menjadi bagian darinya. Semuanya berjalan di atas sistem yang satu, bukan federal. Dalam Negara Islam tidak ada perbedaan antara Hijaz dan Turki. Juga tidak ada perbedaan antara panji-panji Quds dan Iskandarunah. Karena semuanya satu negara. Dalam kasus persekutuan antara Turki-Jerman, menyerang Turki samahalnya menyerang Jerman. Persamaannya sebanding karena keduanya bersekutu dalam peperangan. Syarat-syarat perdamaian yang ditetapkan pada salah satu di antara keduanya (Ottoman dan Jerman) juga berlaku pada yang lain. Jika penduduk Jerman tidak menyia-nyiakan atau menceraiberaikan negaranya meski hanya sejengkal tanahnya juga tidak memutus hubungan, maka demikian juga keadaan yang seharusnya ada di Daulah 'Utsmani tidak boleh memutus hubungan. Sekutu mengetahui hal itu dan mereka telah mempertimbangkan dengan seribu pertimbangan. Namun, orang-orang 'Utsmani sendiri menuntut daulah mereka menjadi beberapa negara bagian yang berdiri sendiri. Bangsa Arab maupun Turki sama-sama menghendaki demikian. Maka, adakah yang paling cepat disambut dan didorong oleh Sekutu melebihi fakta demikian ini, apalagi tuntutan pelepasan negeri-negeri juga muncul dari pusat daulah (Turki) sendiri. Lebih-lebih Turki yang memegang peran paling banyak dalam menjalankan pemerintahan daulah juga berusaha menjadikan Negara Turki Merdeka.
Karena itu, Sekutu menyimpulkan komite perjanjian kebangsaan Turki adalah kemenangan terakhir bagi mereka. Dengan alasan adanya pengaruh penyebaran perjanjian kebangsaan, maka Sekutu membiarkan Turki bebas melakukan perlawanan. Dari setiap tempat, mereka menyeret Turki. Sementara kekuatan Inggris dan Perancis menyeret dari dalam dan memompa semangat kebangsaan Turki sehingga menjadi semakin kuat. Di dalam negeri timbul gerakan perlawanan yang menentang musuh (Sekutu) di mana gerakan itu berbalik menjadi revolusi menentang sultan. Itulah yang memaksa sultan menyiapkan pasukan dan mengirimkannya dengan serangan dan perlawanan yang kuat. Semua orang bergabung dengan sultan kecuali Angkara yang memang menjadi pusat revolusi. Angkara sendiri hampir-hampir jatuh. Semua desa yang mengepungnya bergabung menjadi satu di bawah bendera sultan dan berpihak pada pasukan khalifah. Mushthafa Kamal dan para pengikutnya di Angkara berada dalam kondisi yang sangat kritis dan terpuruk. Meski demikian, Mushthafa Kamal tetap melakukan perlawanan. Dia membakar api semangat baru dalam sentuhan nasionalis Turki. Upaya Mushthafa Kamal berhasil. Tekad dan semangat nasionalis mereka berkobar kembali. Di berbagai wilayah dan desa-desa Turki tersebar berita tentang keberhasilan Inggris menduduki ibukota, banyak kaum nasionalis yang ditawan, rumah-rumah parlemen ditutup dengan paksa, sementara bantuan atau dukungan sultan dan pemerintahannya terhadap mereka macet. Keadaan menjadi berubah. Orang-orang berpaling dari sultan. Opini umum digiring untuk mendukung kaum nasionalis di Angkara. Kaum pria dan wanita berbondong-bondong mendatangi Angkara untuk berjuang mempertahankan Turki. Banyak pasukan khalifah yang lari dan bergabung dengan pasukan Mushthafa Kamal yang telah menjadi pusat pandangan Turki dan figur yang mengikat cita-cita kebangsaan Turki. Kelompoknya menjadi kuat. Kebanyakan negara dan wilayah-wilayah daulah di dalam genggamannya. Melihat kondisi yang menguntungkan pihaknya, Mushthafa Kamal mengeluarkan selebaran-selebaran yang mengajak untuk memilih Komite Kebangsaan yang kedudukannya di Angkara. Pemilihan berhasil dilaksanakan dan anggota-anggota dewan yang baru juga berhasil dikumpulkan. Mereka (para anggota dewan) mendeklarasikan diri sebagai al-Jam'iyyah al-Wathaniyyah al-Kubraa (komite kebangsaan besar). Bahkan, mereka juga menyatakan bahwa mereka adalah pemerintahan yang sah, kemudian memilih Mushthafa Kamal menjadi pemimpin komite.
Angkara menjadi pusat pemerintahan kebangsaan. Semua unsur kebangsaan Turki bergabung dan memusat di Angkara. Mushthafa Kamal berdiri tegak. Dengan halus, dia melanjutkan operasinya, melumatkan sisa-sisa pasukan khalifah, dan menghentikan perang saudara. Kemudian dia mencurahkan perhatian untuk memerangi dan mengacaukan Yunani dalam pertempuran-pertempuran berdarah. Pada mulanya kemenangan berpihak pada Sekutu. Kemudian persoalan-persoalan berubah dan neraca Mushthafa Kamal lebih berat. Bulan Agustus 1921 sampai masa yang menguntungkan, Mushthafa Kamal berhasil berdiri tegak. Dengan sekali hantaman kilat, dia mampu mengakhiri pertempuran dengan kemenangannya terhadap Yunani yang telah menduduki Izmir dan sebagian pantai Turki. Di awal-awal September 1921 Mushthafa Kamal mengirim delegasi ke 'Ashamta untuk menemui Harnajitun guna mengadakan kesepakatan pemecahbelahan wilayah khilafah. Di sana Sekutu sepakat untuk mengusir Yunani dari Turis, Konstantinupel, dan Turki dan menawannya. Dari urutan langkah-langkah Mushthafa Kamal dapat dilihat bahwa kesepakatan Sekutu merupakan bentuk sambutan menerima Mushthafa Kamal untuk segera menghabisi pemerintahan Islam. Karena itu, tidak aneh jika Anda menemukan indikasinya, yaitu ketika komite kebangsaan mendebatnya tentang masalah Turki setelah kemenangan-kemenangan yang dijaganya, Mushthafa Kamal justru berpidato dengan mengatakan, "Saya bukanlah seorang mukmin yang terikat dengan liga (pengikut kelompok) negara-negara Islam, tidak juga hingga dengan kelompok bangsa-bangsa 'Utsmani. Masing-masing orang dari kita mempercayai pendapat yang dilihatnya. Pemerintah harus meyakini (memegang teguh) politik yang kokoh yang disusun dan dibangun di atas sejumlah nilai esensiil yang memiliki tujuan satu dan tunggal. Politik itu untuk menjaga kehidupan kebangsaan. Wilayah independennya masuk dalam bingkai batas-batasnya yang bersifat geografis. Maka, tidak ada sentimen rasa (iman) dan tidak pula angan-angan (kekhilafahan) yang harus berpengaruh dalam politik kita. Kita harus menjauhkan mimpi dan khayalan. Di masa lalu hal itu telah membebani kita dengan ongkos yang mahal."
Seperti demikianlah yang dikehendaki Mushthafa Kamal (Inggris dan Sekutu). Dia mengumumkan bahwa dirinya menghendaki kemerdekaan Turki dengan sifat kebangsaan Turki, bukan umat Islam. Sebagian anggota dewan dan para politisi menuntut kepadanya untuk menjelaskan pendapatnya tentang hal-hal yang menjadi kewajibannya membentuk pemerintahan baru di Turki. Tentu tidak masuk akal jika Turki memiliki dua pemerintahan sebagaimana yang ditetapkan ketika itu, yaitu pemerintahan yang ditentukan batas waktunya dan memiliki kekuasaan yang kedudukannya di Angkara dan pemerintahan resmi di ibukota (Istambul) yang dikepalai oleh sultan dan para mentrinya. Para politisi mendesak terus meminta penjelasan pendapat Mushthafa Kamal tentang kebijakan ini, namun dia tidak menjawabnya dan menyembunyikan niatnya. Akibatnya, opini umum berkobar dan menyudutkan Khalifah Wahiduddin sebab dia membantu Inggris dan Yunani hingga kemarahan bangsa berkobar dan menyerang khalifah.
Di tengah-tengah iklim politik yang memanas dan rasa dendam pada sultan, kelompok Komite Kebangsaan menjelaskan garis kebijakannya tentang persoalan sultan dan pemerintahan. Mushthafa Kamal tahu bahwa dirinya mampu mengangkat (memuaskan) anggota dewan dengan melepaskan Wahiduddin dan menghapus kesultanan. Akan tetapi, dia tidak berani berlaku gegabah dengan menyerang khilafah. Sebab hal itu dengan sendirinya akan menyentuh perasaan keislaman seluruh bangsa. Karena itu, dia tidak menghapus khilafah dan tidak menentangnya. Hanya saja dia mengusulkan adanya aturan yang memisahkan antara kekuasaan dan khilafah, lalu dia menghapus kesultanan dan mencabut Wahiduddin dari kekuasaan (bukan lembaga khilafah). Apa yang didengar anggota dewan mengenai usulan ini membuat mereka diam memberengut. Mereka mulai menyadari bahaya usulan ini yang dibebankan oleh Mushthafa Kamal kepada mereka agar menetapkannya. Mereka bermaksud mendiskusikan dan menyanggah usulan. Namun, Mushthafa Kamal takut akan akibat diskusi ini. Maka, dia mendesak dewan agar mengambil ide yang diusulkannya. Untuk mengegolkan usulannya, Mushthafa Kamal memperkuatnya dengan 80 anggota dewan dari para pendukung setianya. Akan tetapi, majelis tetap menolaknya dan menyerahkan atau memandatkan usulan itu kepada Komite Perundang-undangan agar membahasnya.
Ketika Komite mengadakan rapat di hari berikutnya, Mushthafa Kamal juga menghadiri majelis yang menjadi tempat berkumpul anggota Komite. Dia duduk sambil mengawasi aksi-aksi para anggota Komite. Akhirnya, perdebatan tentang usulan Mushthafa Kamal tidak bisa dihindari, bahkan terus berlangsung hingga beberapa waktu. Sejumlah anggota majelis dari kalangan para ulama dan pembela kebenaran menentang usulan ini. Mereka memberi argumen-argumen kuat dengan didasarkan pada nash-nash syar'i. Menurut mereka, usulan Mushthafa Kamal bertentangan dengan syara' karena di dalam Islam tidak ditemukan kekuasaan agama, kekuasaan lainnya, dan kekuasaan dunia. Kesultanan dan khilafah adalah sesuatu yang satu. Di sana tidak ditemukan sesuatu yang dinamakan agama dan lainnya dinamakan daulah. Bahkan, dalam sistem ini, ada sistem Islam dan daulah dikatagorikan bagian dari sistem ini. Daulahlah yang menjalankan sistem ini. Karena itu, Komite Perundang-undangan tidak menemukan alasan apapun yang membenarkan pemisahan ini, bahkan tidak menemukan kebenaran bahasan. Nash-nash Islam sangat jelas menerangkan persoalan ini. Karena itu, Komite menolak usulan ini. Akan tetapi, Mushthafa Kamal berpikiran lain. Dia sudah bertekad akan memisahkan agama dari negara (Daulah Islam). Caranya dengan memisahkan kesultanan dari khilafah. Ini merupakan langkah awalnya untuk menghapus khilafah, di samping sebagai pelaksana peran yang telah disiapkan oleh Inggris untuk menghabisi Daulah Khilafah dan sebagai bentuk pemenuhan tuntutan Sekutu kepadanya hingga mereka berhasil mengakhiri riwayat Daulah Islam melalui tangan rakyatnya sendiri.
Melihat perdebatan-perdebatan Komite dan arah pembicaraannya yang menggores syaraf-syarafnya, maka Mushthafa Kamal spontan meloncat berdiri. Dia kemudian melangkah ke depan lalu mengambil tempat. Dia duduk dalam keadaan sangat marah, lalu memutus perdebatan Komite dengan berteriak keras: "Hai Tuan-tuan! Kesultanan 'Utsmani telah merampas kepemimpinan bangsa dan kekuatan yang diyakini bangsa yang hendak menuntut kembali dari sultan. Kesultanan merampasnya dengan kekuatan. Kesultanan harus dipisahkan dari khilafah dan dibatalkan! Baik kalian setuju atau tidak, hal itu pasti akan terjadi! Setiap persoalan yang terdapat dalam urusan ini pasti akan menjatuhkan sebagian kepala kalian dalam lipatan itu." Dia berkata dengan bahasa seorang diktator. Dia memecah perkumpulan Komite, kemudian seketika itu Komite Kebangsaan dipanggil agar membahas usulannya.
Ditilik dari arah diskusinya, tampak jelas bagi Mushthafa Kamal bahwa arah opini Komite yang menonjol condong pada pembatalan usulannya. Tanda-tanda ini mendorong para pendukungnya berkumpul di seputarnya dan meminta dewan memberikan pendapat tentang usulan Mushthafa Kamal dengan cara mengangkat tangan. Akan tetapi, anggota dewan tidak setuju dan memprotes cara ini seraya berkata, "Jika harus memberi pendapat, maka harus diserukan dengan nama." Namun, Mushthafa Kamal menolaknya. Dengan suara mengancam, dia berteriak keras, "Aku setuju dengan majelis yang menerima usulan dengan kesepakatan pendapat. Pengambilan suara cukup dengan mengangkat tangan." Usulan pun dilontarkan untuk meminta suara dan tidak ada yang mengangkat kecuali sedikit tangan. Akan tetapi, anehnya, hasil akhir tetap memutuskan bahwa majelis telah mengesahkan usulan Mushthafa Kamal dengan suara bulat. Anggota dewan bingung. Mereka tidak bisa menerima dagelan ini. Sebagian mereka meloncat ke atas tempat duduk dengan berteriak lantang, "Keputusan ini tidak sah dan kami tidak setuju!" Para pendukung al-Ghaziy (Mushthafa Kamal) ganti berteriak mendiamkan mereka. Maka suasana sidang menjadi kacau. Mereka saling mengecam dan menuduh. Sementara pemimpin dewan mengumumkan sekali lagi "hasil akhir sidang" dengan menyatakan bahwa Komite Kebangsaan Besar Turki (al-Jam'iyyatu al-Wathaniyyah al-Kubraa) memutuskan dengan "suara bulat" bahwa kesultanan dihapus (dipisahkan dari lembaga khilafah). Kemudian pecahlah majelis. Mushthafa segera meninggalkan ruangan yang diiringi para pengikutnya. Ketika Khalifah Wahiduddin mengetahui hal itu, dia lari dengan ketakutan. Pengaruh "keputusan dewan" yang diumumkan membuatnya lari. Dan, kekosongan kekhilafahan ini harus segera diisi. Maka, saudaranya, Abdul Majid dipanggil dan didaulat menjadi khalifah kaum muslimin yang kosong dari semua kekuasaan [karena keputusan dewan]. Dengan sebab itu, dia menjadi khalifah tanpa kekuasaan. Daulah terus-menerus tanpa penguasa yang syar'i.
Jika kesultanan atau kekuasaan dipisahkan dari khilafah, maka siapakah yang menerapkan hukum dan menjalankan pemeritahan? Mushthafa Kamal sangat berambisi untuk memisahkan kesultanan dari khilafah. Dia sudah merencanakannya lebih dulu sebelum menentukan bentuk pemerintahan yang akan menggantikan kekhilafahan. Kekhilafahan akan diubah menjadi Pemerintahan Turki. Karena itu, dia menentukan bentuk pemerintahan baru setelah menghapus (memisahkan) kesultanan. Apakah Mushthafa Kamal akan menyusun parlemen ketika masih menjadi kepala pemerintahan bidang perundang-undangan, sementara khalifah masih "memiliki" kekuasaan (pengaruh, bukan wewenang formal) karena penghapusan [kekuasaan] dianggapnya tidak memiliki pengaruh (tidak sah)? Khalifah tidak menerima Mushthafa Kamal yang hendak menyusun parlemen. Namun, Mushthafa Kamal menyembunyikan apa yang menjadi tekadnya. Kemudian dia melanjutkan operasinya dengan dukungan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya, dan menjalankan pemerintahan melalui jalur kebangsaan. Dia membentuk partai yang dinamakan Partai Kebangsaan. Tujuannya adalah untuk mengambil opini umum menjadi milikya. Meski langkah-langkahnya sudah sedemikian jauh, Mushthafa Kamal tidak bisa memungkiri bahwa suara mayoritas di Komite adalah lawannya setelah dia mengumumkan dengan paksa pemisahan kesultanan dari khilafah. Karena itu, dia perlu mengambil inisiatif untuk diumumkan tentang bentuk pemerintahan yang ditetapkannya, yaitu Pemerintahan Republik Turki dan memproklamirkan dirinya sebagai presidennya. Kemudian Mushthafa Kamal bekerja keras untuk menjerumuskan Komite dalam berbagai kemelut berdarah sehingga dia punya alasan untuk meminta pembatalan parlemen (parlemen lama) yang menjalankan pemerintahan dan mengajukan pembatalannya pada Komite Kebangsaan. Komite tidak menemukan orang yang pas untuk menguasai parlemen. Setelah kemelut memuncak, dia usul pada komite agar Mushthafa Kamal menguasai parlemen. Komite pun menerimanya karena keadaannya memang sangat genting dan Mushthafa Kamal dipercaya untuk mengatasinya. Komite meminta Mushthafa Kamal menguasai (memerintah) parlemen dan menyelesaikan krisis. Pada mulanya, dia menampakkan kesulitan, kemudian menjawab permintaan, lalu naik ke pelaminan dan berkata kepada anggota dewan: "Kalian telah mengirimkan utusan untuk memintaku agar menyelamatkan keadaan dalam benaman krisis yang susul-menyusul. Akan tetapi, krisis ini akibat perbuatan kalian. Tidaklah tempat pertumbuhan krisis ini adalah persoalan yang lewat saja (sepele), tetapi telah meninggalkan garis kebijakan yang mendasar dalam sistem pemerintahan kita. Maka dari itu, Komite Kebangsaan menjalankan fungsi kekuasaan merumuskan hukum dan undang-undang serta kekuasaan pelaksana dalam satu waktu. Setiap dewan dari kalian harus bersekutu dalam mengeluarkan setiap keputusan dengan mentriku dan menyusupkan jari-jarinya dalam tiap birokrasi pemerintahan. Setiap keputusan milik mentri. Hai Tuan-tuan, tidaklah seorang mentri (pejabat tinggi dalam pemerintahan khilafah) mampu memikul tanggung jawab dan menerima kedudukan dalam kondisi seperti ini? Kalian harus menyadari bahwa pemerintahan yang berdiri di atas asas ini adalah pemerintahan yang mustahil mampu mewujudkannya. Jika dijumpai pemerintahan seperti itu, maka itu bukanlah pemerintahan, bahkan merupakan kekacauan. Kita wajib mengubah kebijakan ini. Karena itu, aku memutuskan Turki menjadi Republik yang memiliki seorang presiden yang dipilih melalui pemilihan umum." Setelah menyelesaikan pidatonya, dia mengumumkan rumusan yang dijanjikan sebelumnya, yaitu mengubah Negara Islam menjadi Republik Turki dan Mushthafa Kamal dipilih menjadi presiden Turki pertama. Dengan demikian, dia mengangkat dirinya menjadi penguasa hukum undang-undang negara.
Akan tetapi, persoalannya tidak segampang sebagaimana yang dikehendaki Mushthafa Kamal. Bangsa Turki adalah bangsa muslim. Apa yang dilakukan Mushthafa Kamal adalah bentuk penentangan terhadap Islam. Negara didominasi pemikiran yang menyatakan bahwa Mushthafa Kamal bertekad menghabisi Islam. Pemikiran ini diperkuat dengan perilaku-perilaku Mushthafa Kamal sendiri yang jelas-jelas mengingkari dan melanggar Islam di sepanjang hidupnya, khususnya dalam menentang semua hukum syara'. Dia juga sering menampakkan pelecehan atau merendahkan setiap keputusan suci atau hukum yang berlaku di tengah kehidupan kaum muslimin. Mayoritas umat yakin bahwa Pemerintahan Angkara yang bertanah keras adalah pemerintahan kufur yang bertanah tandus. Masyarakat akhirnya bergabung di seputar Khalifah Abdul Majid dan berusaha untuk mengembalikan kekuasaan kepadanya dan menjadikannya penguasa yang akan menghukum kaum murtad. Mushthafa Kamal mengetahui bahaya yang mulai membesar. Dia juga melihat bahwa mayoritas rakyat membencinya dan mempersepsikannya sebagai seorang zindiq, kafir, dan ateis. Mushthafa Kamal berpikir keras tentang persoalan ini. Akhirnya, dia memantapkan langkahnya dengan meningkatkan aktifitas propaganda menentang khalifah dan khilafah. Di setiap tempat dan kesempatan, dia membakar gelora semangat Komite Kebangsaan hingga Undang-undang Pemberantasan (subversif) semakin dipertajam dengan menyatakan bahwa setiap penentang Republik dan setiap dukungan terhadap sultan dicap sebagai pengkhianat yang diancam hukuman mati. Kemudian dalam setiap mejelis pertemuan, apalagi dalam Komite Kebangsaan (Dewan Nasional), Mushthafa Kamal membahas, memperbincangkan, dan mengumumkan bahaya khilafah. Lebih jauh, Mushthafa Kamal menyiapkan iklim yang mendorong penghapusan khilafah. Sebagian anggota dewan membicarakan manfaat khilafah bagi Turki dari sisi diplomasi. Akan tetapi, Mushthafa Kamal menentang mereka dan berkata pada Komite Nasional: "Tidakkah sebab khilafah, Islam, dan tokoh-tokoh agama, khalifah memerangi orang-orang desa Turki dan mereka mati selama lima abad? Sekarang ini Turki baru melihat kepentingannya dan tidak menghiraukan India dan Arab, serta melaksanakan pemerintahan sendiri dan bebas dari penguasaan kaum muslimin."
Seperti demikianlah langkah-langkah Mushthafa Kamal. Dia menjalankan aksinya dalam propaganda-propaganda menentang khilafah dengan menjelaskan bahaya-bahayanya bagi Turki, sebagaimana menjelaskan bahaya-bahaya khalifah terhadap dirinya. Dia menggambarkan khalifah dan para pendukungnya dengan gambaran yang tidak jujur dan menampakkan gambar mereka dengan penampakan yang dibuat-buat Inggris. Tidak cukup dengan itu saja. Bahkan, dia juga menciptakan gelombang ketakutan yang menentang orang-orang yang mendukung khilafah. Seorang anggota dewan meneriakkan keberpihakannya pada khilafah dengan keras. Dia dengan tegas menunjukkan pembelaannya pada agama. Melihat penentangan ini, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Mushthafa Kamal kecuali menugaskan seseorang secara rahasia untuk membunuh anggota dewan itu di malam hari. Dengan segera, petugas rahasia dari geng Mushthafa Kamal membunuh anggota dewan tersebut di tengah perjalanan pulang ke rumahnya dari pertemuan Komite Nasional. Seorang anggota dewan lain menyampaikan orasi Islam, lalu Mushthafa Kamal mendatanginya dan mengancamnya dengan hukuman gantung jika dia masih membuka mulutnya sekali lagi. Seperti demikianlah cara-cara yang dilakukan Mushthafa Kamal. Dia menebarkan ketakutan si sepanjang daulah. Dia juga menugaskan seorang hakim Istambul untuk melakukan kewajiban menghapus panji-panji kebesaran yang mengitari arak-arakan khalifah di tengah-tengah melaksanakan shalat Jumat. Akibatnya, derajat khalifah turun hingga ke batas yang paling rendah. Mushthafa Kamal juga mengingatkan dengan keras kepada para pengikut khalifah supaya melepaskan diri darinya. Peringatannya wajib dilaksanakan. Memperhatikan perkembangan ini, sebagian golongan moderat dari para pendukung Mushthafa Kamal yang masih memiliki semangat Islam mengkhawatirkan terhapusnya khilafah. Maka, mereka meminta Mushthafa Kamal untuk mendudukkan dirinya menjadi khalifah kaum muslimin. Namun, Mushthafa Kamal tidak menerimanya. Kemudian dua orang utusan yang masing-masing dari Mesir dan India mendatangi Mushthafa Kamal. Keduanya juga meminta Mushthafa Kamal mengangkat dirinya menjadi khalifah. Harapan ini berulang-ulang disampaikan, tetapi Mushthafa Kamal menolaknya, bahkan dia telah menyiapkan pukulan yang mematikan dengan mengumumkan penghapusan khilafah. Di udara, di tengah kehidupan bangsa, di tengah pasukan, dan di tengah Komite Naional, dia membangkitkan kemarahan dan kemurkaan terhadap pihak-pihak asing, musuh, dan sekutu khalifah. Upaya membangkitkan kemarahan terhadap asing ini merupakan tipuan untuk memanipulasi tujuan yang di antaranya menghubungkan dugaan negatif terhadap khalifah yang dipersepsikan sebagai sekutu asing sehingga pengaitan rekayasa ini akan membangkitkan kemarahan rakyat pada khalifah. Mushthafa Kamal juga mencemarkan udara dengan isu-isu yang mampu membangkitkan perlawanan terhadap khalifah. Ketika iklim yang sudah panas ini menguasai daulah, maka Mushthafa Kamal maju selangkah lebih berani. Pada tanggal 3 Maret 1924 M Mushthafa mengadakan sidang Komite Nasional dengan rumusan yang sudah ditetapkan, yaitu memutuskan penghapusan khilafah, membuang khalifah, dan memisahkan agama dari negara. Di antara pidato yang disampaikan pada anggota dewan ketika menetapkan rumusan ini adalah: "Dengan harga apa yang harus dibayar untuk menjaga Republik yang terancam ini dan menjadikannya berdiri kokoh di atas prinsip ilmiah yang kuat? Jawabnya khalifah dan semua keturunan keluarga 'Utsman harus pergi [dari Turki], pengadilan agama yang kuno dan undang-undangnya harus diganti dengan pengadilan dan undang-undang moderen, sekolah-sekolah kaum agamawan harus disterilkan tempatnya untuk dijadikan tempat sekolah-sekolah pemerintahan yang non-agama." Kemudian dia menyerang agama dan orang-orang yang dinamakan kaum agamawan.
Dengan kekuatan diktator, Mushthafa Kamal menetapkan rumusan ini melalui Komite Nasional. Keputusan ditetapkan tanpa melalui diskusi. Kemudian dia mengirim instruksi kepada hakim Istambul agar memutuskan hukuman buang bagi Khalifah Abdul Majid. Khalifah harus meninggalkan Turki sebelum fajar sehari setelah dikeluarkan keputusan ini. Hakim, sejumlah polisi yang menyertainya, dan militer berangkat ke istana khalifah di tengah malam dan mereka memaksanya mengendarai mobil lalu menuntunnya keluar perbatasan Turki. Mereka sama sekali tidak memberikan toleransi dan belas-kasihan kepadanya sedikit pun secuali hanya diperbolehkan membawa sekoper yang berisi beberapa lembar pakaian dan sedikit uang.
Seperti demikianlah hantaman Mushthafa Kamal terhadap Negara Islam dan sistem Islam. Dia kemudian mendirikan negara kapitalis dan sistem kapitalis. Dengan demikian, dia telah menghabisi Negara Islam dan mewujudkan mimpi kaum kafir yang dia bersendagurau dengan mereka semenjak Perang Salib. Ingatlah, dialah yang menghancurkan Negara Islam!
Monday, May 21, 2007
MELENYAPKAN NEGARA ISLAM
Posted by Harist al Jawi at 10:49 AM
Labels: Artikel Politik
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment