MELAWAN PROPAGANDA
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaun tanpa pengetahuan sehingga kalian akan menyesali diri atas apa yang telah kalian lakukan (TQS al-Hujurat 6)”
Sejarah propaganda AS di Timur Tengah pada masa Perang Dingin seharusnya membuat kita sebagai kaum Muslimin semakin buka-mata-buka-telinga. Kita harus waspada. Kita tidak boleh termakan propaganda Barat. Memang mustahil menghindari serangan propaganda. Propaganda Barat begitu beragam dan banyak yang tidak kentara. Tapi menghindari pengaruh propaganda mereka tidaklah mustahil. Atau, jika mampu, kita justru harus melawannya. Upaya untuk menghindari pengaruh sekaligus melawan propaganda bisa dilakukan setidaknya oleh individu, kelompok, maupun negara. Individu bisa memulainya dengan cara 1) bersikap selektif dalam mencerna berita, 2) senantiasa berpikir dalam konteks politik, dan 3) melakukan counter propaganda. Individu atau kelompok juga dapat mengelola media-media yang bersifat sebagai pembanding.
Selektif dalam Mencerna Berita
Media propaganda yang kini paling laku adalah media massa. Media massa bercita-cita menjadi lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat akan informasi. Melalui berita, artikel, dan jenis tulisan lainnya, media massa berupaya tampil netral dengan menyajikan berita secara objektif dan berimbang.
Akan tetapi, menurut Husaini (2002) berita yang disajikan oleh suatu institusi media massa, cetak maupun elektronik, bukanlah fakta yang sebenarnya. Berita itu merupakan ‘fakta semu’ yang telah direkayasa oleh institusi penyiar berita tersebut. Masyarakat, sebagai konsumen berita, menerima fakta bukan sebagaimana adanya, tetapi apa yang mereka anggap sebagai fakta. Sehingga ada kesenjangan antara fakta sebenarnya dan ‘apa yang dianggap sebagai fakta’. Walter Lippmann (1998) menyebutnya sebagai ‘kenyataan fatamorgana’ atau ‘lingkungan palsu’. Lebih lanjut Husaini menggambarkan proses komunikasi sebagai berikut. (1) Fakta sebenarnya (misalnya peristiwa aksi unjuk rasa, Sidang Umum MPR, pidato presiden, penggusuran tanah, dan sebagainya) diolah oleh suatu institusi media massa melalui proses reporting, editing, dan publishing; (2) hasil olahan (rekayasa) institusi media massa (yang disebut sebagai ‘fakta semu’) itulah yang ditangkap oleh publik, jadi publik tidak menerima fakta sebenarnya; (3) publik yang menangkap ‘fakta semu’ dapat menjadi institusi baru yang berfungsi sebagai penyebar ‘fakta semu yang baru’ yang berbeda dari ‘fakta semu’ sebelumnya; (4) begitu seterusnya. ‘Fakta semu’ atau ‘kenyataan fatamorgana’ itulah yang dianggap fakta oleh publik. Tidak mungkin atau sangat sulit bagi publik untuk melihat langsung seluruh ‘fakta’ yang disajikan media massa, padahal ‘fakta semu’ adalah hasil rekayasa media massa yang telah mengalami proses reporting, editing, dan publishing. Pada setiap tingkatan proses tersebut, setiap berita (‘fakta semu’) telah diseleksi oleh personil pers.
Ungkapan senada datang dari Mulyana (1999). Mulyana melihat yang namanya berita yang objektif dalam pengertian murni atau mutlak itu tidak ada. Tidak akan pernah ada. Berita merupakan (re)konstruksi pikiran wartawan mengenai suatu peristiwa atau pernyataan yang telah lewat. Pemberitaannya, terutama kalau tidak direkam atau dicek ulang, adalah semata-mata berdasarkan perspektif kewartawanannya, yang bisa berbeda dari perspektif seorang politisi, ilmuwan, pengusaha, atau orang awam mengenai hal yang sama. Oleh karena itu bias dalam pemberitaan adalah hal yang tak dapat dihindari. Dalam konteks inilah, ideologi serta visi dan misi wartawan atau redaksi suatu media massa menjadi faktor yang amat menentukan.
Posisi vital dan krusial media massa membuatnya menjadi rebutan pihak-pihak yang ingin berkuasa. Sayangnya, kantor berita dan media massa internasional hingga saat ini justru dikuasai oleh Barat-Kapitalis-Yahudi-Kristen (Arrifa’i, 1995). Hal ini jelas memudahkan mereka untuk mempengaruhi dan menguasai masyarakat dunia melalui aneka ‘fakta semu’ yang mereka sodorkan. Di sisi lain, kebutuhan akan informasi merupakan hal yang mutlak agar kita melek dengan urusan-urusan kemasyarakatan, nasional maupun internasional.
Karena itulah, ketika mengonsumsi berita kita harus selalu ingat firman Allah swt,
[teks ayat]
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaun tanpa pengetahuan sehingga kalian akan menyesali diri atas apa yang telah kalian lakukan (QS al-Hujurat 6)”.
Ayat di atas memperingatkan orang-orang yang beriman agar berhati-hati ketika menerima berita dari orang yang fasik (lih Abdurrahman, 2002). Dalam situasi seperti itu, orang-orang beriman seyogianya memeriksa kabar itu dan tidak menelannya mentah-mentah. Orang yang fasik adalah orang Islam yang keluar dari ketaatan. Ia kerap melakukan dosa besar secara sengaja atau terus-terusan melakukan dosa kecil. Nah, kalau terhadap berita yang dibawa oleh seorang Muslim (tapi fasik) saja kita harus mengeceknya, apalagi terhadap berita yang dibawa oleh non-Muslim.
Berpikir dalam Konteks Politik
Berita-berita yang dicerna harus senantiasa dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang melibatinya. Di sini kita dituntut untuk mampu senantiasa berpikir dalam konteks politik. Dengan kata lain, kita dituntut untuk mampu mencari keterkaitan antara kepingan-kepingan informasi yang ada. Kita harus bisa melihat adanya keterjalinan antara satu peristiwa politik dan peristiwa politik yang lain. Antara satu pernyataan politik dan pernyataan politik yang lain. Atau antara satu peristiwa politik dan pernyataan politik. Atau, kombinasi dari semua itu. Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah memilah antara fakta dan opini.
Ini Fakta atau Opini?
Ada perbedaan yang mendasar antara fakta dan opini. Meskipun keduanya sering disajikan secara bersamaan atau malah sengaja ditumpangtindihkan dalam media massa. Fakta adalah hal, keadaan, atau peristiwa yang merupakan kenyataan atau sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi. Wiener & Bazerman (1991) menganggap fakta adalah sesuatu yang didasarkan pada bukti langsung (direct evidence); sesuatu yang diketahui melalui pengalaman atau pengamatan aktual. Bisa dalam wujud keterangan atau pengakuan seseorang tentang suatu pengalaman yang terbukti benar dialaminya, bisa berbentuk kesaksian langsung terhadap sesuatu yang terbukti disaksikannya, bisa juga berupa dokumen tertulis yang dapat dipercaya.
Opini adalah pernyataan tentang keyakinan, penilaian, atau perasaan. Ia menunjukkan pikiran seseorang tentang suatu masalah. Memang, opini yang kuat senantiasa didukung oleh sejumlah fakta yang sahih. Meski demikian, tetap saja ia sebagai pandangan seseorang atas sesuatu, bukan faktanya itu sendiri. Terkait dengan opini ini kita mengenal istilah opini publik. Yaitu pernyataan tentang keyakinan, penilaian, atau perasaan yang sedang dominan di masyarakat. Opini publik adalah apa yang sedang hangat, sedang menjadi isu di tengah-tengah masyarakat secara umum. Tokoh berpengaruh, partai politik, pemerintah, adalah pihak-pihak yang mampu menyuntikkan sebuah pemikiran, ide, gagasan, agar menjadi opini publik. ‘Pikiran dan perasaan masyarakat’ itu bisa kita cerna melalui media massa, acara-acara publik, demonstrasi (yang nama lainnya adalah unjuk rasa), ataupun obrolan sehari-hari. Alaminya, pemikiran atau gagasan yang baik akan menjadi opini yang kuat. Tetapi ini tidak otomatis. Adakalanya yang berkembang menjadi ‘opini publik’ adalah ide yang sama sekali buruk. Ia menjadi ‘opini publik’ karena adanya invisible hand, yaitu kekuatan media massa. Sehingga timbul adagium, ‘jika ingin menguasai massa, kuasailah media massa’. Di sinilah pentingnya kita memiliki kemampuan membaca pemberitaan media massa secara kritis dan cerdas, agar kita terhindar dari berita atau opini yang menyesatkan. Baik itu dalam bentuk berita atas fakta maupun tulisan esai dalam rubrik opini.
Adanya serangan terhadap gedung Pentagon pada 11 September 2001 adalah fakta. Tapi bahwa serangan itu diakibatkan oleh sebuah pesawat penerbangan komersil yang dibajak oleh orang-orang Muslim atas perintah Osama bin Laden, itu opini. Malah kalau kita cermati betul fakta-fakta seputar peristiwa itu yang disajikan Meyssan dalam Bohong Besar Amerika, bisa jadi bukan pesawat yang menghantam gedung Pentagon itu, melainkan sebuah rudal tipe AGM yang bermuatan penuh dan diberi hulu ledak BLU Uranium, serta dipandu oleh GPS (Global Positioning System). Dan, itu hanya bisa dilakukan oleh unsur dalam militer AS sendiri.
Runtuhnya gedung WTC pada 11 September 2001 adalah fakta. Tapi perkara peristiwa itu didalangi oleh Osama bin Laden, itu opini. Lagi-lagi, Meyssan menunjukkan detil-detil peristiwa yang membuat kejadian itu mustahil dikendalikan dari sebuah gua nun di Afghanistan sana.
Bom meledak di Bali pada 12 Oktober 2002. Bom meledak di Hotel JW Marriot Jakarta pada 5 Agustus 2003. Pada 14 Agustus 2003, sejumlah kota penting di Amerika Serikat dan Kanada gelap gulita karena mati listrik total. Itu semua adalah fakta. Tapi, mencuatnya tudingan bahwa peristiwa Bom Bali adalah kerjaan teroris, itu opini. Juga, bahwa pemerintah Australia dan Singapura langsung menunjuk Jamaah Islamiyah (JI) sebagai dalang Bom Marriot, adalah opini. Pernyataan pemerintah AS padamnya listrik di AS dan Kanada tidak ada hubungannya dengan terorisme, juga opini.
Setelah memilah dan memilih antara fakta dan opini, kita harus meracik sejumlah fakta dan/atau opini yang memiliki keterkaitan. Jalinan fakta dan opini itu kemudian kita susun menjadi sebuah pesan yang memiliki makna yang utuh. Barulah kita bisa menilai dan menyikapi peristiwa yang terjadi secara menyeluruh.
Sekadar contoh, perhatikan rangkaian fakta dan opini berikut. WTC dan Pentagon ‘diserang’. AS menyatakan Osama bin Laden sebagai dalangnya. Merasa dipermalukan di rumah sendiri, AS memaklumkan Perang Melawan Terorisme secara global. AS membagi penduduk bumi menjadi dua: pendukung AS dan pendukung teroris. Osama bersembunyi di Afghanistan dan dilindungi pemerintahan Taliban, maka AS menginvasi Afghanistan. Pemerintahan Taliban digantikan oleh pemerintahan baru bentukan AS. AS mendirikan pangkalan militer di Pakistan dan Kirgistan. Irak dituduh menimbun senjata pemusnah massal. Irak juga dituduh menyokong para teroris. Maka Irak juga dihantam. Pemerintahan Saddam Hussein yang pro-Inggris diganti oleh pemerintahan baru yang pro-AS. AS mendesak dan memaksa seluruh negara-negara di dunia untuk membuat (atau lebih tepatnya mengadopsi) undang-undang antiteroris seperti yang AS miliki. Sejumlah perjanjian regional berupa kesepakatan bersama untuk memerangi terorisme ditandatangani. Kerjasama militer dan intelijen dilakukan dengan berbagai negara ‘sahabat’, termasuk Indonesia.
Apa arti semua itu? Perang Melawan Terorisme tidak mungkin diartikan sebagai perang melawan individu atau kelompok yang melakukan kekerasan atau perbuatan lain yang mengancam ketertiban dan keselamatan masyarakat umum demi tujuan dan motif politis. Kalau itu definisinya, tentu AS harus melawan dirinya sendiri dan juga harus menyerang negara-negara ‘sahabatnya’. Kampanye Perang Melawan Terorisme itu ternyata merupakan cara AS untuk memasuki negara-negara yang diincarnya dalam rangka memperkuat hegemoninya di mayapada ini. Kenapa Afghanistan dan Asia Tengah yang dipilih menjadi pangkalan militer? Karena di sana kaya minyak bumi. Minyak bumi adalah sumber energi yang menjamin keberlangsungan perputaran industri dunia. Siapa memegang sumber minyak bumi ia akan memegang dunia. Makanya Afghanistan dan Irak ‘dipilih’. Selain itu, kawasan tersebut juga merupakan jantung dunia. Dengan adanya pangkalan militer di sana, AS bisa sewaktu-waktu memukul setiap potensi ancaman. Dan, kita tahu, Timur Tengah dan Asia Tengah saat itu, hingga nanti, adalah kawasan yang bergejolak oleh seruan-seruan kebangkitan Islam-ideologis.
Contoh lain dalam konteks keindonesiaan. Sejumlah bom meledak di Indonesia. Di Filipina, tiga WNI ditangkap karena terlibat pengeboman. Tiga WNI diciduk di Singapura karena diduga menjadi anggota kelompok Jamaah Islamiyah. Umar al-Faruq ditangkap di Indonesia. Konon ia adalah anggota jaringan al-Qaida. Umar mengaku berencana membunuh Megawati. Tokoh-tokoh Islam ditangkapi. Dengan begitu, timbul kesan tuduhan bahwa Indonesia menjadi sarang teroris terbukti sah.
Mengapa Indonesia dibidik? Pertama, karena Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Hal ini melahirkan ancaman laten berupa kebangkitan Islam-ideologis yang pasti akan mengancam eksistensi AS. Kedua, karena Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Perusahaan-perusahaan AS juga telah menanam investasi besar-besaran di sini. Dan, ini harus dilindungi. Untuk melindunginya, Indonesia harus dikuasai. Tidak perlu, atau belum perlu, diserang seperti Irak dan Afghanistan. Cukup dengan menempatkan penguasa dan para kakitangan yang siap ber-sami’na wa atho’na terhadap kepentingan AS. Tapi, sejarah menunjukkan, tidak mudah menguasai Indonesia pasca lengsernya Suharto. Kuatnya sentimen anti-AS di kalangan masyarakat Indonesia menjadi hambatan tersendiri bagi upaya AS menancapkan kukunya di sini. Oleh karena itu, dibuatlah skenario yang membuat Indonesia mau-tidak-mau menerima kehadiran AS.
Penilaian dan penyikapan seseorang terhadap suatu benda atau peristiwa sangat bergantung pada cara ia berpikir. Berpikir adalah aktivitas yang melibatkan setidaknya tiga unsur. Pertama, input data/fakta dari dunia realita ke otak kita melalui panca indera dan alat bantunya. Kedua, otak manusia sebagai ‘prosesor’ yang mengaitkan data-data yang disimpan di memori. Ketiga, data dan informasi yang telah terekam sebelumnya (informasi awal) dalam memori kesadaran kita yang akan kita hubungkan secara terus-menerus dengan data-data/fakta-fakta baru.
Unsur ketiga adalah unsur yang sangat penting. Bahkan inilah usnur yang membedakan seorang awam dengan pakar atau seorang yang berpikiran dangkal dengan yang berpikiran mendalam.
Seseorang yang dihadapkan pada peristiwa yang sama, misalnya terjadinya ledakan bom, akan menilai berbeda-beda berdasarkan pemahaman yang ada sebelumnya. Karena itu, sebenarnya hampir mustahil seseorang memberikan penilaian atas suatu peristiwa hanya dengan pendekatan induktif, yakni semata-mata mengandalkan “fakta-fakta di lapangan”, persis yang dilakukan Polri dalam menangani Bom Bali.
Setiap polisi, misalnya, pasti memiliki suatu pemahaman yang sesuai dengan pendidikannya, pengalamannya, juga apa yang dia dengar dan lihat selama ini. Karena itu, sangat wajar jika seorang polisi yang ‘dibesarkan’ dengan teori-teori ‘JI’, tentu pikirannya akan otomatis mencoba mencari fakta di lapangan yang memang ‘cocok’ untuk dijadikan bukti atau indikasi keterlibatan JI. Tidak aneh, dalam kasus Bom Bali, yang turut termasuk dijadikan barang bukti dalam penggeledahan para tersangka adalah buku-buku dan majalah Islam, yang sebenarnya juga dijual bebas di toko buku.
Karena itu, ada dua hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim. Pertama, ia berpikir mendalam, majemuk, dan integral. Ia harus mampu membedakan antara opini dan fakta, antara fakta satu dan fakta yang lain, serta antara fakta asli dan fakta yang direkayasa. Memang, ada teroris yang (kebetulan) memiliki ciri-ciri: berjenggot, mencita-citakan penerapan syariat Islam, dan anti-AS. Namun demikian, tentu tidak tepat untuk menarik kesimpulan umum bahwa semua orang yang berjenggot, merindukan penerapan syariat dan anti-AS adalah ‘teroris potensial’ atau ‘teroris laten’ sehingga pantas ditahan dengan prinsip ‘preemptive’ seperti Internal Security Act (ISA)-nya Malaysia. Ini bukan cara berpikir yang mendalam, melainkan dangkal. Sama dangkalnya dengan cara berpikir bahwa karena seekor monyet itu suka meloncat-loncat, memakan pisang, dan memanjat pohon, maka semua binatang yang suka meloncat-loncat, memakan pisang, dan memanjat pohon pastilah seekor monyet.
Kedua, ia harus mampu berpikir ideologis dan sistemik. Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Rabb-nya, dengan dirinya sendiri, maupun dengan manusia lain. Karena itu, ajaran Islam pastilah suatu ajaran yang sistemik, yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Karena Islam diletakkan di atas dasar akidah rasional yang khas, yang juga memberi jawaban atas pertanyaan asal-usul serta tujuan hidup manusia, Islam juga merupakan sebuah ideologi. Karena itu, seorang Muslim mestinya terbiasa berpikir ideologis dan sistemik, tidak cuma berpikir parsial. Setiap masalah yang parsial akan diletakkan dalam kerangka sistem. Sebagai contoh, ketika dia berpikir tentang pornografi, fokusnya tidak sekadar larangan Islam atas mempertontonkan aurat, namun juga mencakup aturan-aturan Islam tentang ekonomi, pranata sosial, politik dan bahkan hubungan internasional. Bukankah sebagian pengedar pornografi melakukan aktivitas itu karena desakan ekonomi? Bukankah pranata sosial yang materialistik telah menyebabkan rasa malu lenyap? Bukankah negara tidak menerapkan aturan-aturan yang mampu menjerat pelaku pornografi dengan efektif? Bukankah pula Barat menginginkan gaya hidup permisiv-hedonis mereka ditiru oleh kaum Muslimin?
Seseorang yang senantiasa berpikir ideologis dan mendalam akan memiliki kesadaran politik yang kuat. Kesadaran politik ini akan membimbingnya sehingga tidak terombang-ambing oleh berbagai skenario politik negara-negara kuat. Ia akan bisa membedakan opini Islam dari opini kufur yang berbaju Islam atau membedakan tradisi Islam dari tradisi yang kebetulan berkembang di negeri Muslim namun bukan berasal dari Islam. Dia juga mampu memisahkan antara membela Islam dan membela kepentingan seorang Muslim yang boleh jadi melanggar aturan Islam. Dia tidak akan diam saja menyaksikan kemaksiatan, namun ia juga tidak akan mudah dihasut untuk mengikuti irama musuh-musuh Islam. Dia tidak akan terpancing untuk melakukan perusakan atau pengeboman sarana-sarana publik, seperti yang dilakukan para teroris di Bali atau di Hotel Mariott, karena merusak sarana umum adalah haram, dan itu bukan cara yang dicontohkan Rasulullah saw untuk menegakkan syariat Islam.
Boleh jadi, sejumlah pelaku lapangan dalam aksi-aksi teror memang seorang Muslim yang ikhlas dan ingin berjihad menegakkan Islam. Namun demikian, keikhlasan saja tentu tidak cukup, karena diperlukan syarat lain, yakni sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Sebab, Rasulullah saw pernah bersabda,
[teks hadis]
“Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan oleh kami, maka perbuatannya tertolak (HR al-Bukhari dan Muslim).
Banyak ahli ibadah atau orang yang gemar beribadah yang memang ikhlas mengabdikan dirinya untuk Tuhannya. Namun demikian, jika ibadah itu dilakukan dengan tanpa ilmu, bisa jadi keikhlasannya itu membawa bencana bagi dirinya sendiri ataupun bagi kemanusiaan. Tentu saja, ahli ibadah yang kurang berilmu ini berpotensi menjadi ‘makanan empuk’ bagi pihak-pihak yang berniat jahat. Para peniat jahat ini bisa mewujudkan berbagai kepentingan busuknya, baik bagi dirinya sendiri, penguasa yang zalim, maupun pihak asing yang ingin menghancurkan Islam melalui tangan-tangan orang-orang ikhlas di antara kaum Muslim sendiri; yang tidak memiliki kesadaran politik akibat tidak berpikir mendalam, majemuk, non-linier, serta ideologis dan sistemik.
Counter propaganda
Ketika kita telah memiliki kemampuan untuk menyeleksi informasi dan melakukan analisis politik terhadap rangkaian peristiwa dan pernyataan politik, dan setelah kita mampu menilai bahwa di balik itu semua ada propaganda musuh, kita bisa melakukan counter propaganda.
Counter propaganda bisa diartikan sebagai propaganda yang dilakukan dengan tujuan untuk melawan propaganda yang ada. Mengingat propaganda umumnya dilakukan dengan cara memanipulasi fakta, maka counter propaganda berfungsi membeberkan fakta-fakta yang sebenarnya secara utuh apa-adanya. Sejatinya, counter propaganda dilakukan oleh pihak-pihak yang dirugikan oleh propaganda sebelumnya. Meskipun tidak selalu harus begitu. Ada kalanya counter propaganda (secara kebetulan) dilakukan oleh pihak yang tidak dirugikan, tapi sekadar ingin ada pemberitaan yang benar-benar fair, objektif, dan berimbang.
Ketika umat Islam sangat terpojok oleh pemberitaan media massa dalam kasus Bom Bali, Dedi Junaedi (wartawan Republika) menulis sebuah buku yang berisi analisisnya terhadap kumpulan data dan informasi seputar peristiwa Bom Bali. Dari hasil telaahnya itu, kita bisa melihat bahwa kemungkinan terbesar pelaku Bom Bali justru adalah pihak asing. Atau, ‘orang lapangannya’ memang orang-orang Muslim yang bergiroh sangat tinggi tapi berilmu lumayan rendah sehingga mudah diperalat pihak asing untuk melakukan ‘jihad’.
Saat Ustadz Abu Bakar Ba’asyir disudutkan oleh gencarnya pemberitaan yang mengaitkannya dengan terorisme, Idi Subandy Ibrahim dan Asep Syamsul M. Romli hadir dengan buku Kontroversi Ba’asyir: Jihad Melawan Opini “Fitnah” Global. Di dalam bukunya, kedua penulis yang merupakan ahli komunikasi itu menyoroti peran media sekular dalam melakukan pencitraburukan terhadap Ba’asyir. Sang Ustadz yang merupakan pejuang syari’at Islam sejati itu oleh media-media sekular justru digambarkan sebagai teroris. Inilah yang kemudian coba diluruskan oleh Ibrahim dan Romli. Mereka justru menilai bahwa upaya menciduk Ba’asyir itu merupakan bagian dari agenda besar musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan Islam.
Adian Husaini dikenal luas rajin melakukan bantahan terhadap tulisan-tulisan atau berita-berita di media massa yang dianggap merugikan Islam. Salah satu bukunya berjudul Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra khusus berisi bantahan dan koreksinya terhadap artikel-artikel atau berita-berita di media massa yang dianggap merugikan Islam. Tulisan-tulisan dalam buku itu sebenarnya sudah Husaini coba kirimkan kepada media yang dianggap memuat opini yang tidak berimbang itu, tapi tidak dimuat.
Tiga buku di atas merupakan contoh counter propaganda yang dilakukan oleh pihak yang dirugikan, atau dalam hal ini, oleh sebagian dari pihak yang dirugikan.
Buku berjudul L’Effroyable Imposture karya Thierry Meyssan, seorang jurnalis dan aktivis yang giat melakukan advokasi hak-hak sipil di kancah nasional maupun internasional, merupakan contoh konkrit untuk counter propaganda yang dilakukan bukan oleh pihak yang dirugikan secara langsung. Buku itu diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi 9/11 The Big Lie, yang lantas diterjemahkan lagi ke bahasa Indonesia oleh Setiadharma dengan judul Bohong Besar Amerika. Selesai membaca buku itu, pembaca akan berkesimpulan bahwa serangan 11 September 2001 itu besar kemungkinan didalangi oleh unsur dari dalam AS sendiri. Bukan oleh Osama bin Laden seperti yang dituduhkan pemerintahan Bush dan diamini media massa AS. Hanya saja, siapa yang menjadi dalang sesungguhnya itu masih merupakan misteri. Melihat latar belakangnya, Meyssan jelas tidak bernawaitu membela Islam. Tapi buku yang ditulisnya itu telah menjungkirbalikkan seluruh versi resmi seputar serangan 11 September 2001. Secara tidak langsung, upaya Meyssan dalam mengungkap, mengurai, dan menjalin fakta-fakta seputar peristiwa tersebut membantu menyeimbangkan opini yang sebelumnya sangat berat sebelah dan terkesan ditutuptutupi.
Media Pembanding
Kehadiran media massa yang pro-Islam juga dapat menghilangkan efek propaganda Barat. Media massa Islam memang belum menggurita layaknya media massa sekular, dan tirasnya pun barangkali kalah telak, tapi dengan adanya sedikit perimbangan informasi dan opini, hal itu sudah membantu menghindari penyebarluasan informasi-informasi yang bersifat sepihak. Media-media itu ada yang dikelola sebagai bagian dari wasilah dakwah sejumlah gerakan Islam, dan ada juga yang dikelola oleh swasta yang memang pro-Islam.
Sehubungan hal itu, kehadiran majalah SABILI, SAKSI, Al-Wa’ie, dan semacamnya, tentu saja membantu mengurangi rasa dahaga umat akan informasi publik yang terpercaya. Ditambah lagi dengan koran Republika, yang meskipun dari sisi opini masih banyak kekurangan, tapi dari segi penyajian berita sudah terlihat cenderung pro-Islam. Dan bagi yang sering wara-wiri di dunia maya, kehadiran situs-situs semacam islamonline.net, khilafah.com, atau eramuslim.com untuk di Indonesia, pastinya membuat hati kaum Muslimin bisa bernafas agak lega.
Goliath Versus Goliath
Empat cara di atas merupakan upaya yang bersifat individual dan kelompok. Hingga batas tertentu, memang cara-cara tersebut cukup ampuh untuk menjadi kekuatan pembanding. Tapi ingat, propaganda yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dilakukan secara gotong-royong melibati semua unsur. Dan itu ditulangpunggungi serta dikoordinir oleh negara adikuasa pengemban Kapitalisme, yakni AS. Artinya, yang terjadi sebenarnya sudah bukan lagi kesalahan informasi yang manusiawi, melainkan yang memang disengaja. Untuk dapat menandingi opini dan propaganda Barat, kalaupun tak bisa mengalahkannya, maka harus ada counter opini dan counter propaganda yang dilakukan oleh institusi negara agar terjadi pertarungan antara Goliath vs Goliath, tidak David vs Goliath seperti yang kini terjadi.
Negara memiliki sarana dan prasarana yang lebih dari cukup untuk memelihara rakyatnya agar terhindar dari informasi-informasi bermuatan propaganda yang menyesatkan rakyat. Pada saat yang sama, negara juga mampu memberikan Tapi, negara yang mampu melakukan hal itu adalah negara yang ideologis. Dalam arti, negara tersebut memiliki suatu ideologi yang menjadi landasan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai negara ideologis, ia juga akan berusaha menyebarkan ideologinya ke negara lain dengan menggunakan sarana-sarana yang ada, termasuk media massa. Sayangnya, saat ini umat Islam tidak memiliki negara yang seperti itu. Kaum Muslimin yang kini hidup terkotak-kotak di pelbagai negara-bangsa tidak mampu melindungi diri mereka dari serangan propaganda musuh-musuh Islam. Itu terjadi sejak runtuhnya Khilafah pada 1924.
Padahal, karakter Khilafah sebagai negara yang menaungi seluruh kaum muslimin sedunia, yang menerapkan hukum Islam dan mengemban Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad, niscaya akan menjadi lawan setimpal bagi Barat. Khilafah mampu terlibat dalam perang opini dan propaganda yang dilancarkan Barat. Berbeda dengan Barat yang banyak melakukan manipulasi berita, misinformasi dan disinformasi, negara Khilafah justru akan menampilkan Islam dan kekufuran apa adanya pada saat yang bersamaan. Dengan begitu kebenaran akan tampak. Karena itulah, ketiadaan Khilafah jelas merupakan pukulan telak bagi kaum muslimin.
PASCAWACANA
“Saat ini, tidak ada seorangpun yang berani memprediksikan bahwa Islam akan lenyap. Bahkan sebaliknya, Islam akan terus berkembang, bahkan meledak!” – Murad W. Hoffman, Trend Islam 2000.
Persis seperti yang dilakukan Quraisy terhadap Rasulullah saw dan para sahabat ra sekitar empat belas abad silam, ‘para Quraisy modern’ pun tidak akan pernah berhenti berusaha memalingkan kaum Muslimin dari Islam. Untuk itu mereka berusaha membuat jarak antara umat Islam dan ajaran Islam. Ini dilakukan dengan 1) meracuni pemikiran Islam, 2) menjelek-jelekkan hukum Islam, 3) meruntuhkan kekuatan politik Islam, 4) mencegah kembali berdirinya Khilafah, 5) memberikan cap jelek kepada para pengemban dakwah. Dengan begitu, mereka berharap dapat memadamkan cahaya Islam.
Akan tetapi, sekeras apapun upaya mereka, cahaya Islam tidak akan pernah padam.
[teks ayat]
“Orang-orang kafir itu berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah, tetapi Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya (agama)-nya meskipun orang-orang kafir itu membencinya” (QS al-Taubah 32).
Cahaya Islam tak akan pernah padam karena Allah swt akan senantiasa melindunginya. Selain itu, di kalangan umat Islam sendiri akan selalu ada orang-orang yang ikhlas berjuang di medan dakwah mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum Muslimin melalui tegaknya Khilafah Islamiyah. Mereka adalah orang-orang yang dibekali keimanan yang mantap. Keimanan yang kokoh terpatri di dalam jiwa mereka. Keimanan yang membuat mereka sanggup menghadapi segala macam tantangan dan halangan dalam dakwah.
Sebagaimana yang Rasulullah saw dan para sahabat lakukan, kaum Muslimin harus tetap melaksanakan dakwah, sehebat apapun rintangan yang menghadang. Mereka harus terus berjuang tanpa kenal lelah dan tidak boleh terpancing untuk melakukan kekerasan, karena Rasulullah saw pun tidak melakukan hal itu.
Di tengah propaganda Quraisy, Rasulullah saw tetap menyampaikan Islam ke tengah-tengah masyarakat. Kaum Muslimin harus tetap teguh menyampaikan Islam secara terbuka, terang-terangan, dan apa adanya. Pada saat yang sama, kaum Muslimin juga harus mengemukakan kesalahan-kesalahan pemikiran-pemikiran kufur yang beredar di tengah-tengah umat. Dengan begitu, akan terjadi perbenturan opini. Opini yang benar akan senantiasa mengungguli opini yang sesat.
Dalam hal menghadapi serangan propaganda Barat, setiap individu Muslim perlu senantiasa berpikir dan memperhatikan kejadian alam maupun peristiwa-peristiwa politik. Allah swt berfirman,
[teks ayat]
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kalian sunnah-sunnah Allah. Karena itu, berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan” (QS al-Imran 137).
[teks ayat]
“Tidaklah kalian memperhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman. Orang-orang itu bukan dari golongan kalian dan bukan dari mereka. Mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedangkan mereka mengetahui” (QS al-Mujadilah 14).
[teks ayat]
Allah swt juga memperingatkan kita untuk selalu waspada dan siap dalam menghadapi makar-makar orang-orang kafir.
[teks ayat]
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kalian sehingga kalian mengikuti kemauan mereka” (QS al-Baqarah 120).
[teks ayat]
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu” (QS al-Hujurat 6).
Menghadapi serbuan propaganda Barat, secara individual kaum Muslimin harus melek media. Mereka harus senantiasa mencermati perkembangan yang terjadi di kancah politik, nasional maupun internasional. Mereka juga harus mampu meningkatkan kualitas berpikir mereka agar memiliki kesadaran ideologis. Dengan begitu, mereka tidak terus-menerus hanya menjadi buih di tengah derasnya arus gelombang globalisasi. Pada saat yang sama, secara berjamaah mereka harus tetap berdakwah, berjuang menegakkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Saat ini memang masih ada sebagian dari kaum Muslimin yang ‘lelap tertidur’. Tapi, “Islam tidak akan membiarkan umatnya tertidur seperti tidurnya Ahlul Kahfi, sebab Islam adalah agama yang dinamis dan hidup. Allah senantiasa mengutus individu, kelompok, institusi, atau gerakan yang akan membangunkan umat dari tidurnya dan menghidupkan gerakan Islam. Selain itu, kebangkitan merupakan naluri umat Islam” (Qaradhawi, 1993: 5).
Monday, May 21, 2007
MELAWAN PROPAGANDA
Posted by Harist al Jawi at 10:48 AM
Labels: Artikel Sosial
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment