PENGARUH YUNANI
Sumbangan penting Yunani bagi kemajuan dunia adalah bahwa mereka menemukan rahasia luar biasa yang hampir saja spekulasi akal sendiri tunduk pada metode yang teratur. A.N. Whitehead
Orang-orang menandai titik balik sejarah kosmologi. Untuk pertama kalinya banyak orang mulai menaruh perhatian pada benda-benda langit untuk alasan selain astrologi. Hal ini memungkinkan orang-orang Yunani mengembangkan ide-ide filsafat mereka, dan menghasilkan iklim yang kondusif bagi terciptanya kepuasan kepenasaranan intelektual mereka akan kehidupan dan alam semesta.
Penekanan yang lebih besar terhadap pencarian ‘kebenaran absolut’ dalam aktivitas sejumlah aliran filsafat Yunani menjadi saksi untuk pertama kalinya adanya upaya sistematis untuk mencari dan memahami kebenaran demi kebenaran itu sendiri, terlepas dari dorongan militer atau praktis, atau dari nafsu serakah untuk mengumpulkan sebanyak mungkin persenjataan lengkap berupa fakta-fakta. Inikah benih dari pohon ilmu pengetahuan yang kini tumbuh subur?
Penyebab kegagalan orang-orang Yunani mengembangkan ide ‘Hukum Alam’ yang bermanfaat dan memulai penemuan mereka yang sistematis sangatlah beragam, dan hubungan di antara sebab-sebab kegagalan itu begitu rumit. Meskipun demikian, kita dapat mengisolasi sejumlah kecenderungan dominan di dalam pemikiran dan praktik Yunani yang secara kolektif tampaknya telah menimbulkan hambatan bagi pemikiran mereka tentang alam semesta.
Kita mulai dengan beberapa tren umum yang ada pada periode sekitar 600 B.C.E[1] hingga kematian Aristoteles pada 322 B.C.E, pada periode itulah semua perkembangan filsafat yang signifikan terjadi. Kemudian, kita akan mengambil beberapa bias aliran pemikiran yang khusus dan berpengaruh. Adapun hal paling menarik yang ditemukan adalah bahwa apa yang kini kita sebut ‘sains’ pada saat itu adalah sub dari filsafat. Bahkan, tidak perbedaan antara apa yang kini kita sebut ‘sains’ dan ‘filsafat’: yang ada adalah pertanyaan/penyelidikan tentang hakikat segala sesuatu, filsafat alam.
Sebelum adanya pengaruh Aristoteles, tidak ada pembagian penyelidikan itu ke dalam beberapa subjek yang berbeda. Perbedaan utama yang ada saat itu ialah antara susunan/aturan benda-benda alam, yang menunjukkan perubahan dan kompleksitas, dan kebenaran-benaran statis dan absolut semacam kebenaran matematis, yang dijadikan contoh geometri. Kelompok-kelompok pemikir disatukan oleh keterkaitan mereka dengan aliran pemikiran tertentu, pemikiran-pemikiran mereka tentang fenomena alam yang dipelajari oleh arus masing-masing aliran. Persis seperti jurusan fisika di universitas era sekarang yang dipimpin oleh tokoh filsafat terkemuka dengan gaya persuasi yang beragam.
Di University of Brummage para idealis memainkan pengaruhnya, dan menarik banyak kolega dan pengunjung yang beraliran ini, sementara itu di University of Slippery Rock segala sesuatunya dilakukan secara saksama sesuai dengan petunjuk operasional. Sains pun menjadi filsafat alam dalam pengertian yang paling buruk (hal ini tidak berarti menyangkal bahwa ada pengaruh keagamaan dalam aktivitas sains modern, dan ‘pusat-pusat’ yang menjadi tempat suatu aliran meneliti konsekuensi dari suatu teori tertentu, atau bekerja dengan cara tertentu yang ditentukan pemimpin mereka; hanya saja aliran-aliran sains modern ini tidak dibentuk oleh pandangan filsafat mengenai keseluruhan spektrum penyelidikan manusia).
Payung filsafat bagi penyelidikan alam semesta ini--sebagaimana disebutkan sebelumnya--penting sekali jika masalah-masalah dan fenomena-fenomenanya akan didiskusikan secara rasional, tapi tujuan para filsuf permulaan itu terlampau ambisius. Sekolah-sekolah filsafat Yunani tertarik dengan upaya mengetahui kebenaran yang menyeluruh dan pokok tentang dunia. Mereka senantiasa terfokus pada yang global dibandingkan yang khusus. Ambisi ini memiliki satu efek jelek: setelah dimulai dengan teori-teori tentang hakikat segala sesuatu, adalah sulit untuk melanjutkan ke teori-teori terperinci tentang hal-hal yang khusus.
Sebuah teori yang bisa memberitahu kepada kita tentang sesuatu--dengan sifatnya yang sangat umum--akan menjadi terlalu samar dan cair untuk bisa memberikan pengetahuan memadai tentang apa pun secara khusus. Sains hanya dimulai untuk membuat perkembangan dramatis selama era Renaissance ketika tujuan sains masih dibatasi, dan mulai melirik hal-hal yang khusus sebagai prasyarat bagi setiap pemahaman yang bersifat umum. Meskipun para saintis era sekarang mungkin akan tidak setuju mengenai penjelasan untuk segala hal yang berbeda yang kita lihat di alam semesta, tapi mereka akan setuju terhadap wilayah kajiannya.
Namun, bagi orang-orang Yunani, istilah ‘alam (nature)’ memiliki banyak makna yang berbeda-beda, dan para filsuf mereka lebih memilih untuk memperdebatkan makna dari ide tersebut ketimbang mengamati apa yang terjadi di alam.
Ada hal lain yang menjadi kekurangan dalam upaya mencari hakikat sesuatu yang mendominasi karya para filsuf materialis permulaan. Meskipun mereka adalah golongan filsuf Yunani yang percaya bahwa segala sesuatu dapat dipahami dari bukti-bukti yang terindra, bukannya bergantung pada suatu bentuk realitas dan kebenaran yang lebih tinggi yang tidak bisa diindra, tapi mereka menerapkan logika ini ke dalam perkara-perkara yang jauh melampaui batas kemampuan jangkauan pengamatan mereka. Pertanyaan-pertanyaan seperti asal usul segala sesuatu, asal mula kehidupan, dan lain-lain. Reduksionisme materialistis membuat mereka berpendapat bahwa, jika segala sesuatu terdiri atas udara atau air, maka sifat segala sesuatu dari mulai akal hingga palu godam dapat dijelaskan secara keseluruhan dengan mengetahui sifat-sifat udara atau air. Selanjutnya, baik pandangan Platonian maupun Aristotelian merupakan reaksi keras terhadap gagasan ini; mereka memandang bahwa realitas pokok adalah sesuatu yang benar-benar tidak nyata dan hanya bisa dijangkau oleh pemikiran yang murni.
Keunggulan sikap filsafat membuat segi positif yang dangkal menjadi khayalan belaka. Perhatian tersebut--khususnya yang dari Aristoteles--terhadap logika formal sebagai paradigma yang akan disamai oleh seluruh pemikiran tentang alam menciptakan kemandulan. Logika formal digemari dalam argumentasi matematis, pada saat seseorang tertarik dalam menemukan keterkaitan yang tidak biasa di antara tipe-tipe angka, atau hubungan di antara panjang sisi-sisi segitiga.
Hal itu memungkinkan terciptanya suatu jaringan interkoneksi mendalam antara segala sesuatu yang telah diketahui oleh seseorang. Ia mengacak dan mengaitkan segala sesuatu yang telah diketahui. Namun, logika semata tidak dapat mengungkapkan eksistensi entitas jenis baru. Dan tentu saja, ia jarang digunakan untuk eksperimen atau observasi.
Penghormatan terhadap geometri membantu perkembangan suatu kepercayaan bahwa sifat terpenting dari dunia adalah statis, dan mencegah seseorang untuk memfokuskan diri terhadap aspek-aspek dinamis struktur dunia. Hal itu memperkuat sikap Yunani bahwa sesuatu yang penting adalah sesuatu yang apa adanya, bukan perilakunya atau kaitannya dengan yang lain.
Seorang saintis yang hanya menggunakan pemikiran logika dari prinsip-prinsip ‘kejelasan diri (self-evident)’ akan mendapati dirinya terjebak dalam kebuntuan. Agar pengetahuan kita tentang aktivitas alam semesta berkembang maka kita harus berlaku oportunistis.
Dalam bab berikutnya akan kita lihat bahwa sains berutang banyak sekali dan secara misterius pada matematika, tapi hingga batas tertentu orang-orang Yunani terganggu oleh penghormatan mereka terhadap logika yang tak dapat ditawar-tawar.
Matematika Yunani Greek adalah matematika murni. Ia memperkenalkan penggunaan ‘aksioma’ untuk merepresentasikan kebenaran yang dianggap ‘kejelasan diri (self-evident)’ dan tidak layak ditunjukkan. Mereka menyadari bahwa analisis harus memiliki awal. Kemajuan pemikiran matematika terapan disertai dengan bias sosiologis yang tampaknya menjadi penghalang utama bagi perkembangan sains dalam kebudayaan mereka.
Orang-orang Yunani memandang rendah pekerjaan-pekerjaan fisik. Mereka adalah peradaban yang gemar perang dan perbudakan adalah unsur kunci dalam perekonomian mereka. Di beberapa komunitas kita tahu bahwa ada lebih dari satu budak untuk setiap dua manusia merdeka. Ketidaksetaraan di dalam masyarakatnya itu menciptakan pembagian besar antara intelektual dan dunia praktis. Hasilnya adalah suatu masyarakat yang sama sekali tidak mengalami perkembangan teknologi. Sebagian orang berpendapat bahwa keberadaan perbudakan di dalam suatu masyarakat menghilangkan dorongan untuk mencari alat-alat yang bisa menghemat pekerjaan fisik, dan hal ini cukup menjelaskan ketiadaan perkembangan teknologi yang sistematis ke arah sana di kalangan orang Yunani.
Meskipun ini merupakan argumentasi yang bisa jadi benar untuk sebagian masyarakat, tapi ini tidak terlalu meyakinkan. Bukankah orang-orang Mesir dan imperium besar lainnya di dunia kuno mempekerjakan budak-budak, tapi menggunakannya untuk proyek-proyek teknologi mereka? Tampaknya keberadaan angkatan kerja budak akan mendorong proyek teknologi besar-besar seperti pembangunan piramid-piramid di Mesir. Bagi orang-orang Yunani, efek perbudakan bersifat tidak langsung dan psikologis. Pekerjaan fisik adalah pekerjaan budak. Itu biasa. Membuat alat-alat dan bereksperimen, jauh di bawah martabat para aristokrat; itu adalah aktivitas yang dilakukan oleh mereka yang tidak dapat berpikir. Anggapan-anggapan sempit semacam ini akhirnya menghasilkan sesuatu yang tidak menguntungkan mereka.
Usaha mencari kebenaran untuk alasan selain mengetahuinya adalah hal yang mengagumkan, tapi hal itu menggiring kepada pandangan bahwa pencarian kebenaran untuk alasan lain sebagai inferior, maka itu menjadi khayalan belaka. Hasil dari mentalitas seperti ini ialah bahwa segala perhatian tentang alam didominasi oleh teori. Tidak ada eksperimen. Kajian alam menjadi olahraga tontonan. Maksudnya, ia menjadi aktivitas tempat para teoritikus duduk merenungi aktivitas para pesaing dalam olimpiade kuno. Ia adalah seseorang yang dikirim untuk mengembalikan wahyu dari Oracle di Delphi. Ia tidak berpartisipasi, ataupun menggali fakta-fakta bagi dirinya sendiri.
Dukungan terhadap perbudakan memiliki satu konsekuensi langsung praktis bagi perkembangan sains terapan. Jika dieksploitasi secara benar, meskipun dapat mengakselerasi perkembangan kegiatan arsitektur atau rekayasa, ia tetap menghambat perkembangan orang-orang ahli nan cekatan yang mandiri di masyarakat.
Dari bengkel kerja individu-individu semacam itu, dan dengan motivasi mereka untuk memanipulasi alam untuk membangun artefak-artefak dan alat-alat yang lebih besar dan lebih baik, praktik sains terapan memperoleh dorongan selama Renaissance. Pada saat itu lebih banyak muncul keinginan untuk menggali keengganan orang-orang Yunani awal bereksperimen ketimbang perasaan terhadap nilai-nilai yang terdistorsi.
Meskipun para pemikir tidak meminta ‘para dewa alam’ untuk memberikan penjelasan bagi setiap fenomena yang mereka saksikan terjadi di sekitar mereka, mereka memperoleh hambatan yang melanda kebudayaan mereka akibat dari kepercayaan mitologi sebelumnya. Alam tidak seluruhnya sekuler, dan gagasan memanipulasi alam untuk mempelajari segala sesuatu di dalamnya akan menjadi hal yang istimewa. Alam adalah organisme hidup, bukan mekanisme. Filosofi mereka adalah ‘Pahamilah dunia dengan segala cara, tapi jangan pernah mencoba mengubahnya atau menggunakannya demi tujuan-tujuan keduniaan’. Bisa jadi bukan kebetulan bahwa perkembangan sains Yunani kebanyakan terjadi dalam bidang astronomi, bidang yang tidak memungkinkan dilakukannya manipulasi alam. Terlebih, dewa-dewa Yunani tidak mendorong gagasan bahwa alam bekerja menurut hukum-hukum universal dan bersifat ilahiah. Ada banyak dewa, setiap dewa memiliki wilayah kekuasaan, dan mereka semua menempati dunia di mana keputusan dibuat melalui perdebatan, negosiasi, dan kompromi, bukan keputusan tuhan yang mahakuasa.
Basis mitologi dari gagasan-gagasan awal mereka tentang dunia mungkin juga memiliki konsekuensi lain yang juga penting terhadap metode ilmiah--yaitu memastikan sedikitnya perhatian terhadap eksperimen. Banyak teori fisika dan kosmologi Yunani terlihat seperti revisi rasional atas mitos-mitos sebelumnya. Mereka semua merupakan kisah-kisah dan penjelasan-penjelasan tentang apa yang terjadi di masa silam. Mereka bukanlah hipotesis ataupun prediksi tentang masa depan.
Yang mereka butuhkan adalah ketiadaan kontradiksi internal. Mereka terlibat dalam kecerdikan deduktif; sedangkan pertanyaan tentang konsekuensi-konsekuensi yang teramati di masa depan tidak pernah muncul.
Munculnya sekolah-sekolah dan akademi-akademi untuk meningkatkan diskusi dan penyelidikan terlihat memiliki banyak manfaat positif. Salah satunya hal itu membuat para pemikir memiliki kolega yang kritis--sesuatu yang tidak dimiliki oleh Copernicus dan Galileo. Diskusi informal tentang dugaan dan penolakan dengan para saintis lain tentang suatu pendapat telah menjadi basis bagi penelitian modern. Terlepas dari penampilan luarnya, fungsi utama dari konferensi-konferensi ilmiah besar saat ini bukanlah daftar ceramah resmi yang membentuk pertemuan-pertemuan itu, juga bukan teks-teks ceramah yang terdapat dalam prosiding yang diterbitkan, melainkan kesempatan untuk melakukan obrolan dan perdebatan informal di sela-sela suasana konferensi yang begitu sibuk.
Kebanyakan diskusi itu berlangsung di lobi-lobi hotel, di kereta, atau dalam perjalanan menuju ruang ceramah, di sela-sela istirahat makan siang atau makan malam, atau dalam pertemuan kelompok informal di kedai kopi.
Akan tetapi, kita telah melihat bahwa perilaku kolektif sekolah-sekolah Yunani juga memiliki efek merusak karena tumpang tindihnya peran yang dimainkan oleh kesetiaan sejumlah sekolah terhadap sistem filsafat tertentu. Efek jelek lainnya, yang digambarkan dengan sangat baik oleh praktik-praktik kelompok-kelompok awal pra-Socrates seperti Pythagoras, adalah rasa penasaran yang tinggi terhadap kerahasiaan. Mereka adalah organisasi rahasia sebagaimana Free Masonry sekarang. Sekitar 531 531 B.C.E, Pythagoras of Samos telah menemukan persaudaraan biarawan ketika kepercayaan filsafat sekolah tersebut menentukan cara hidup mereka sehari-hari.
Pada era kini hal semacam itu kita sebut sebagai agama pemujaan. Ia memiliki banyak hukum dan peraturan tentang kehidupan sehari-sehari yang tidak berbeda dengan hukum-hukum seremonial Yahudi yang ditemukan di Pentateuch. Tatanan semacam ini berlangsung selama sekitar dua ratus tahun, pada masa karir Plato dan Aristoteles. Sementara itu para filsuf awal Yunani di Miletus semata-mata dipandu oleh keingintahuan mereka terhadap tanah, air, dan udara, kalangan Pytahoras lebih memiliki kepentingan mistik.
Mereka berusaha mencari keharmonisan ilahiah dunia agar mereka menyatu dengannya. Kaum Pytagoras adalah kalangan Yunani pertama yang merujuk pada pengertian dunia sebagai ‘kosmos’, yang sangat menekankan tatanan keharmonisan yang merepresentasikannya.
Mereka mempercayai reinkarnasi dan transmigrasi jiwa, dan bahwa terangkatnya status sosial mereka di kehidupan berikutnya dapat dijamin dengan menjalankan ketaatan terhadap kode etik yang berlaku. Pada akhirnya siklus kelahiran dan kematian dapat diputuskan oleh menyatunya mereka ke dalam kesatuan abadi dengan ‘para dewa’ mereka.
Jiwa yang kontemplatif adalah nilai tertinggi dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Misalnya, Pythagoras menganggap penonton sebagai komponen permainan yang lebih penting dibandingkan kompetitor. Penonton datang menyaksikan pertandingan bukan untuk meraih manfaat materi ataupun mencari status dan kekuasaan. Tentu saja, yang dimaksud Pythagoras bukanlah penonton yang hanya diam menyaksikan, melainkan penonton yang aktif dan secara sadar melakukan apresiasi seperti halnya seorang pencinta seni mencari keindahan dan harmoni geometris dalam suatu karya pahat atau karya arsitektur. Hal itu melibatkan pikiran dan mata.
Penemuan kaum Pythagoras dalam matematika dan musik harmoni sudah kita kenal, tapi motivasi mistik yang mereka miliki dalam melakukan investigasinya memiliki konsekuensi tersendiri. Penemuan bilangan-bilangan irasional dalam geometri mengguncangkan fondasi keyakinan mereka, dan begitu juga untuk beberapa waktu hal itu dirahasiakan. Keyakinan mereka terhadap agama numerologis itu mengajarkan bahwa pengamatan atas dunia harus disesuaikan dengan gagasan mereka tentang harmoni, pengamatan tidak dapat berfungsi sebagai panduan dasar terhadap dunia. Misalnya, Aristoteles menulis tentang kaum Pythagoreans:
Mereka menganggap, misalnya, bahwa sepuluh adalah bilangan sempurna dan mencakup seluruh kekuatan bilangan. Berdasarkan anggapan ini mereka menyatakan bahwa ada sepuluh benda langit; dan karena hanya ada sembilan yang terlihat, maka mereka menambahkan ‘counter earth’ untuk menjadikannya sepuluh. Aristoteles
Secara dangkal, keyakinan Pythagoreans bahwa segala sesuatu ‘terbuat dari bilangan’ tidaklah berbeda dengan gagasan modern bahwa cara terbaik menjelaskan alam semesta ialah dengan kuantitas matematis. Namun, ada perbedaan nyata antara mengakui, seperti yang kita lakukan, bahwa memang mungkin menjelaskan aktivitas alam dengan hukum matematika, dan mempercayai, seperti yang dilakukan Pythagoreans, bahwa ada sesuatu yang suci tentang bilangan-bilangan itu sendiri.
Telah kita ketahui ide bagus bahwa ada relasi numerikal antara segala sesuatu, tapi kita tidak memberkati bilangan-bilangan itu sendiri dengan segala bentuk magis atau status suci seperti yang dilakukan pengikut Pythagoras.
Adapun yang tampak aneh bagi kita sekarang adalah bahwa Pythagoras tidak memahami bagaimana bisa ada perbedaan antara gagasan matematisnya dan keyakinan mistiknya tentang keabadian dan kesatuan dengan Kosmos. Hal itu menciptakan jurang antara masa kini dan masa silam. Akan tetapi, kecenderungan mistis ini selalu ada di kalangan kelompok filsuf alam hingga masa Galileo.
Pencarian numerologi adalah rival dan rute yang gagal terhadap upaya matematisasi alam. Sementara itu, sains akhirnya tumbuh dengan mengidentifikasi sebab-sebab dengan akibat-akibat secara matematis, para pengganti hermetisistik[2] Pythagoreans berusaha mencari makna dalam alam melalui simbol-simbol matematis. Meskipun demikian, mereka menganggap alam sebagai pesan yang dikodekan yang dapat mereka ramalkan melalui pengetahuan yang dalam, bukan sebuah sistem yang diatur oleh hukum-hukum yang diterapkan dari unsur eksternal yang dapat mereka tentukan meningkat presisinya melalui eksperimen. Anggapan mereka bahwa alam adalah sebuah buku yang harus didekode dan dibaca akhirnya digantikan oleh citra dunia sebagai suatu mesin, ketika setiap peristiwa memiliki sebab dan akibat, bukan makna.
Pada akhirnya, kecenderungan positif pendekatan Pythagoreans, penggunaan matematika untuk menjelaskan dunia, dan pencarian sebab-sebab dari berbagai peristiwa, dirisaukan oleh motivasi mistis mereka. Namun, yang menjadi penyebab kematian aliran itu bukanlah ‘ketidakkonsistenan diri (self-inconsistency)’ internal itu, melainkan oleh karakter aliran pemikiran Plato yang dominan yang menggantikannya, dan cara aliran tersebut mengembangkan pemikiran Pythagoreans tentang alam semesta yang tampak.
[1] Penanggalan didasarkan pada notasi B.C.E - Before the Common Era (bukan B.C – Before Christ) dan C.E - Common Era (bukan A.D – Anno Domini).
[2] Yang dimaksud dengan hermetic tradition muncul dari lima belas perjanjian anonim yang ditulis pada tiga abad pertama dan secara tradisional dianggap berasal dari dewa Mesir Hermes Trismegistus. Mereka adalah campuran dari tulisan-tulisan mistis dan religius yang mencakup unsur-unsur filsafat Yunani, Yahudi, dan Persia dan memiliki pengaruh signifikan terhadap sebagian pemikir Renaissance.
Thursday, July 5, 2007
PENGARUH YUNANI
Posted by Harist al Jawi at 11:45 AM
Labels: Artikel Sosial
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment