MEDIA PROPAGANDA
‘The mass media become the authority at any given moment for what is true and what is false, what is reality and what is fantasy, what is important and what is trivial.’ Ben H. Bagdikian, The Media Monopoly, 1983: xiv
Yang dimaksud dengan media propaganda adalah segala macam sarana yang mengantarai propagandis dan khalayak yang menjadi sasaran propaganda. Media memainkan peran yang sangat penting dalam proses penyebaran pesan propaganda. Bisa dikatakan bahwa efektif atau tidaknya suatu pesan, tersebar luas atau tidaknya pesan itu, sangat bergantung pada ketepatan dalam memilih media. Kesalahan dalam memilih media yang digunakan akan mengakibatkan pesan yang disampaikan tidak sampai kepada sasaran, bisa jadi tidak tepat guna, atau malah menjadi senjata makan tuan yang dalam dunia propaganda lazim disebut propaganda backfires.
Propagandis modern menggunakan tiga tipe utama saluran komunikasi, yakni saluran interpersonal, organisasional, dan massal (Nimmo, 1993: 133). Saluran komunikasi interpersonal merupakan bentukan dari hubungan satu-kepada-satu. Saluran ini bisa berbentuk tatap muka maupun berperantara. Saluran komunikasi massa menekankan bentuk komunikasi satu-kepada-banyak. Ada dua bentuk saluran komunikasi massa, masing-masing berdasarkan tingkat kelangsungan komunikasi satu-kepada-banyak. Pertama, komunikasi tatap muka, misalnya ketika seorang presiden berbicara dalam konferensi pers. Kedua, ada sesuatu yang memperantarai komunikator dan khalayak, misalnya berupa televisi, radio, surat kabar, dan semacamnya. Adapun saluran komunikasi organisasional merupakan gabungan satu-kepada-satu dan satu-kepada-banyak. Misalnya, seorang ketua partai politik berdiskusi tatap muka dengan stafnya. Atau, partai politik itu membuat penerbitan berkala internal, semacam buletin, untuk kalangan sendiri sebagai sarana komunikasi di antara mereka.
Pendapat Nimmo perihal komunikasi massa di atas tampaknya dipengaruhi oleh pandangan psikologi sosial atau sosiologi. Memang, ada perbedaan pandangan antara ahli komunikasi dan ahli psikologi sosial dalam hal batasan komunikasi massa (Effendy, 2002: 20). Para pakar komunikasi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa. Sementara para pakar psikologi sosial menyatakan bahwa komunikasi massa tidak selalu dengan menggunakan media massa. Yang terakhir ini memandang bahwa suatu komunikasi dapat disebut komunikasi massa manakala menunjukkan perilaku massa. Contohnya presiden yang berbicara dalam konferensi pers atau tokoh politik yang berorasi di depan massa.
Karena yang kita bicarakan di sini adalah masalah komunikasi, arif kiranya jika kita bermakmum kepada fatwa para ahli komunikasi. Dengan demikian, pengertian komunikasi massa kita batasi sebagai komunikasi dengan menggunakan media massa, misalnya televisi, radio, film, surat kabar, majalah, dan sebagainya.
Dalam Psychological Operations Field Manual No.33-1 yang diterbitkan pada Agustus 1979 oleh US Department of the Army; dan Psychological Operations (PSYOP) Media Subcourse PO-0816 oleh The Army Institute for Professional Development, terbit pada 1983, media propaganda dikategorisasi menurut metode penyebarannya: tatap muka (interpersonal), audiovisual, audio, dan visual.
Media tatap muka (interpersonal) adalah sarana yang paling efektif untuk mentransmit pesan persuasif. Ini dilakukan dalam unjuk rasa, kampanye, diskusi kelompok, perkuliahan, demonstrasi, organisasi sosial, aktivitas sosial, hiburan, dan kontak individual, yang semuanya memberikan pengalaman partisipatif bagi kelompok atau individual.
Media audiovisual seperti televisi, alat rekam elektronik, dan film adalah sarana paling efektif kedua. Keefektifannya didasarkan pada keterlihatan dan keterdengaran pesan persuasif. Media ini adalah cara yang baik dalam mentransmisi pesan persuasif dan sangat mudah diingat.
Media audio (pelantang suara dan radio) berguna untuk transmisi pesan yang singkat, sederhana dan untuk personalisasi dengan menggunakan suara manusia. Dengan media audio, khalayak tidak perlu atau hampir tidak perlu melakukan apapun selain mendengarkan, dan umumnya, media audio lebih mengena ketimbang media visual. Juga, halangan iliterasi (buta baca-tulis) dapat diatasi dengan media audio dibandingkan media visual (media cetak).
Media visual dapat mentransmit materi yang panjang dan kompleks. Gambar animasi atau kartun bisa digunakan untuk menyampaikan tema kepada sasaran khalayak yang iliterat dan praliterat. Media visual umumnya memiliki daya pengaruh paling sedikit.
Pada dasarnya, propaganda bisa dilakukan dengan memanfaatkan jenis media apapun selama bisa mencapai sasaran. Semua media bisa digunakan secara terpadu untuk meraih hasil maksimal. Misalnya, suatu pesan disebarluaskan secara sekaligus melalui radio, televisi, dan selebaran. Intinya adalah membombardir sasaran dengan pesan yang sama dari segala macam media. Berikut ini adalah beberapa contoh media yang biasanya digunakan dalam kegiatan propaganda.
1. Media massa
Media massa yang dimaksud dalam hal ini adalah media elektronik dan media cetak. Dengan jangkauannya yang luas, media massa memainkan peran yang sangat efektif dalam propaganda. Napoleon Bonaparte pernah mengurangi jumlah surat kabar dari 13 menjadi 4 saja dengan melarang pers mengeritik kebijakan pemerintah, mengekang kebebasan pers, dan melakukan sensor media. Di samping itu, ia juga memenjarakan wartawan serta membunuh lebih kurang 70 wartawan dengan hukuman penggal kepala di bawah guillotine. Ini dilakukannya karena dia sadar bahwa media massa sangat berpengaruh dalam propaganda dan bisa mengancam kekuasaannya (Nurudin, 2001).
Jerman di bawah Hitler pun melakukan hal serupa. Contohnya propaganda yang dilakukan oleh koran Der Stuemmer. Salah satu edisinya pada Mei 1934 menunjukkan darah orang-orang Jerman yang tidak bersalah mengalir ke dalam piring orang-orang Yahudi. Dengan kartun itu Nazi ingin menyampaikan pesan bahwa orang Yahudi menghabiskan sumber hidup orang Jerman.
Menurut Annabell Sreberny-Mohammadi, cara media menyeleksi dan menginterpretasikan peristiwa, apa yang menjadi fokus dan apa yang dihilangkan, akan membantu membangun opini publik. Media massa terutama sekali membantu terciptanya stereotip. Stereotip adalah penciptaan pandangan atau opini yang bias.
Hampir setiap media massa profesional mengklaim bahwa liputan yang mereka lakukan sudah objektif, benar, tidak bias, dan apa adanya. Namun, klaim ini terbantah oleh kenyataan di lapangan. Contoh paling mudah adalah pemberitaan media massa Barat ihwal orang-orang Arab atau Timur Tengah.
Media massa Barat, khususnya AS, seringkali menggambarkan orang-orang Arab secara negatif. Orang-orang Arab dipandang sebagai teroris dan pembunuh berdarah dingin. Koran-koran menggunakan kata-kata seperti ekstrimis, teroris, dan fanatis (dengan konotasi negatif) untuk menggambarkan orang Arab.
Mengidentifikasi orang Arab sebagai teroris berarti menjadikan orang Arab sebagai musuh. Dalam penelitian yang dilakukan oleh L. John Martin (1985), kata “terorisme” digunakan oleh pers untuk menggambarkan peristiwa atau orang-orang yang tidak mereka sukai. Namun demikian, ketika tindakan yang persis sama tapi dilakukan bukan oleh orang Arab, media dengan sangat hati-hati menggunakan kata-kata yang netral dan tidak bias.
Amerika Serikat sadar betul tentang pentingnya menguasai media massa. Pada masa Eisenhower, AS membentuk United States Information Agency untuk melakukan fungsi propaganda. Badan ini menjalankan program-program radio multibahasa seperti radio Voice of America (VOA), Radio Free Europe, televisi, film, dan media berita; serta program khusus seperti pertukaran mahasiswa dan sarjana, pidato keliling, konferensi-konferensi artistik dan ilmiah.
Pemerintah AS juga melakukan propaganda lewat media massa swasta yang mengklaim diri independen. Dalam kasus terorisme, misalnya, sebagian besar media massa AS menggunakan pejabat pemerintah sebagai sumber-sumbernya.
AS memang leluasa menentukan realitas yang harus ditampilkan media massa karena banyak surat kabar, kantor berita, dan media lainnya yang dimiliki, disubsidi, dan dipengaruhi Amerika Serikat, terutama melalui tangan CIA (Ade Armando dalam Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hal. 78-79).
Selepas peristiwa Black September, pemerintahan Bush membuat jaringan penyiaran baru dalam rangka mengarahkan pesan-pesan AS kepada dunia muslim. Dengan anggaran $US 30 milyar untuk tahun fiskal 2004 dan 2005, Departemen Luar Negeri AS dan pengelola program-program internasional bisa leluasa mempromosikan tujuan-tujuan kebijakan luar negeri AS dan mendukung sekutu-sekutu kunci. Selain itu juga dialokasikan $US 1,3 milyar untuk meningkatkan penyiaran internasional, termasuk membangun Middle East Radio and Television Network. Program ini tampaknya menjadi respon Washington atas Al-Jazeera, jaringan televisi berbahasa Arab yang berbasis di Qatar yang menarik perhatian dunia internasional dengan menyiarkan serangkaian pesan yang konon berasal dari Osama bin Laden, orang yang dituduh sebagai otak di balik serangan 11 September 2001.
Nantinya program itu akan mengudara selama 24 jam setiap harinya, terdiri atas gabungan program berita dan hiburan. Menurut Henry Hyde, Ketua Komite Hubungan Internasional Senat AS, “This new network will greatly contribute to an enhancement of our efforts to combat the misinformation and propaganda that contribute to the rising anti-American sentiment in the region” (= Jaringan baru ini akan memberi kontribusi banyak terhadap peningkatan upaya kita untuk memerangi misinformasi dan propaganda yang telah meningkatkan sentimen anti-Amerika di wilayah Timur Tengah).
Pertengahan Juli 2003, pemerintahan Bush menerbitkan Hi, sebuah majalah remaja yang khusus membidik pasar Timur Tengah, dengan sasaran pembaca remaja. Seperti umumnya majalah remaja, Hi terdiri atas sejumlah tulisan features, profil selebritis dan musik. Menurut Tucker Eskew, direktur Office of Global Communications, “We’re fighting a war of ideas as much as a war on terror (= Kita memerangi perang pemikiran seperti halnya memerangi perang teror).” Majalah Hi dijual dengan harga sekitar $2 di Libanon, Jordania, Tepi Barat dan Gaza, Israel, Algeria, Mesir, Siprus dan beberapa negara Teluk lainnya.
Edisi pertama Hi, yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri AS, berisi features tentang musisi jazz Norah Jones, sandboarding, kebangkitan minat akan puisi Arab di AS, dan yoga. Ada juga tulisan berjudul “Making Marriage Work”. Selain itu, ada feature tentang kehidupan akademik di universitas-universitas Amerika yang dilengkapi wawancara dengan mahasiswa-mahasiswa keturunan Arab yang “menikmati kebebasan berpikir” di AS.
Pemerintah AS menyatakan majalah tersebut dirancang untuk menunjukkan citra positif AS dan menonjolkan kesamaan antara kawula muda di AS dan di Timur Tengah. Artikel-artikel di dalamnya ditulis oleh orang-orang Arab-Amerika di Washington dan pengulas di Timur Tengah. Menurut jurubicara Departemen Luar Negeri, “There is an editorial board which reviews all the articles (= Ada dewan editor yang mengupas seluruh artikel).”
Dengan anggaran per tahun sebesar $4,2 juta, majalah tersebut hanyalah bagian dari serangan Barat melalui media terhadap Timur Tengah. Dalam pidato di Southern Centre for International Studies di Atlanta pertengahan Juli, Eskew menyebutkan adanya rencana alokasi dana sebesar $62 juta untuk membangun jaringan televisi berbahasa Arab.
Tidak setiap orang yakin bahwa majalah dan jaringan televisi itu akan menuai sukses. Rani al-Hajjar, mahasiswa Atlanta dan koordinator Palestinian Media Watch mengatakan, “I think if it’s coming from a cultural superiority complex, saying that we are infallible and saying that our policies are best, then I think it is liable to fail (= Saya pikir jika hal itu datang dari kultur yang menganggap dirinya super, yang mengatakan dirinya sempurna dan kebijakannya adalah yang terbaik, hal itu besar kemungkinan akan gagal)” (khilafah.com, 18 Juli 2003).
2. Buku
Buku menjadi sangat efektif karena dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Dan pemikiran akan mempengaruhi sikap dan perilaku. Buku propaganda yang terkenal antara lain Uncle Tom’s Cabin yang memprotes perbudakan di Amerika dan Mein Kampf karya Hitler. Mein Kampf adalah buku otobiografi Hitler dan perjanjian politik. Hitler pernah mengatakan, ‘Jerman Reich sebagai negara harus merangkul seluruh rakyat Jerman; tugasnya tidak hanya melindungi elemen-elemen ras pribumi yang paling berharga, tetapi untuk memimpin mereka maju, secara perlahan-lahan tapi pasti, ke posisi mendominasi. Revolusi yang hebat di dunia ini tidak disebabkan oleh kecerdasan dan ilmu pengetahuan, tetapi oleh beberapa bentuk fanatisme yang dapat menginspirasi massa untuk mengangkat senjata’ (dari Nurudin, 2001).
Di Indonesia bentuk propaganda yang dilakukan dengan buku adalah pelaksanaan dan sosialisasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang pernah menjadi primadona propaganda Orde Baru. Program ini di samping dipropaganda lewat media massa, mimbar-mimbar, juga dilakukan dalam bentuk buku. Bahkan saking semangatnya untuk membentuk perilaku Pancasilais, pemerintah memaksa setiap instansi atau bentuk kegiatan baru harus didahului dengan penataran P4 dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Meskipun menjemukan, toh dengan terpaksa masyarakat menerimanya. Setelah sekian lama bergulir dan iklim politik yang terus berubah, baru terasa bahwa program ini tidak efektif, memboroskan biaya, cencerung memaksakan, dan membodohi masyarakat.
Buku akan menjadi mesin propaganda yang efektif jika khalayak yang dibidik memiliki tingkat minat baca yang tinggi. Untuk masyarakat yang daya literasinya rendah, seperti Indonesia, buku menjadi kurang efektif, atau setidaknya keefektifannya terbatas.
3. Film
Selain sebagai sarana hiburan, film juga dapat dijadikan media propaganda. Film propaganda adalah suatu film, biasanya berjenis dokumenter, yang diproduksi untuk tujuan propaganda; yakni meyakinkan pemirsa tentang masalah politis tertentu. Propaganda melalui film tidak terbatas dalam wujud film nonfiksi. Banyak film drama perang di awal 1940-an di Amerika Serikat didisain untuk menciptakan konsensus. Salah satu pelopor film propaganda adalah The Birth of a Nation yang dibuat pada 1915.
Di Uni Soviet, setelah Revolusi Oktober 1917, pemerintah Soviet mesponsori industri film di negaranya untuk membuat film-film propaganda. Perkembangan perfilman Rusia pada 1920-an oleh pembuat film seperti Dziga Vertov dan Sergei Eisenstein menunjukkan perkembangan signifikan dalam penggunaan film sebagai alat propaganda, selain untuk pengembangan seni pembuatan film. Film-film karya Eisenstein tetap dipandang sebagai adikarya dalam perfilman, sekalipun pada saat yang sama film-film itu sangat menonjolkan pandangan-pandangan komunisme yang dianut Eisenstein.
Di Amerika Serikat selama Perang Dunia II, Frank Capra diminta membuat film untuk mendukung perang. Hasilnya, tujuh serial berjudul Why We Fight dianggap sebagai contoh sukses dari genre film propaganda. Di Itali, pada saat yang hampir bersamaan, sutradara film kawakan seperti Roberto Rossellini memproduksi film untuk tujuan yang sama.
Amerika adalah negara yang selama ini, sengaja atau tidak, melakukan propaganda lewat film-filmnya. Kepahlawanan tentara Amerika ditunjukkan dalam perang dengan seting Perang Vietnam. Untuk menyebut sekadar contoh misalnya film-film Coming Home (Hal Ashby, 1978), The Deer Hunter (Michael Comino, 1978), Rambo First Blood Part II (George F. Cosmatus, 1985), Platoon (Oliver Stone, 1986), Full Metal Jacket (Stanley Kubrick, 1987), dan Apocalypse Now (Francis Ford Coppolla, 1979). Tujuan dari film-film propaganda itu adalah membentuk citra bahwa Amerika adalah pihak yang benar dan menang dalam perang Vietnam.
Di Indonesia, propaganda lewat film nyata terlihat dalam pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI yang pada zaman Orde Baru diputar setiap tanggal 30 September di stasiun TVRI. Sekitar tahun 1980-an atau awal kemunculan film ini siswa-siswa sekolah wajib menontonnya. Pesan yang dikandung dalam propaganda film tersebut adalah bahwa bangsa Indonesia harus waspada terhadap bahaya laten PKI. Selain itu, dalam film itu Suharto digambarkan sebagai satu-satunya jagoan dalam menumpas pemberontakan itu.
Setelah Suharto mengundurkan (tepatnya dimundurkan) diri dari jabatan presiden, banyak pihak yang keberatan atas ide Suharto tersebut dan bahkan disinyalir ia pun terlibat gerakan itu. Ini secara tidak langsung dituduhkan oleh Kol. A. Latief dalam pledoinya yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada 2000 (Nurudin, 2001).
Hal demikian juga ditunjukkan pada film-film yang disponspori pemerintah seperti Janur Kuning, Enam Jam di Yogya, dan Serangan Fajar. Propaganda lewat film kadang membenarkan (dengan tujuan mempengaruhi persepsi publik) tindakan yang salah, ini yang justru menjadi persoalan. Dalam salah satu film tersebut dikemukakan bahwa ide Serangan Oemoem (SO) 1 Maret berasal dari Soeharto. Kini pendapat itu ditentang karena yang mempunyai ide SO adalah Sri Sultan HB IX dan bukan Soeharto (Nurudin, 2001).
Dalam ajang Jakarta Internasional Film Festival 2002, ada film berjudul A Concert (Jerman, Robbert Dornhelm, 2001) dan Shadow Play (Australia, Chris Hilton, 2002) yang juga bermuatan propaganda (Malaky, 2002).
Film A Concert berbicara tentang persiapan menjelang dan sesudah konser kemanusiaan yang digelar di Mauthausen, bekas kamp konsentrasi Yahudi sewaktu PD II, di Austria. Konser yang menampilkan Simponi Kesembilan karya Beethoven itu digelar pada 7 Mei 2000 untuk mengenang para korban kekejaman Nazi yang semuanya orang Yahudi. Program itu digelar Sir Simon Rattle, konduktor Englands Birmingham Pilharmonic, bersama Vienna Philharmonic. Film tersebut seolah-olah ingin membuka arsip sejarah dan menggugah sisi kemanusiaan kita untuk ikut merasa tersayat oleh kekejaman yang menimpa warga Yahudi. Ilustrasi musik dan ekspresi konduktor yang begitu menghayati lagu mengkondisikan suasana bioskop menjadi haru biru. Boleh jadi ini propaganda, tapi propaganda yang tidak terasa, karena diramu estetika dan semangat kemanusiaan yang tinggi. Yang jelas, saat menonton, ingatan kita tentang terorisme negara yang dilakukan Israel terhadap Palestina secara perlahan akan tereliminasi.
Film Shadow Play bercerita tentang pembantaian lebih dari setengah juta anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia sesaat setelah kegagalan G30S. Ada wawancara dari korban yang dikucilkan, keluarga korban orang-orang hilang, dan juga komentar dan data-data dari pakar dari Indonesia dan luar negeri. Tentu saja gambar berbicara banyak. Tengkorak-tengkorak yang digali lagi, arsip sejarah mengenai ditekannya simpatisan komunis oleh negara yang dibantu mahasiswa dan umat Islam, jelas sekali terlihat. Bahkan, setelah tengkorak korban ditemukan, para warga sekitar makam menolak penguburan orang PKI itu, boleh jadi takut dengan Orba atau bisa juga karena memang kebencian yang amat sangat kepada komunisme.
Secara kemanusiaan, kita akan simpati dengan korban, yang sebagian besar, dalam pengakuan mereka di film ini, tidak tahu apa-apa tentang G30S.
Pada Agustus 2002, stasiun tivi Indosiar menayangkan iklan film The Siege yang menurut rencana akan naik tayang pada 31 Agustus. Seseorang bernama Hery Mochtady lantas mengirim surat keberatan kepada pihak Indosiar. Surat keberatannya itu juga dikirimkan ke eramuslim.com (publikasi 27 Agustus 200215:21 WIB). Pada intinya, Hery Mochtady menyatakan keberatan atas rencana penayangan film itu, karena berdasarkan pengalamannya menonton The Siege, film tersebut melecehkan ajaran Islam dan berlaku diskriminatif terhadap warga Timur Tengah. Di dalam film tersebut kaum Muslimin Arab digambarkan sebagai teroris. Dan, sebelum melakukan aksi terornya, mereka melakukan sholat. Juga ada adegan semua warga kota yang Muslim dan Arab ditangkap dan ditahan di kamp penahanan. Di Amerika sendiri film tersebut menuai badai protes keras dari kalangan Islam dan Kristen. Kalangan Islam diwakili oleh Council on American-Islamic Relations (CAIR) dan American-Arab Anti-Discrimination Committee (ADC) (http://www.alhewar.com/Siege.html). Sementara kalangan Kristen diwakili oleh Rev. Dr. Bert Breiner sebagai Co-Director for Interfaith Relations National Council of Churches (http://www.ncccusa.org/news/news101.html). Protes dilakukan karena film tersebut dianggap berpotensi kuat merusak persahabatan warga Amerika dan menyebabkan pemahaman yang salah tentang Islam.
Ada beberapa insan film yang terkenal dengan karya-karya film propagandanya, di antaranya adalah Leni Riefenstahl dan Michael Moore.
Berta Helene Amalie Riefenstahl (lahir 22 Agustus 1902) adalah seorang pembuat film jempolan dari Jerman yang dikenal mampu membuat karya bernilai seni tinggi sekaligus seorang yang kontroversial karena keterlibatannya dalam partai Nazi.
Pada 1932 dia terkesima oleh pidato Hitler dan menawarkan jasanya sebagai pembuat film. Pada 1933 dia menyutradarai film pendek tentang pertemuan partai Nazi. Hitler pun meminta Riefenstahl memfilmkan Kongres Partai Nazi di Nuremberg pada 1934. Pada awalnya Riefenstahl menolak dan menyarankan agar Hitler meminta Walter Ruttmann untuk memfilmkannya. Akhirnya Riefenstahl menerimanya sehingga lahirlah Triumph of the Will (Triumph des Willens), sebuah film dokumenter yang mengagungkan Hitler dan oleh banyak orang dianggap sebagai salah satu film propaganda terbaik yang pernah dibuat. Film tersebut memperlihatkan bagaimana tentara-tentara Nazi berbaris mengikuti irama musik klasik, bernyanyi, bercengkrama, dan memasak; film itu juga menampilkan sejumlah pidato para penasihat Hitler, selain sebilangan pidato Hitler sendiri. Film tersebut mencoba menunjukkan loyalitas rakyat Jerman kepada Hitler tapi mengalami disorientasi ketika Hitler dipuja sebagai "epitome of altruism (lambang altruisme)" dan lantas memberitahu ribuan orang yang berkumpul bahwa Hitler sedang menjalankan misi dari Tuhan.
Michael Moore adalah seorang sutradara film dokumenter dan penulis yang terkenal dengan advokasi satire akan pandangan-pandangan sosial-demokratnya. Moore menjadi terkenal berkat filmnya berjudul Roger & Me, sebuah film dokumenter tentang apa yang terjadi di kampung halamannya, Flint, Michigan, dekat Detroit, setelah General Motors menutup pabrik mereka dan membuka yang baru di Meksiko, di mana pekerjanya dibayar jauh lebih rendah.
Moore juga menulis buku laris Downsize This! dan Stupid White Men, serta film Bowling for Columbine (2002), sebuah dokumenter tentang kekerasan bersenjata di AS, dan film fiksi satire Canadian Bacon (1995) yang memperlihatkan bagaimana seorang politisi AS merekayasa perang dengan Kanada untuk meningkatkan popularitasnya. Bowling for Columbine memenangi The 2003 Academy Award for Documentary Feature, mendapat penghargaan khusus dalam Cannes Film Festival dan memenangi France's Cesar Award sebagai "Best Foreign Film." Moore juga menyutradarai dua serial televisi, TV Nation dan The Awful Truth, keduanya penuh dengan komedi satire yang kejam.
Contoh lain film propaganda adalah Kolberg (1945) yang disutradarai oleh Veit Harlan dan Wolfgang Liebeneiner.
Tahun 2002 lalu kita sempat dibikin heboh oleh film iklan bertajuk Kesamaan Pandangan Kehidupan Muslim di Amerika. Film iklan miniseri hasil garapan Lembaga Muslim Amerika untuk Persahabatan yang dibuat dengan dukungan penuh dari Departemen Luar Negeri AS itu terdiri atas lima episode singkat berkisah kehidupan muslim di AS. Setelah diluncurkan pada 28 Oktober 2002 oleh Ralph L. Boyce, duta besar Amerika untuk Indonesia, iklan tersebut sempat wara-wiri di media massa kita sebelum muncul protes dari masyarakat. Dalam iklan tersebut digambarkan lima sosok pemeluk Islam yang menjalani hidup di Amerika.
Di sana ada Abdul Raouf Tawfik Hammuda, seorang kelahiran Tripoli, Libya, yang berimigrasi ke Amerika empat belas tahun silam. Saat iklan dibuat ia sedang menjabat Presiden Direktur Tiger Lebanese Bakery di Toledo, Ohio. Dalam iklan itu, dengan tersenyum Hammuda berkata, ‘Saya menyukai keramahan dan perhatian yang ditunjukkan masyarakat Amerika kepada komunitas kami…’ Di layar kaca diperlihatkan bagaimana Hammuda sekeluarga bisa dengan bebas melakukan shalat berjamaah di lapangan rumput di dalam area sebuah taman rekreasi.
Juga ada Rawia Ismail, muslimah asal Beirut, Libanon. Dia menjejakkan kakinya di Amerika dua belas tahun yang lalu. Dia tinggal di Toledo juga dan menjadi guru. ‘Saya mengenakan jilbab di kelas tempat saya mengajar. Tidak ada seorang anak pun di kelas saya yang berpikir bahwa hal ini merupakan sesuatu hal yang aneh. Bahkan mereka dan orangtua mereka senang karena diperkenalkan kepada kebudayaan yang berbeda,” ujar Rawia.
Selain mereka, ada juga Farooq Mohammad, paramedis yang bertugas di City Fire Department. Dia mengaku bahwa siapapun bisa memiliki keyakinan apa pun dan menjalankan keyakinan tersebut dengan bebas. ‘Saya merasa rekan-rekan kerja saya menghormati agama dan pekerjaan saya,” demikian Mohammad mengisahkan pengalamannya.
Kemudian ada Dr Elias Zerhouni yang di iklan diperkenalkan sebagai Kepala Departemen Radiologi dan Executive Vice Dean di Fakultas Kedokteran. Oleh George W. Bush, Zerhouni dinominasikan menjadi Director of the National Institutes of Health.
Terakhir, ada Devianti Febriani Faridz, sosok perempuan muda yang mengaku beragama Islam dan asli kelahiran Bandung, Indonesia. Saat itu ia tengah berupaya mendapatkan gelar Master dalam Ilmu Jurnalistik Penyiaran di University of Missouri, Columbia. Dalam iklan itu Devianti berkata, 'Saya adalah anggota organisasi mahasiswa muslim di kampus ini. Kami sangat aktif melakukan kegiatan sosial. Kami juga bekerjasama dengan kelompok mahasiswa kampus lain, seperti Christian Student Association, untuk mengadakan acara dan pertemuan sosial gabungan.’
Pariwara itu sangat mengada-ada. Bagaimana tidak? Sejak peristiwa Black September 2001, media massa kita gencar memberitakan sejumlah peristiwa serangan terhadap warga muslim di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Rupanya, pemerintah AS berupaya menutup-nutupi peristiwa penyerangan terhadap warga muslim di Barat itu dengan cara menampilkan wajah Amerika yang “sangat bersahabat” terhadap kaum muslimin, melalui pariwara tadi. Tak heran kalau orang awam pun serta-merta menuding iklan itu sebagai propaganda.
4. Poster dan Selebaran
Poster dan selebaran biasanya digunakan oleh kelompok tertentu yang ada dalam masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik pemerintahnya. Ini sangat dimungkinkan mengingat iklim politik belum memberi peluang keterbukaan kompetisi sehat. Bahkan berbagai kebijakan pemerintahnya pun cenderung dipaksakan, sementara masyarakat menganggap kebijakan itu kelewat batas dan tidak pada tempatnya. Ketika saluran media massa atau penggunaan bahasa lisan secara terbuka tak memungkinkan bagi upaya advokasi, maka poster dan selebaran menjadi pilihan yang realistis. Tentu saja, untuk melakukan propaganda dengan poster dan selebaran ini, kita harus memastikan bahwa khalayak yang dituju memiliki kemampuan baca-tulis yang memadai. Dalam hal ini ada sebuah kisah yang menarik dari invasi Amerika Serikat ke Afghanistan pada 2001 silam.
Saat menginvasi Afghanistan itu, Amerika Serikat tidak hanya melakukan serangan darat dan udara, namun juga ‘menyerang’ dengan propaganda dalam rangka merebut hati rakyat Afghanistan. Berbagai cara mereka lakukan. Salah satu usaha mereka adalah menyebarkan selebaran. AS terpaksa melakukan ini karena rakyat Afghanistan tidak punya akses media sehubungan kebijakan Taliban (?). Selebaran itu sebagian berbahasa Parsi, sebagian lagi berbahasa Pastun, artinya kira-kira: “Koalisi bangsa-bangsa datang untuk menolong Anda!” Selebaran lain bertuliskan: “Koalisi bangsa-bangsa datang untuk menolong rakyat Afghanistan!” Padahal, sebagian besar rakyat di pedesaan Afghanistan itu buta huruf alias tidak bisa membaca. Akibatnya, ketika melihat di selebaran itu ada gambar seorang Afghan bersalaman dengan seorang tentara Amerika, mereka malah muak dan segera menyobeknya (Al-Izzah, No. 22/Th. 2, 31 Oktober 2001).
Sebelum Perang Teluk 1991, puluhan ribu poster bergambar Saddam Hussein disebarkan dari pesawat udara. Poster tersebut dibuat untuk mengarahkan perasaan bersalah yang dialami oleh tentara Irak, dan untuk mendorong mereka agar menyalahkan Saddam Hussein atas segala peristiwa yang terjadi serta menganggap Saddam Hussein sebagai kriminal. Selanjutnya, para tentara itu diharapkan tidak akan bertempur dengan penuh antusiasme dan determinasi.
Poster lain berisi gambar karikatur Saddam Hussein dan bendera Kuwait. Intinya sama dengan poster sebelumnya, yakni menyalahkan segala sesuatunya kepada Saddam Hussein. Dalam gambar itu terlihat bendera Kuwait ternodai oleh percikan darah. Di sampingnya terdapat gambar Saddam Hussein yang mengatakan, dalam bahasa Arab, bahwa dia tidak tahu bagaimana itu terjadi. Poster gambar itu ingin menunjukkan bahwa Saddam adalah seorang pemimpin yang tidak waras; bahwa Saddam bukan orang yang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya; bahwa Saddam tidak menyadari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya; dan bahwa Saddam tidak peduli akan akibat-akibat itu.
Contoh lain lagi adalah selebaran yang mengimitasi uang Irak. Sengaja dirancang demikian untuk memancing orang mengambil dan menyembunyikannya. Di bagian belakangnya, pada bagian yang biasanya terdapat nilai nominal uang, terdapat tulisan Safe Conduct Pass dalam bahasa Inggris dan Arab, dengan deskripsi singkat dalam bahasa Arab, tentang baiknya perlakuan yang akan diterima para tentara Irak jika mereka menyerah atau desersi. Uang palsu ini kemudian dijatuhkan di area pengeboman. Banyak tentara Irak yang membawa uang palsu ini ketika mereka benar-benar menyerah, sehingga bisa dibilang cara tersebut memang cukup efektif.
Pada Perang Teluk 1991 itu, apakah Saddam Hussein juga menggunakan teknik-teknik dan media propaganda? Tentu saja. Salah satu insiden yang paling banyak dipublikasi selama perang tersebut ialah ketika AS mengebom apa yang oleh Saddam sebut sebagai pabrik susu bayi. Apakah AS memang mengebom sebuah pabrik susu? Agen intelijen AS melaporkan bahwa itu adalah sebuah pabrik pembuat senjata kimia. Pemerintah Irak bersikeras itu sebuah pabrik susu. Untuk membuktikannya, pemerintah Irak mengajak kru CNN ke lokasi pengeboman. Kru CNN tidak diizinkan memasuki bangunan karena rusak berat. Akan tetapi, pada bagian luar bangunan yang dibom itu, pada tembok bagian luar, tergantung papan yang besar dan tidak rusak bertuliskan MILK FACTORY. Anehnya, tulisan itu tidak dalam bahasa Arab melainkan bahasa Inggris!
Propaganda itu tampaknya khusus dirancang oleh Saddam untuk mendorong orang-orang yang berbahasa Inggris agar memprotes perang, atau setidaknya, merasa bersalah, atau menyalahkan AS atas agresi yang dilakukannya.
Orang-orang yang sehari-harinya berbahasa Inggris tentu terbiasa membaca dalam bahasa Inggris. Sebagian orang Amerika yang menonton siaran CNN itu bisa jadi mengabaikan fakta bahwa tulisan itu terdapat pada sebuah bangunan di Irak, dan bereaksi dengan perasaan mereka bukannya dengan otak mereka. Tentu saja tulisan Milk Factory itu telah diatur sedemikian rupa agar mudah tersorot kamera dan dilihat oleh pemirsa. Tapi, karena ditulis dalam bahasa Inggris dan bukan dalam bahasa Arab, menunjukkan bahwa itu sebuah efek buatan. Perancangnya sendiri patut dipuji karena ia mengasosiasikannya dengan bayi, sosok yang tak berdosa. Hasilnya, bagi kebanyakan orang Amerika, ia menjadi alat propaganda yang efektif terlepas dari polemik apakah itu memang pabrik susu atau bukan.
Monday, May 21, 2007
MEDIA PROPAGANDA
Posted by Harist al Jawi at 10:45 AM
Labels: Artikel Sosial
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment