Tuesday, May 8, 2007

Kaidah Umum Perekonomian

Dengan membaca hukum-hukum syara' yang menyangkut masalah ekonomi tersebut, nampaklah bahwa Islam telah memecahkan masalah bagaimana agar manusia bisa memanfaatkan kekayaan yang ada. Dan inilah yang sesunggunya, menurut pandangan Islam, dianggap sebagai masalah ekonomi bagi suatu masayarakat (society). Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh kekayaan, masalah memanage kekayaan yang dilakukan oleh manusia, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah mereka. Atas dasar inilah, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi tersebut dibangun di atas tiga kaidah, yaitu kepemilikan (propherty), menagemen kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia.
Kepemilikan (propherty), dari segi kepemilikan itu sendiri, sebenarnya merupakan milik Allah, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut, di satu sisi. Serta Allah sebagai Dzat Yang telah dinyatakan sebagai Pemilik kekayaan, di sisi lain. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:


[1]"Dan berikanlah kepada mereka, harta dari Allah yang telah Dia berikan kepada kalian."[1] (Q.S. An Nur: 33)

Oleh karena itu, kekayaan adalah milik Allah semata. Hanya masalahnya, Allah SWT telah menyerahkan kekayaan tersebut kepada manusia agar diatur dan dibagikan kepada mereka. Karena itu sebenarnya mereka telah diberi hak untuk memiliki harta tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT:

[1]"Dan nafkahkanlah apa saja yang kalian telah dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya."[1] (Q.S. Al Hadid: 7)

[1]"Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu."[1] (Q.S. Nuh: 12)

Dari sinilah kita temukan, bahwa ketika Allah SWT menjelaskan tentang status asal kepemilikan kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan kepada diri-Nya, dimana Allah menyatakan: [1]"Maalillah."[1] (harta kekayaan Allah). Sementara ketika Allah SWT menjelaskan tentang perubahan kepemilikan kepada manusia, maka Allah menyandarkan kepemilikan tersebut kepada mereka. Dimana, Allah SWT menyatakan:

[1]"Maka, berikanlah kepada mereka harta-hartanya."[1] (Q.S. An Nisa': 6)

[1]"Ambillah, dari harta-harta mereka."[1] (Q.S. At Taubah: 103)

[1]"Maka, bagi kalian pokok harta kalian."[1] (Q.S. Al Baqarah: 279)

[1]"Dan harta-harta yang kalian usahakan."[1] (Q.S. At Taubah: 24)


[1]"Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, bila ia telah binasa."[1] (Q.S. Al Lail: 11)

Hanya saja, bahwa hak milik yang telah diserahkan kepada manusia (istikhlaf) tersebut bersifat umum bagi setiap manusia, secara menyeluruh. Sehingga mereka memiliki hak milik tersebut, bukan sebagai kepemilikan yang bersifat fi'liyah (riil). Sebab, esensinya mereka hanya diberi istikhlafh (wewenang untuk menguasai) hak milik tersebut. Sementara kalau ada kepemilikan orang tertentu yang bersifat fi'liyah (riil), maka Islam telah memberikan syarat, yaitu harus ada izin dari Allah SWT kepada orang tersebut untuk memilikinya. Oleh karena itu, harta kekayaan tersebut hanya bisa dimiliki oleh seseorang, apabila orang yang bersangkutan mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Sehingga izin tersebut bermakna khusus, yaitu bahwa orang yang bersangkutan telah memiliki kepemilikan atas harta tersebut. Sedangkan wewenang setiap orang untuk menguasai kepemilikan tersebut adalah bersifat umum, dimana adanya hak milik serta wewenang orang tertentu untuk menguasai kepemilikan yang bersifat riil tersebut telah dinyatakan dengan adanya izin khusus, yang berasal dari Allah SWT, sehingga orang tersebut bisa memilikinya.
Maka syara' menjelaskan, bahwa di sana terdapat kepemilikan individu (private propherty). Sehingga tiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara) kepemilikan tertentu. Imam Abu Dawud dari Samurah dari Nabi SAW bersabda:


[1]"Dan siapa saja yang memagari sebidang tanah, maka tanah tersebut adalah menjadi haknya."[1]

Disamping itu, di sana juga terdapat kepemilikan umum (colective propherty) untuk seluruh umat. Imam Ahmad Bin Hanbal meriwayatkan dari salah seorang Muhajirin yang mengatakan: Nabi SAW bersabda:

[1]"Manusia sama-sama membutuhkan dalam tiga hal: air, padang gembalaan dan api."[1]

Di sana juga terdapat kepemilikan negara (state propherty). Apabila ada orang Islam meninggal dunia, sementara orang yang bersangkutan tidak mempunyai ahli waris, maka harta kekayaannya adalah hak milik baitul mal (kas negara), sebagaimana kharaj, jizyah dan harta-harta lain yang diperoleh --dengan cara yang haq-- lainnya adalah milik baitul mal.
Apa yang menjadi hak milik baitul mal, adalah milik negara, kecuali zakat. Sehingga negara berhak mendistribusikan harta yang dimilikinya, sesuai dengan kehendaknya, dengan tetap berpijak kepada hukum-hukum syara'. Syara' juga telah menjelaskan sebab-sebab kepemilikan yang bisa dimiliki oleh seseorang, serta kondisi-kondisi tertentu yang menentukan kepemilikan umat, termasuk sebab-sebab yang dimiliki oleh negara. Syara' juga melarangan mengikuti selain ketentuan-ketentuan tersebut.
Sedangkan tentang managemen kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (colective propherty) itu adalah hak negara, karena negara adalah wakil umat. Hanya masalahnya, As Syari' telah melarang negara untuk memanage kepemilikan umum (colective propherty) tersebut dengan cara barter (mubadalah) atau dikapling untuk orang tertentu. Sementara memanage dengan selain kedua cara tersebut, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum, yang telah dijelaskan oleh syara' adalah tetap diperbolehkan. Adapun memanage kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara (state prpherty) dan kepemilikan individu (private propherty) nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum mu'amalah, seperti jual-beli, penggadaian dan sebagainya. As Syari' juga telah memperbolehkan negara dan individu untuk memanage masing-masing kepemilikannya, dengan cara barter (mubadalah) atau dikapling untuk orang tertentu (sallah) ataupun dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.
Adapun tentang cara mendistribusikan kekayaan tersebut kepada manusia, maka hal itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi-transaksi yang wajar. Hanya saja, perbedaan manusia dalam masalah kemampuan dan kebutuhan akan suatu pemenuhan itu bisa menyebabkan perbedaan pendistribusian kekayaan tersebut di antara mereka. Sehingga kesalahan yang terjadi dalam pendistribusian tersebut benar-benar ada. Kemudian kesalahan tersebut akan membawa konsekuensi terdistribukannya kekayaan kepada segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar yang fixed, yaitu emas dan perak. Oleh karena itu, syara' melarang perputaran kekayaan hanya di antara orang-orang kaya semata. Kemudian, syara' mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang. Disamping syara' juga telah mengharamkan penimbunan emas dan perak, meskipun zakatnya tetap dikeluarkan.

No comments: