PEMILU DAN POLITIK JUALAN TAMPANG
Nuansa Pemilu sudah sangat terasakan dalam masyarakat kita, terutama setelah ditetapkannya parta-partai politik (24 partai) yang berhak untuk mengikutinya. Pemilu 2004 akan memilih para anggota DPR dan DPD yang secara bersama-sama membentuk MPR. Dalam kaitan dengan keberadaan MPR ini maka para wakil rakyat memiliki 3 fungsi, yaitu fungsi legislasi, melantik presiden/wakil presiden, dan fungsi pengawasan, koreksi, dan kontrol terhadap pemerintah.
Hal ini dalam politik kita menjadi sangat penting, disebabkan Pemilu sekarang berbeda dengan masa lalu. Nanti, Pada kotak suara, para pemilih tidak hanya berhadapan dengan nomor urut dan tanda gambar partai politik saja, melainkan juga dengan orang-orang yang diajukan masing-masing partai politik. Hanya saja untuk menentukan siapa yang akan dicalonkan oleh partai pun mengalami masalah, diantaranya (1) partai tidak memiliki SDM yang cukup, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, (2) penuh kepentingan subjektifitas individu elite partai sehingga timbul konflik internal dalam menentukan nomor urut calon legislatif
Dalam konteks inilah ketokohan seseorang turut andil (berkorelasi signifikan) dengan perolehan suara partai politiknya. Semakin orang tersebut menjadi tokoh dan menjadi panutan masyarakatnya, apalagi disertai dengan reputasi dan tingkat kepercayaan masyarakat itu tinggi terhadapnya maka akan sangat dimungkinkan masyarakat setempat akan memilih partai dan orang tersebut.
Pada titik inilah, kita dapat melihat bagaimana para public figure menjadi ajang rebutan partai-partai politik peserta pemilu dan menempatkan mereka sebagai “nomor-jadi”. Salah satu komponen dari public figure adalah para selebritis yang acap kali muncul di layar kaca dengan berbagai polah mereka, sehingga mereka merupakan orang-orang yang dikenal luas masyarakat. Pada jajaran selebritis ada artis Marrisa Haque dan Dessy Ratnasari yang direkrut PDIP, ada Nurul Arifin digandeng partai Golkar, ada Rieke Dyah Pitaloka gabung dengan PKB, ada Dede Yusuf pada PAN, Franky Sahilatua dan Harry Roesli dengan PNKBnya, dll. Masih banyak lagi diantara para selebritis tadi yang menjadi ujung tombak partai-partai politik dalam meraih simpati masyarakat pemilihnya.
Berkaitan dengan realitas itu, wajah politik dan DPR hasil Pemilu 2004 dapat dibayangkan. Apakah benar keberadaan sejumlah nama yang menjadi public figur tersebut memang berkaiatan erat dalam kerangka untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan berpihak kepada kebenaran, atau diskursus politik kita yang terjadi saat ini lebih dari sekedar hanya sebuah komunikasi politik pura-pura dan bujuk rayu. Jika dugaan di atas benar adanya maka keberadaan para wakil rakyat tersebut tidak akan membawa angin perubahan yang berguna bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan. Itulah realitas cermin politik demokrasi yang democrazy dan sekuler.
MEMBACA KRITIS PEMILU DEMOKRASI DENGAN SYARIAH
Ada dua argumentasi menonjol yang sering dikemukakan partai politik Islam memandang Pemilu kali ini penting dan memutuskan ikut dalam Pemilu berdasarkan demokrasi adalah
Pertama, Persoalan Kepentingan jangka pendek. Hal ini berkaitan untuk (a) mencegah naiknya pemimpin sekuler, (b) mencegah munculnya hukum (produk DPR+pemerintah) yang merugikan umat, (c) melatih politisi Islam dan memberi keteladanan. Alasan (a) lebih karena rasa khawatir, mengingat pengalaman umat Islam selama ini selalu dipimpin oleh kelompok sekuler. Umat Islam menjadi kelompok mayoritas yang secara sengaja dimarginalisasikan. Adapun alasan (b) jika tidak ikut pemilu maka parlemen dan pemerintahan diisi oleh orang sekuler. Kebijakan hukum dan perundang-undangan diduga keras akan merugikan umat Islam, dan alasan (c) perlu dipertanyakan argumentasinya dan secara faktual benarkah demikian?. Justru parpol Islam terjebak untuk ikut terlibat dalam penetapan perundang-undangan dan hukum dan sulit untuk memberikan keteladanan yang dimaksud sebab berada dalam lingkaran sistem yang mengikat. Tidak terdapat jaminan duduknya anggota partai politik Islam di parlemen dan pemerintahan akan dapat menghilangkan tekanan terhadap perjuangan Islam yang ingin menegakkan syariat Islam secara kaafah. Turki dengan Partai Refah dan Partai Keadilan dan pembangunan dapat kita lihat sebagai contoh. Partai Islam itu walaupun menang dan mayoritas serta menguasai parlemen dan pemerintahan di Turki tetap tidak memiliki kekuasaan yang sesungguhnya Tetap saja yang memiliki kekuasaan adalah pihk militer yang menjadi pembela sekularisme di Turki. Dalam kondisi seperti ini Parpol Islam akan dihadapkan pada 2 pilihan:
Pertama, Secara terbuka menentang sekularisme. Jika ini yang terjadi maka berakibata pada mereka akan ditirunkan secara paksa suka atau tidak suka oleh kekuatan sekuler baik dukungan rakyat maupun militer yang sadar.
Kedua, mengikuti permainan dalam sistem sekuler demi untuk mengamankan posisinya, meskipun harus mengeluarkan kebijakan yang merugikan umat Islam dan bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Apalagi, ketika tidak adanya dukungan yang riil dari rakyat secara keseluruhan, yang memiliki kesadaran politik untuk memperjuangan syariat Islam. hal ini akan membuat posisi parpol Islam tetap lemah, meskipun mereka mayoritas di parlemen dan pemerintahan.
KEDUA, Kepentingan jangka panjang berkaitan dengan logika menegakkan syariat islam dengan mengganti negara menjadi Negara Islam. Pada logika ini ada beberapa hal yang diperhatikan:
Meraih suara terbanyak (mayoritas). Ini merupakan kendala pertama, sebab pengalaman pemilu di Indonesia menunjukkan bahwa parpol Islam tidak pernah meraih suara mayoritas baik 1955 mampun 1999 yang lalu. Artinya partai islam gagal meraih suara signifikan. Prediksi hasil pemilu 2004 berdasarkan pada banyak poling yang dilakukan banyak kalangan menunjukkan hasil pemilu saat ini tidak berbeda dengan yang lalu, artinya partai sekuler yang menang, bukan parpol Islam. hal ini disebabkan terjadi upaya marjinalisasi parpol Islam, bukan hanya di indonesia melainkan juga di seluruh dunia Islam, kecuali FIS di Aljazair dan refah di Turki. Hanya akhirnya juga berakhir tragis dengan alasan membahyakan sistem sekuler, kemangan itu dibiri.
Benturan dengan sistem sekuler. Artinya parpol Islam harus tetap “bermain” dalam kerangka sistem demokrasi sekuler. Hal ini dapat dilihat pada syarat: tetap menjadikan ideologi sekuler sebagai asas negara yang tidak boleh diubah. Konsekuensi dari itu, parpol Islam tidak dapat mengubah asas dan sistem demokrasi, meskipun suara mereka mayoritas. Hal ini wajar sebab sistem ideologi apapun pasti memiliki sistem pencegahan terhadap berbagai pihak yang ingin mengubah sistem tersebut. Para penjaga demokrasi baik rakyat maupun militer dan pemerintahan sekuler tidak akan membiarkan perubahan itu mengancam keentingannya datau bertentangan dengan ideologi negara atau mengancam kepentingan nasional dan keamanan nasional.
Benturan dnegan masyarakat yang tidak mendukung. Realits menunjukkan bahwa ketika parpol Islam meraih mayritas di parlemen ha itu berarti menunjukkan bahwa rakyat akan mendukung saat parpol Islam itu hendak mengubah dasar dan aturan negara menajdi Islam. Kondisi ini dapat terjadi jika parpol Islam menang mayoritas BUKAN karena mereka menawarkan negara dan aturan Islam dalam kampanye mereka. Artinya, rakyat memilih parpol Islam bukan karena kesadaran (floating mass) bahwa parpol Islam itu bertujuan mengganti sistem sekuler yang ada menjadi sistem Islam, atau parpol Islam ini menjelaskan keburukan dari sistem sekuler yang ada, tetapi karena isu-isu lain yang menarik hati masyarakat, seperti moralitas, isu KKN, dll. Yang tidak dikaitkan dengan Islam. Oleh sebab itu, selama kesadaran di tengah masyarakat TETAP menganggap sistem sekuler sebagai hal final dan harus dipertahankan maka keinginan parpol Islam untuk mengubah sistem sekuler itu menjadi Islam akan mendapat tantangan dari rakyat sendiri yang belum sadar. Sebab perubahan sebuah sistem SANGAT DITENTUKAN oleh kesadaran masyarakat itu terhadap buruknya sistem yang sekuler yang ada.
ISLAM DAN PEMILU
Dalam Islam, Pemilu dipandang sebagai bagian dari aktivitas yang diatur syariat Islam. Pemilihan terhadap orang yang dipercaya untuk emmbawa sebuah amanat merupakan sebuah transaksi perwakilan (aqad wakalah). Hukum asal akad wakalah merupakan hal yang boleh. Hal ini ditunjukkan oleh hadits riwayat Jabir bin Abdillah. Ia menuturkan, “Aku hendak berangkat ke Khaibar, lalu aku menemui Rasulullah saw. Beliau kemudian bersabda: “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, maka ambillah olehmu darinya 15 wasaq” (HR. Abu Dawud). Begitu pula peritiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap beliau saat itu yang dipilih oleh mereka sendiri. Kenyataan yang terdapat dalam sumber Islam tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan akad perwakilan (wakalah).
Tentu saja dalam islam, sebuah akad wakalah tersebut menjadi sah jika rukun yang terdaopat di dalamnya terpenuhi, yaitu adanya (1) ijab-qabul, (2) pihak yang mewakilkan, (3) pihak yang mewakili, (4) perkara yang diwakilkan, dan (5) redaksi akad perwakilan (shighat tawkil). Jika tidak terpenuhi salah satu diantara hal itu maka menjadi batal (tidak sah).
Dalam Pemilu 2004, fokus utama adalah butir ke-4 (perkara yang diwakilkan) dari syarat di atas. Hal ini sangat erat kaitannya dengan fungsi legislasi dalam sistem demokrasi. Para wakil rakyat akan menjadi anggota legislatif yang berfungsi untuk menetapkan aturan dan hukum serta sistem perundangan yang akan mengikat seluruh rakyat dan pemerintah.
Jika kita melihat dalam Islam, kenyataan menunjukkan bahwa seorang muslim dan masyarakatnya terikat dengan pemahaman bahwa yang berhak menetapkan hukum atas manusia bukanlah manusia itu sendiri, melainkan Allah swt. Terdapat banayak ayat Al Quran dan hadits Rasulullah yang sangat jelas menunjukkan aspek ini. Perhatikan firman Allah swt. Dalam surat Yusuf ayat 40, “Innil hukmu illa lillaahi” (Menetapkan hukum hanyalah hak Allah semata).
Berkaitan dengan hal di atas dapat dipahami bahwa sumber hukum selain dari wahyu Allah dalam menetapkan sesuatu adalah batal atau tidak sah dan bertentangan dengan keimanan seorang muslim. Rasulullah pernah bersabda kepada Adi bin Hatim “Bukankah mereka (para pendeta dan rahib, pen) telah menghalalkan yang haram buat mereka dan mengharamkan yang halal atas mereka? Adi bin Hatim menjawab, “Ya”. Rasulullah lalu melanjutkan,” Itulah ibadah mereka (masyarakat ahlul kitab) kepada mereka (para rahib dan pendeta mereka)”. Hadits itu merupakan penjelas atas firman Allah yang dibacakan Rasulullah yang terdapat dalam surat At Taubah ayat 31, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah”.
Dasar inilah yang menjadi sebab mengapa dalam aqidah Islam seorang muslim terikat hanya dengan aturan, nilai, dan hukum yang bersumber dari wahyu. Bukan berasal dari para wakil rakyat yang dalam sistem demokrasi dikenal dengan kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam sistem demokrasi, hukum Islam hanya berfungsi sebagai salah satu pilihan yang dapat digunakan atau bisa juga tidak. Sangat bergantung pada pihak yang memiliki suara mayoritas. Padahal bagi seorang muslim siapapun dia, maka aturan Islam adalah kewajiban (obligation) dan bukan salah satu pilihan.
Melakukan elaborasi terhadap kenyataan itu, maka kita akan menjumpai bahwa syariat Islam sebagai sumber hukum dalam menentukan baik-buruk, benar-salah, halal-haram, terpuji-tercelanya sesuatu. Lahirlah kaidah ushul yang menyatakan, “Yang baik adalah apa yang dinyatakan baik oleh syariat dan yang buruk adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syariat”. Berbanding terbalik dengan sistem demokrasi, wakil rakyat (manusia) dipandang sebgaai penetap hukum dan mampu menetapkan apa yang dianggap baik dan yang buruk. Pada realitas menunjukkan bahwa banyak sekali yang disangka baik oleh manusia padahal hal itu adalah buruk dan yang disangka buruk padahal baik.
Kembali pada titik masalah kita di atas yang berkaitan dengan perwakilan (aqad wakalah). Pemberian mandat atau kepercayaan para wakil rakyat berkaitan dengan memilih kepala negara, mengesahkan terhadap berbagai kesepakatan (keputusan), RUU/UU, berbagai perjanjian dll. Kenyataan dalam sistem demokrasi itu merupakan realitas yang bertentang dengan Islam.
Berbeda dengan demokrasi, dalam Islam wakil rakyat bukan berfungsi dalam tataran legislasi, tapi sebagai (a) pengawasan parlemen terhadap Khalifah (penguasa), dan (b) untuk melakukan koreksi dan kritik (muhasabah) terhadap pemerintah dan para penguasa; apakah para penguasa berada jalur yang benar sesuai dengan hukum syariat ataukah tidak. Dalam kontelks inilah aktivitas tersebut disebut sebagai amr ma’ruf dan nahyi munkar yang wajib dilakukan muslim, baik individu, kelompok, maupun partai politik, apalagi para wakil rakyat.
Dalam kaitan dengan fungsi inilah maka para calon wakil rakyat dalam islam memiliki beberapa persyratan:
Para wakil rakyat harus secara terbuka menyuarakan keinginannya untuk menegakkan aturan Islam,
Dalam proses kampanye untuk meminta dukungan darti rakyat maka para calon wakil rakyat hartus menyampaikan pemikiran dan program yang hendak dilaksanakan bersumber dari aturan Islam, bukan bersumber dari kepentingan lainnya.
Para wakil rakyat tidak menjadi calon dari partai yang sekuler, yaitu partai yang memisahkan agama dengan kehidupan.
Para wakil rakyat tidak menempuh cara yang haram, seperti suap-menyuap, menipu, memalsukan, dan tidak berkolaborasi dengan aktivitas sekuler.
Konsisten dalam menetapi aturan islam
Dalam Islam, seorang muslim boleh terlibat dalam aktivitas pemilu dalam rangka menegakkan sistem, menentang sistem yang sekuler, sekaligus melakukan kritik dan koreksi terhadap hukum dan pemerintahan yang memproduksi apapun yang bertentangan dengan syariat. Jika hal itu dilakukan dalam rangka memantapkan hukum dan sistem sekuler maka jelas hal itu terlarang dalam Islam.
SIKAP MUSLIM
Berdasarkan hal di atas maka sikap seorang muslim adalah
Pertama, turut berjuang menegakkan syariat Islam dan mengubah sistem sekuler menjadi sistem Islam berdasarkan metode dakwah Rasulullah saw. Melalui pergulatan pemikiran (shira`ul fikri) dan perjuangan politik (alkifahu as siyaasiy). Kesertaannya ditunjukkan dengan mendukung individu, kelompok, jamaah, dan partai politik yang nyata-nyata dan konsisten berjuang menegakkan syariat Islam. Sebaliknya, ia menjauhi individu, kelompok, jamaah, dan partai politik yang justru mengukuhkan sistem sekuler. Kewajiban ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh.
Kedua, memastikan bahwa partai Islam yang dipilih memenuhi kriteria (1) berasaskan Islam, (2) bertujuan untuk menegakkan kehidupan Islam dengan ditegakkannya syariat Islam, (3) tujuan itu diperjuangkan secara sungguh-sungguh, terus terang, terbuka, dan tanpa rasa malu atau gentar, dan (4) asas Islam tercermin dalam konsep atau pemikiran yang diperjuangkan baik menyangkut politik di dalam dan luar negeri, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan yang konsep itu tertuang secara gamblang sehingga bisa dipelajari oleh siapapun, (5) sebagai partai politik maka ia wajib terikat dengan syariat Islam, baik dalam kehidupan sehari-hari kepartaian, dalam interaksi antaranggota partai, maupun kehidupan keparlemenan, dan dalam materi dan cara berkampanye.
Ketiga, secara sendiri-sendiri maupun bersama melakukan kritik dan koreksi terhadap para penguasa yang menetapakan kebijakan yang bertentangan dengan syariat Islam
Keempat, tidak terpengaruh oleh propaganda orang atau kelompok tertentu yang menyatakan bahwa mengubah sistem sekuler menjadi sistem Islam itu mustahil dilakukan. Semua itu bisa berubah asal kita mau berusaha keras dan sungguh-sungguh, istiqamah, ikhlas, dan senantiasa berdoa memohon pertolongan Allah swt.
PEMILU DALAM PANDANGAN SYARA’
H. Fahmy Lukman, Drs., M.Hum
Salah satu pilar Islam yang berkaitan erat dengan masalah sistem pemerintahan, yaitu kekuasaan itu berada di tangan ummat. Hal ini dapat kita fahami disebabkan syara’ (Allah swt.) telah menjadikan pengangkatan kepala negara, yaitu Khalifah dapat diwujudkan melalui kehendak umum dari mayoritas ummat. Hanya saja yang menentukan legalitas, sah atau tidaknya kepala negara terpilih tersebut adalah bai’at yang berasal dari ummat. Pengangkatan kepala negara itu berada di tangan ummat. Mengenai persoalan ini terdapat hadits Rasullullah saw. yang menegaskan hal itu dalam sabdanya: “Siapa saja yang telah membai’at seorang imam (kepala negara/khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya, jika ia mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merampasnya maka penggallah leher orang itu” (HR. Muslim).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang penguasa memperoleh kekuasaan yang berasal dari ummat melalui bai’at. Tentu saja kekuasaan yang berasal dari tangan seorang kepala negara itu adalah hasil pilihan ummat berdasarkan mayoritas keinginan ummat tentang seseorang yang mereka pilih. Berdasarkan hal ini, syara’ telah memberikan kepada ummat hak untuk memilih sekaligus menentukan seseorang yang akan dijadikan pemimpin mereka dan kepada pemimpin itu diberikan kekuasaan yang berasal dari ummat, terutama kekuasaan untuk mengatur dan memelihara seluruh urusan ummat sesuai dengan hukum syara’.
PEMILU DALAM TINJAUAN SYARA’
Allah swt. telah menjadikan kekuasaan itu di tangan ummat dan pengangkatan kepala negara (khalifah) itu hak bagi seluruh kaum muslimin, bukan hak sebagaian kecil kaum muslimin saja, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.: “ Siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya belum ada bai’at (kepada khalifah/kepala negara) maka matinya seeri mati jahiliyah” (HR. Muslim). Seruan ini bersifat umum, yaitu kepada setiap kaum muslimin. Oleh seba itu, pengangkatan khalifah bukanlah monopoli ahlul hilli wal ‘aqdi semata, sementara yang lainnya tidak memiliki hak. Juga hak ini bukan milik orang-orang tertentu saja, seperti khalifah atau keluarga khalifah, melainkan hak ini dimiliki oleh setiap kaum muslimin yang telah dewasa. Sebab nash-nash yang ada bersifat umum dan tidak ada pengkhususan terhadap orang-orang tertentu dari kaum muslimin.
Meskipun demikian, tidak disyaratkan bahwa kaum muslimin secara keseluruhan harus menunaikan hak mengangkat khalifah itu, walaupun hal itu tergolong perkara yang difardlukan. Sebab fardlunya adalah fardlu kifayah dan bukan fardlu ‘ain. Jadi apabila kewajiban itu (pengangkatan khalifah) telah dilaksanakan oleh sebagian orang maka kewajiban yang dibebankan kepada sebagian yang lain menjadi gugur. Dengan demikian persoalannya bukan bagaimana agar seluruh kaum muslimin melaksanakan fardlu tadi secara langsung, melainkan yang diperhatikan adalah keridlaan kaum muslimin terhadap pengangkatan kepala negara (khalifah). Oleh sebab itu, tidak disyaratkan dalam hal ini jumlah tertentu bagi mereka yang akan memilih atau mengangkat kepala negara.
Adapun sikap ridla kaum muslimin itu tampak pada sikap diam mereka atau sikap langsung mentaati khalifah yang terpilih, mskipun hanya sebgaian mereka yang terlibat dalam pemilihan. Atau sikap-sikap lainnya yang menunjukkan keridlaan kaum muslimin. Apabila kita mengkaji secara mendalam masalah ini, maka akan kita jumpai bahwa hukum syara’ yang harus dijalankan adalah terjadinya pengangkatan kepala negara oleh sekelompok orang yang pengangkatannya mencerminkan keridlaan kaum muslimin. Mereka ini bisa mayoritas ahlul hilli wal aqdhi atau tokoh-tokoh masyarakat yang mencerminkan kehendak kaum muslimin, atau dengan diamnya kaum muslimin atas pengangkatan khalifah, atau dengan cara mentaati khalifah, tau cara lain yang menunjukkan tanda-tanda keridlaan.
Jadi hukum syara’ tidak menentukan apakah mereka yang memilih dan mengangkat itu harus ahlul hilli wal aqdhi atau harus 500 orang atau mayoritas kaum muslimin. Beitu pula tidak dibatasi apakah yang terlibat pemilihan itu penduduk ibu kota ataukah penduduk yang bermukim di daerah-daerah. Hukum syara’ hanya menentukan apakah khalifah sudah diangkat melalui berbagai tanda, disertai pemberian peluang pada masyarakat untuk terlibat dalam pemilihan itu sesempurna-sempurnanya.
Dengan demikian, setiap pernyataan yang mengatakan bahwa keterlibatan kaum muslimin dalam proses pemilihan itu adalah wajib serta haram hukumnya jika tidak memilih salah satu dari pilihan yang ada menunjukkan kesalahpahaman terhadap hakikat pemilihan dalam syariat Islam. Di samping itu, pernyataan tersebut telah menghilangkan unsur ridla kaum muslimin yang menjadi sahnya seluruh aqad dalam hukum Islam, termasuk dalam hal ini aqad antara kepala negara dan rakyat. Sebab setiap bentuk tekanan yang memaksakan suatu sikap tertentu atas kaum muslimin dapat mengakibatkan batalnya aqad dan hal itu merupakan perkara yang terlarang.
FAKTA PEMILIHAN KHULAFAUR RASYIDIN (KEPALA NEGARA)
Islam telah menentukan bahwa satu-satunya metode untuk megakat kepala negara adalah melalui bai’at yang disertai pilihan dan ridla kaum muslimin. Adapun mekanisme yang ditempuh oleh kaum muslimin, terutama pada masa khulafaur Rasyidin jika kita mengkajinya dengan cermat dan teliti, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada keharusan untuk terikat dengan cara-cara tertentu dalam proses pemilihan dan pengangkatan khalifah. Hal ini dapat kita perhatikan, misalnya dalam proses pemilihan dan pengangkatan Khalifah Abu Bakar ra. Pada proses pemilihan dan pengangkatan ini tampak dengan jel;as bahwa tidak seluruh kaum muslimin terlibat dalam proses pemilihan tersebut. Dari kalangan Muhajirin hanya terdapat 3 orang, selebihnya dalam jumlah besar berasal dari kalangan Anshar yang berkumpul di Tasqifah bani Sa’idah. Hasil permufakatan mereka itulah yang mensahkan Abu Bakar Shiddiq ra sebagai kepala negara tanpa melibatkan seluruh penduduk kota Madinah. Dan kaum muslimin yang tinggal di kota Makkah tidak terlibat sama sekali bahkan tidak pernah mendengar kecuali setelah beberapa hari pemilihan dan pengangkatan itu selesai.
Demikian pula proses pemilihan dan pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab ra. yang hanya melibatkan penduduk kota Madinah sebagai ibu kota negara khalifah pada saat itu, tanpa melibatkan kaum muslimin di kota-kota lainnya. Termasuk cara yang ditempuh Umar bin Khattab ra. ketika beliau tertikam dan menjelang wafatnya menyerahkan urusan proses pengangkatan dan pemilihan khalifah berikutnya kepada suatu tim yang terdiri dari enam orang shabat yang paling terpercaya. Mereka inilah yang melontarkan kandidat calon, yang kemudian Abdurrahman bin Auf ra. sebagai koordinator berkeliling menanyakan pendapat seluruh kaum muslimin di kota Madinah terhadap dua kandidat utama, yaitu Ustman bin Affan ataukah Ali bin Abi Thalib ra. Proses ini juga tanpa melibatkan kaum muslimin di kota-kota lainnya.
Ketika Utsman bin Affan terbunuh, proses pemilihan dan pengangkatan Ali bin Abi Thalib ra hanya melibatkan penduduk kota Madinah dan Kuffah saja, tanpa melibatkan kaum muslimin di kota yang lainnya. Demikianlah, meskipun proses pemilihan dan pengangkatan kepala negara pada masa Khulafaur Rasyidin yang hanya melibatkan sekelompok orang atau terbatas pada sebagian besar penduduk ibu kota, atau membatasi pada dua kota saja, tanpa melibatkan seluruh kaum muslimin. Proses pemilihan dan pengangkatan itu tetap sah secara syar’iy. Tidak terdapat seorang pun dari kalangan fuqaha maupun kaum muslimin yang menyatakan bahwa proses pemilihan dan pengangkatan Khulafaur Rasyidin itu tidak sah atau batil.
PENGGUNAAN KAIDAH AHWANUSY SYARRAIN
Kaidah ahwanusy syarrain (mengambil yang lebih kecil dari dua keburukkan) dan kaidah akhaffud dlararain (mengambil yang lebih ringan dari dua mudlarat/bahaya) merupakan kaidah yang sangat masyhur dan diamalkan oleh para fuqaha. Imam Asy Syarkhasiy dalam kitab Syarah As Sair Al Kabir juz V halaman 1750 menyatakan bahwa kaidah ahwanus syarrain ketika membahas tindakan negara (kahalifah) memberikan tanggungan beberapa jiwa kaum muslimin kepada musuh sebagai salah satu syarat perdamaian. Imam Syarkasiy berkata: “Imam (khalifah) tidak boleh memaksa seorang muslim pun menjadi tanggungan jiwa sebagai syarat perdamaian, kecuali jika kaum musyrikin (musuh) mempunyai kekuatan yang besar dan kaum muslimin khawatir terhadap kekuatan mereka. Dalam keadaan seperti ini, tidak mengapa seorang Imam untuk memaksakan adanya tanggungan berupa jiwa dari kaum muslimin. Sebab tindakan itu mengandung kemanfaatan umum bagi kaum muslimin dan meninggalkan tindakan itu bisa menimbulkan kekhawatiran akan binasanya jamaah kaum muslimin. Dasarnya adalah kaidah yang telah dikenal, yaitu siapa saja yang diuji dengan dua musibah, dia wajib memilih yang lebih ringan dari keduanya”
sebagian ulama mazhab Hambali menerangkan bahwa memerangai para pemberontak (bughat) lebih utama daripada jihad. Mereka berdalil dengan tindakan Imam Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah, yang sepanjang masa pemerintahannya hanya memerangi para pemberontak dan tidak melangsungkan jihad (ofensif). Imam Al Alusi dalam kitab tafsirnya Ruhul Ma’aniy juz XXVI:151 setelah mengutip pendapat ini berkata: “Pendapat yang benar bahwa tindakan tersebut tidaklah berlaku secara mutlak. Tetapi bila tidak memerangi pemberontak dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadat yang lebih besar, maka memerangi pemberontak lebih besar maslahatnya daripada kemaslahatan jihad”. Akan tetapi jihad (defensif) untuk mengusir musuh yang menyerang negeri-negeri Islam harus didahulukan daripada memerangi para pemeberontak. Sebab dalam hal ini jika negara tidak dapat melaksanakan dua kewajiban ini sekaligus, mafsadat didudukinya negeri-negeri Islam oleh musuh lebih besar daripada mafsadat bughat. Maka dipilih yang lebih ringan dari dua keburukan yang ada karena mengamalkan kaidah syar’iyyah yang masyhur:
“Dipilih yang lebih kecil dari dua keburukan yang ada”
Juga karena mengamalkan kaidah syar’iyyah yang lain:
“Jika bertentangan dua mafsadat, maka diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya dan diambil yang lebih ringan dari keduanya”
Masih banyak lagi contoh-contoh yang bisa kita telusuri dalam karya-karya para ulama shalihin. Hanya saja yang perlu kita sadari bahwa penerapan dua kaidah itu tidak serampangan melainkan dengan ilmu yang benar. Perlu pula diketahui, kedua kaidah ini memiliki perbedaan dalam penggunaannya. Kaidah Akhaffud Dlararain kebanyakan digunakan pada dlarar atau bahaya yang terjadi pada keuangan atau fisik yang berkategori mubah. Di sini harus terdapat ketetapan syara’ bahwa perkara pertama mubah dan perkara kedua juga mubah. Orang yang menghadapi kedua perkara itu dibiarkan untuk memilih “dlarar” yang lebih kecil atasnya. Misalnya, seseorang kehilangan kunci mobil atau rumah. Apakah dia akan mendobrak pintu ataukah mencari seorang ahli kunci yang dapat membukakan pintu mobil atau rumah itu? Mana di antara kedua pilihan itu yang lebih kecil dlarar-nya ? Dalam hal ini boleh memilih salah satu, meskipun yang lebih utama adalah memilih yang teringan bahayanya.
Adapun kaidah “Ahwanusy Syarrain” digunakan dalam dlarar fisik dan harta yang terjadi pada perbuatan buruk (syarr) atau haram. Di sini harus ada ketetapan syara’ bahwa perkara pertama haram dan perkara kedua adalah haram. Di samping itu syara’pun menetapkan bahwa salah satu dari keduanya memiliki keharaman yang lebih ringan daripada yang lain. Atau dlarar dan bahaya yang ada pada salah satu dari keduanya cukup menjadikannya lebih ringan haramnya dari yang lain. Misalnya, mencela seorang muslim itu haram dan membunuhnya juga haram. Tetapi syara menetapkan bahwa mencela muslim lebih kecil keharamannya daripada membunuhnya. Rasulullah saw. bersabda: “Mencela muslim adalah perbuatan kefasikan sedangkan membunuhnya adalah seperti perbuatan kekufuran” (HR. Ath Thabrani).
Contoh lain adalah seorang tentara muslim yang ada di medan perang tidak boleh memusnahkan senjatanya dan senajata kaum muslimin. Sebab Allah memerintahkan pasukan kaum muslimin untuk senantiasa waspada dan memegang senjata di medan pertempuran, sekalipun ia sedamng melakukan shalat. Allah berfirman: “Dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbnu kamu dengan sekaligus.” (QS.4:102)
Kandungan khithab (seruan) ayat ini menunjukkan bahwa memusnahkan senjata hukumnya haram sebab ia dalam kondisi lebih berbahaya daripada meletakkan senajta. Tetapi jika ia melihat bahwa musuh akan menguasai senajata ini, maka pada saat itu ia hendaknya memusnahkan senjatanya itu agar hal itu tidak menambah kekuatan musuh. Rasulullah telah mengharamkan segala sesuatu yang menghanrakan kepada datangnya dlarar atau bahya atas kaum muslimin. Beliau saw. bersabda: “Tidak boleh memudlaratkan (orang lain) dan tidak boleh memudlaratkan/membahayakan (diri sendiri)” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Wallahu aعlam.
No comments:
Post a Comment