Money politics dalam pemilu baik pemilihan kepala daerah maupun presiden bukan lagi sebuah rumor semata. Selama ini, kita mencium ‘baunya’ saja namun tidak bisa membuktikan secara nyata. Namun kini, kejahatan tersebut telah terbukti secara telanjang, baik pada fakta persidangan maupun karena adanya pengakuan dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Sebut saja, kasus aliran dana DKP. Dalam persidangan terungkap bahwa capres dan cawapres dari semua calon ternyata menerima aliran dana tersebut, baik ada yang mengaku ataupun tidak. Apapun alasannya, jelas ini mengindikasikan bahwa telah terjadi praktik money politics. Dan praktik semacam ini ternyata merupakan sesuatu hal yang ’lumrah’ terjadi di negeri ini.
Belum usai hingar-bingar aliran dana DKP, terkuak kembali praktik politik uang dalam pemilihan calon gubernur DKI Jakarta. Tidak tanggung-tanggung. Banyak pihak yang terlibat dengan jumlah uang yang luar biasa banyaknya.Diantaranya adalah mantan Pangdam Jaya Mayjen Purn Slamet Kirbiyantoro. Dia kecewa dengan kebijakan yang diambil PDIP dan beberapa parpol lainnya dalam memutuskan cawagub dari Koalisi Jakarta. Namanya yang semula masuk bursa pendamping Foke, tiba-tiba terpental digantikan oleh Mayjen Prijanto. Pria yang akrab disapa Kirbi itu pun berniat untuk meminta kembali sejumlah uang yang telah disetorkan ke PDIP saat mengikuti seleksi cawagub. [detikcom, Jumat (15/6/2007)].
Tak cuma Mayjen Purn Slamet Kirbiyantoro yang mutung. Mantan Danpuspom Mayjen (Purn) Djasri Marin juga kecewa berat dengan ulah 8 parpol yang semula akan mendukungnya sebagai cawagub DKI Jakarta. Sudah uang diambil, parpol tak memperjuangkannya. Untuk pencalonannya yang gagal itu, Djasri menghabiskan uang total jenderal Rp 2 miliar.
“Iyalah itu (penipuan). Saya memikirkan untuk menuntut balik mereka. Seandainya parpol itu mendukung kita terus kalah, itu tidak apa-apa. Tapi ini nggak, dukung orang lain, tapi duit kita diambil. Curang ini,” tegas Djasri [detikcom, Jumat (15/6/2007)]. “Kita ikuti mulai dari pendaftaran, pemaparan visi misi, pengenalan konsituen dan sebagainya. Duit yang saya keluarkan banyak untuk kegiatan-kegiatan seperti ini. Parpol kan maunya macam-macam,” cetus Djasri. Tidak kurang 8 parpol yang dijajaki Djasrin untuk duduk sebagai calon resmi cawagub.
Parpol-parpol ini jelas minta bayaran yang tidak sedikit. Namun Djasri menolak menyebutkan biaya rinci yang dikeluarkan untuk masing-masing parpol itu. Yang pasti antara parpol besar dan kecil, angkanya berbeda. “Kalau partai besar malu-malu, tidak ditarget. Tapi kalau partai kecil minta. Kayak PPP itu untuk mendaftar minta Rp 50 juta. Alasannya untuk ini itu,” beber dia. Kalau Golkar dan PDIP mintanya berapa, Pak? “Mereka justru tidak minta, ya saya yang kasih,” ujarnya.
Lain lagi dengan Mayjen Purn Asril Tandjung. Dia juga berencana menagih kembali ‘mahar’ yang telah disetorkannya parpol. “Kalau bisa (duit setoran) diambil lagi. Tapi kita lihat saja nanti,” ujarnya. Asril mengatakan, dirinya merasa ditipu dengan keputusan beberapa parpol di Koalisi Jakarta yang memilih figur tidak populer sebagai pendamping Fauzi. Padahal sejak awal, ungkap dia, mengikuti tahapan penjaringan dan telah menyetorkan sejumlah uang ke beberapa parpol yang dilamarnya.
“Saya ikuti mekanisme yang ditetapkan. Waktu mendaftar saja, saya bayar Rp 10 juta. Tergantung parpolnya. Tapi tiba-tiba ada calon lain yang dipilih, tidak ikut mekanisme yang ditetapkan,” kata Asril. Meski mengaku telah menyetorkan sejumlah uang, Asril enggan menyebutkan jumlah yang telah disetorkan agar dirinya lolos menjadi cawagub DKI. “Biar saja. Nanti juga ada pembalasan,” pungkasnya.Dikabarkan, mantan Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat (Kaskostrad) ini telah menyetor Rp 3,7 miliar ke PDIP. Selain PDIP, parpol lain yang dilamar Asril adalah Partai Golkar, PPP, PBB, dan PBR. [MedanBisnis, Sabtu, 16-06-2007]
Fakta diatas menunjukkan bahwa politik uang demi kekuasaan memang sudah merupakan hal yang lumrah terjadi di negeri ini. Demi kekuasaan, banyak kalangan yang ’menghalalkan’ segala macam cara untuk mendapatkannya. Namun anehnya, praktik diatas oleh penegakkan hukum tidak pernah ’disentuh’ apalagi diusut tuntas.
Alih fungsi Partai Politik
Fakta diatas juga menjelaskan bahwa saat ini partai politik telah beralih fungsi sebagai media ’dagang sapi’. Bukan lagi sebagai tempat penyaluran aspirasi masyarakat dan tempat memperjuangkan aspirasi rakyat agar rakyat dapat hidup dengan layak dan bahagia. Partai saat ini berubah menjadi ’mesin politik’ untuk meraih kepentingan-kepentingan politik dan bisnis seseorang atau kelompok orang.
Partai politik sekarang menjadi kepanjangan tangan para kapitalis, bukan lagi kepanjangan tangan kepentingan masyarakat. Partai politik saat ini bergerak dan ’bertempur mati-matian’ demi kepentingan para kapitalis namun ’melempem’ tatkala berhadapan dengan kepentingan masyarakat. Mereka tidak bersuara sama sekali. Kalaupun bersuara hanyalah pada saat awal-awalnya saja, namun ketika sudah berbenturan dengan para kapitalis, sedikit-demi sedikit mundur secara teratur dan tidak bersuara lagi. Sungguh menyedihkan.
Pintu Intervensi para Kapitalis
Praktik politik uang dalam pemilihan kepada daerah maupun presiden jelas merupakan peluang bagi intervensi para kapitalis terhadap calon pemimpin yang terpilih. Atau minimal sebagai wahana ’investasi’ seseorang.Intervensi para kapitalis merupakan keniscayaan. Sebab, yang mempunyai modal banyak untuk memodali pencalonan seseorang tentu tidak lain adalah para pemilik modal. Secara logika, calon para pemimpin yang notabene banyak dari kalangan pegwai negeri dan mantan pejabat militer kecil kemungkinan mempunyai ’cukup modal’ untuk membiayai mesin politiknya. Kalau pun mereka punya, patut untuk ’dikritisi’ lebih lanjut, darimana mereka punya? Sebab jika ditotal pendapatan resmi mereka dan setelah dikurangi pengeluaran mereka, pasti hanya cukup untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari. Tidak lebih dari itu. Jika demikian, yang berpotensi besar mempunyai dana hanyalah para pemilik modal atau para kapitalis.
Dan para kapitalis ini bisa berasal dari dalam negeri atau bahkan dari luar negeri. Jika para kapitalisnya berasal dari dalam negeri maka kepentingan-kepentingan jangka pendek dan nilai bisnis lah yang menjadi target utama ’penanaman investasi’ mereka. Namun jika para kapitalis dari luar negeri maka selain target kepentingan bisnis juga menjadi salah satu pintu masuk bagi intervensi seluruh kebijakan pemerintahan. Yang pada akhirnya pemerintah yang ada tunduk dan patuh pada asing.Selain itu, orientasi seseorang untuk menduduki sebuah jabatan bukan lagi untuk ’melayani masyarakat; namun lebih pada ’investasi bisnis’ murni. Mereka telah berhitung dengan cermat, berapa modal yang mungkin habis, kapan semuanya balik modal, bagaimana cara agar supaya balik modal dan yang terpenting adalah berapa besar keuntungan yang diperoleh.
No comments:
Post a Comment