Tiap orang yang memiliki tanah akan dipaksa untuk mengelola tanahnya secara optimal. Bagi siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi sesuatu (modal) dari baitul mal, sehingga memungkinkan orang yang bersangkutan untuk mengelola secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil dan diberikan kepada yang lain. Umar Bin Khattab ra. mengatakan: [1]"Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun."[1] Yahya Bin Adam meriwatkan melalui sanad Amru Bin Syu'aib mengatakan: [1]"Rasulullah SAW telah memberi sebidang tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah, kemudian mereka mengabaikannya, lalu ada suatu kaum menghidupkannya. Umar berkata: 'Kalau seandainya tanah tersebut pemberian dariku, atau dari Abu Bakar, tentu aku akan mengembalikannya, akan tetapi dari Rasulullah SAW.'"[1] Dia (Amru Bin Syu'aib) berkata: [1]"Umar mengatakan: 'Siapa saja yang mengabaikan tanah selama tiga tahun, yang tidak dia kelola, lalu ada orang lain mengelolanya, maka tanah tersebut adalah miliknya.'"[1] Maksudnya, tanah tersebut telah lewat tiga tahun lebih. Artinya kalau tanah tersebut dari Abu Bakar, tentu tidak akan sampai lebih tiga tahun, atau kalau dari aku tentu juga tidak akan sampai lebih tiga tahun, akan tetapi tanah tersebut dari Rasulullah, sementara waktunya telah lewat dari tiga tahun, maka tidak mungkin dicabut kembali.
Abu Ubaid telah mengeluarkan sebuah riwayat di dalam kitab Al Amwal dari Bilal Bin Al Harits Al Muzni: [1]"Bahwa Rasulullah SAW telah memberikan lembah secara keseluruhan."[1] Dia (Abu Ubaid) berkata: Maka, pada masa Umar, dia berkata kepada Bilal: [1]"Bahwa Rasulullah SAW tidak memberikan (lembah) itu kepadamu untuk kamu pagari agar orang-orang tidak bisa mengambilnya, akan tetapi beliau memberikan kepadamu agar kamu menggarapnya. Maka, ambillah dari tanah tersebut yang sanggup kamu kelola, dan yang lain (yang tidak bisa kamu kelola) kamu kembalikan."[1] Ijma' sahabat juga telah sepakat bahwa siapa saja yang mengabaikan tanahnya selama tiga tahun, maka tanah tersebut harus diambil dari pemilik asalnya, lalu diberikan kepada yang lain.
Oleh karena itu, seorang pemilik tanah boleh menanami tanahnya dengan alatnya, benihnya, hewan dan pekerja-pekerjanya. Dia juga boleh mempekerjakan para pekerja untuk menanaminya. Apabila dia tidak mampu untuk mengusahakannya, maka dia akan dibantu oleh negara. Namun, apabila tanah tersebut tidak ditanami oleh pemiliknya, maka tanah tersebut akan diberikan kepada orang lain sebagai pemberian cuma-cuma, tanpa kompensasi apapun, sehingga dia menggarapnya. Apabila pemiliknya tidak menggarapnya dan tetap menguasainya, maka dibiarkan selama tiga tahun. Apabila tanah tersebut dibiarkan --tanpa dikelola-- selama tiga tahun, maka negara akan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya dan diberikan kepada yang lain.
Yunus menceritakan dari Muhammad Bin Ishaq dari Abdullah Bin Abu Bakar berkata: [1]"Bilal Bin Al Harits Al Muzni datang kepada Rasulullah SAW, lalu dia meminta sebidang tanah kepada beliau. Beliau lalu memberikan tanah tersebut dengan ukuran panjang dan lebar kepadanya."[1] Ketika Bilal dipimpin oleh khalifah Umar, dia (Umar) berkata kepadanya: [1]"Wahai Bilal, engkau telah meminta sebidang tanah yang panjang dan lebar kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau memberikannya kepadamu. Dan Rasulullah SAW tidak pernah menolak sama sekali untuk dimintai, sementara engkau tidak mampu (menggarap) tanah yang ada di tanganmu."[1] Bilal menjawab: [1]"Benar."[1] Umar berkata: [1]"Lihatlah, mana di antara tanah itu yang mampu kamu garap, maka milikilah. Dan mana yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami, dan kami akan membagikannya kepada kaum muslimin."[1] Bilal berkata: [1]"Demi Allah, aku tidak akan melakukan sama sekali dan memberikan apa yang diberikan oleh Rasulullah SAW."[1] Umar berkata: [1]"Demi Allah, engkau hendaknya benar-benar menggarapnya."[1] Kemudian Umar mengambil tanah yang tidak mampu dia garap dari Bilal, lalu dia membagikan kepada kaum muslimin. Hadits ini diriwayatkan oleh Yahya Bin Adam di dalam kitab Al Kharaj. Hadits ini tegas menjelaskan, bahwa apabila pemilik tanah tersebut tidak mampu menggarap tanahnya dan membiarkannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil oleh negara dari pemiliknya dan diberikan kepada orang lain, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar Bin Khattab kepada Bilal Al Muzni terhadap tambang yang dimiliki oleh kabilahnya --yang terletak di sebelah Fara' di daerah Hijaz.
Washasil, tanah itu bisa dimiliki dengan memagari (tahjir); bisa dengan diberikan secara cuma-cuma (iqtha') oleh khalifah; bisa juga dengan menghidupkannya; bisa dengan waris, dan bisa pula dengan dibeli. Sedangkan nash-nash yang menyebutkan tentang pencabutan tanah dari orang yang membiarkannya selama tiga tahun adalah nash-nash yang menyebut muhtajir dan orang yang diberi oleh khalifah dengan cuma-cuma, sementara nash-nash yang menyebutkan selain dua pemilik tanah tersebut tidak ada, misalnya orang yang menerima dari waris, atau orang yang menghidupkan, maupun orang yang membeli, apakah berarti tiap tanah yang dibiarkan oleh pemilik tanah selama tiga tahun tersebut, boleh diambil oleh khalifah kemudian diberikan kepada orang lain, ataukah pencabutan itu hanya berlaku bagi muhtajir dan orang yang diberi oleh khalifah dengan cuma-cuma?
Jawabnya adalah, bahwa orang yang memperhatikan muhajjir (baca: orang yang memagari) akan melihat bahwa pemagaran tanah tersebut statusnya sama dengan membeli, atau mewarisi, ataupun sebab-sebab yang lain. Jadi, dia telah memiliki tanah tersebut untuk dimanage dan dikuasai. Apabila orang yang memagari tadi menjual tanah yang telah dia pagari, maka dia berhak mendapatkan harga penjualannya. Sebab, hal itu adalah hak yang telah dikompensasikan dengan harta. Maka, diperbolehkan adanya kompensasi atas tanah tersebut. Apabila orang yang memagari tadi meninggal, maka pemilikan tanah tersebut akan berpindah kepada ahli warisnya, dan mereka bisa memanagenya, sebagaimana memanage pemilikan-pemilikannya yang lain. Dan tanah tersebut bisa dibagikan kepada mereka sesuai dengan ketentuan syara'. Begitu pula orang yang diberi tanah oleh khalifah dengan cuma-cuma.
Jadi, orang yang memagari dan orang yang mendapatkan tanah dengan cuma-cuma itu tidak mempunyai sifat khusus sama sekali, dan berbeda dengan pemilik-pemilik yang lain, sehingga pencabutan tanah yang dibiarkan selama tiga tahun itu khusus berlaku bagi mereka, bukan untuk para pemilik dengan sebab-sebab pemilikan tanah yang lain. Ataupun, dengan menjadikan orang yang memagari dan orang yang diberi dengan cuma-cuma tersebut sebagai qayyid (batasan) untuk mencabut tanah tersebut, apabila tanah tersebut telah dibiarkan selama tiga tahun.
Bahwa adanya nash yang menyatakan tentang kedua pemilikan tersebut, dan bukan tentang pemilikan yang lain itu tidak bisa difahami adanya makna qayyidiyah (makna yang menjadi batasan). Sebab, hal itu bukan merupakan sifat yang memberikan pemahaman agar mencabut dari orang yang membiarkan tanahnya semata-mata karena dia adalah orang yang memagari atau orang yang diberi dengan cuma-cuma. Tidak. Akan tetapi, hal itu menunjukkan adanya orang per orang secara mutlak. Artinya, wajib mencabut tanah dari pemiliknya, apabila dia membiarkannya. Sehingga nash tersebut bermakna umum. Sehingga, penyebutan orang yang memagari dan orang yang diberi dengan cuma-cuma itu adalah menyebut orang per orang, bukan sebagai qayyid (batasan) yang bisa mengeliminir selain kedua orang yang disebutkan tadi.
Disamping itu, apabila ada nash yang disampaikan berkaitan dengan kasus tertentu, maka harus diteliti terlebih dahulu: Apabila kasus tadi disampaikan dengan menyertakan illat, maka nash tersebut berlaku umum untuk hal-hal yang termasuk dalam illat tersebut. Nash tersebut juga bisa difahami illat-nya, yaitu pencabutan tanah setelah tiga tahun karena tanah tersebut dibiarkan, tidak dikelola. Jadi, membiarkan tanah tersebut selama tiga tahun itu merupakan illat pencabutannya.
Oleh karena itu, illat pencabutan tanah dari orang yang memagarinya adalah karena orang yang bersangkutan telah membiarkannya selama tiga tahun. Bukan karena orang yang bersangkutan adalah orang yang memagari, juga bukan karena dia adalah orang yang memagari dus membiarkannya. Sebab, pemagaran tanah tersebut tidak menunjukkan illat pencabutannya; baik dia terlepas ataupun terkait dengan pengabaian tanah tadi. Akan tetapi, pengabaian tanah itu hanyalah illat pencabutannya. Sehingga pengabaian tanah tadi menjadi illat yang akan berputar bersama ma'lul (yang dikenai illat), baik ada dan tidaknya hukum karena illat-nya. Apabila pemilik tanah tersebut mengabaikan tanahnya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan dicabut dari yang bersangkutan, baik tanah tersebut asalnya dia dapatkan karena memagarinya, atau diberi dengan cuma-cuma, dengan waris, ataupun dengan cara-cara lain. Apabila orang yang memagari tadi tidak membiarkannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut tidak akan diambil dari yang bersangkutan.
Lebih-lebih ihtijar (baca: pemagaran tanah) dalam pernyataan Umar: [1]"Tidaklah ada hak bagi muhtajir (orang yang memagari)."[1] itu adalah kinayah (makna kiasan) tentang pemilikan tanah tersebut. Sebab tradisi yang terjadi ketika itu adalah, bahwa biasanya pemilik tanah selalu memagari tanahnya, atau memagari batas-batas tanahnya dengan batu, agar diketahui bahwa tanah tersebut adalah hak miliknya, serta untuk membedakan dengan hak milik orang lain.
Sedangkan untuk bisa disebut sebagai muhtajir tidak harus meletakkan batu, tetapi kalau orang yang bersangkutan menancapkan tanaman, atau pohon pada batas-batas tanah tersebut, atau menggali batas-batasnya, atau melakukan kegiatan apapun yang menunjukkan bahwa tanah tersebut telah menjadi hak miliknya, maka semuanya tetap bisa disebut ihtijar sedangkan orang yang melakukannya disebut muhtajir. Oleh karena itu, di dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: [1]"Siapa saja yang memagari sebidang tanah dengan pagar..."[1] (H.R. Abu Dawud) serta hadits-hadits yang menjelaskan tentang ihtijarul ardhi (pemagaran tanah) sebagai kinayah tentang pemilikan tanah, itu menunjukkan bahwa makna kata ihtajara tadi adalah makna bahasa. Menurut bahasa, ihtajara as syai'a berarti wadh'ahu fi hijrihi adalah meletakkan sesuatu di dalam pangkuannya atau hadhanahu, merawatnya. Ihtajara al ardha maknanya hadhanaha dalam arti memilikinya. Jadi, makna hadits di atas adalah orang yang merawat sebidang tanah, atau orang yang memilikinya tidak lagi berhak atas tanah tersebut setelah --tanah tersebut dibiarkan-- selama tiga tahun, baik pada batas-batasnya diberi batu atau dipagari dengan pagar, atau apa saja yang bisa menunjukkan tanda-tanda pemilikan atas tanah tersebut.
Ini berkaitan dengan nash di atas. Sedangkan yang terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh Umar, lalu sahabat-sahabat yang lain mendiamkannya, adalah Umar telah memberikan putusan tanah --yang telah diberikan oleh Rasulullah SAW kepada Muzayyinah dan dikelola oleh orang lain-- untuk orang yang mengelolanya, serta melarang Muzayyinah untuk mengambilnya. Umar mengatakan: [1]"Siapa saja yang membiarkan sebidang tanah selama tiga tahun tidak dikelola, kemudian ada orang lain mengelolanya, maka tanah itu adalah milik orang tersebut."[1] Pernyataan Umar ini maknanya umum, karena dia mengatakan: [1]"Siapa saja yang membiarkan sebidang tanah."[1] Dia mengatakan kepada Bilal Bin Al Harits Al Muzni: [1]"Bahwa Rasulullah SAW tidak memberikan (lembah) itu kepadamu untuk kamu pagari agar orang-orang tidak bisa mengambilnya, akan tetapi beliau memberikan kepadamu agar kamu menggarapnya. Maka, ambillah dari tanah tersebut yang sanggup kamu kelola, dan yang lain kamu kembalikan."[1] Riwayat ini disampaikan oleh Abu Ubaidah di dalam kitab Al Amwal. Kemudian Umar betul-betul mengambil tanah yang tidak sanggup digarap oleh Bilal. Sehingga pen-takhshis-an kasus tersebut untuk tanah yang diberikan dengan cuma-cuma saja --sementara tidak ada mukhashis (dalil yang mengkhususkan)-- tentu tidak diperbolehkan, akan tetapi maknanya tetap bersifat umum. Adapun kasus yang terjadi pada orang yang diberi dengan cuma-cuma itu adalah gambaran tentang suatu realitas, bukan sebagai qayyid (batasan) kasus ini.
Jadi, tiap pemilik tanah yang membiarkan tanahnya selama tiga tahun, maka tanahnya akan dicabut dan diberikan kepada orang lain, dari mana pun asal pemilikan tanah tersebut. Hal ini tidak bisa dianggap telah mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Karena syara' telah menentukan pemilikan tanah tersebut mempunyai makna yang berbeda dengan makna pemilikan harta bergerak, dus berbeda dengan makna pemilikan harta tetap. Sebab, syara' telah menjadikan pemilikan atas tanah tersebut adalah untuk ditanami. Jadi, apabila tanah tersebut dibiarkan dalam batas waktu yang telah ditentukan oleh syara', maka makna pemilikan atas tanah tersebut hilang dari pemiliknya. Dan syara' telah menentukan pemilikan atas tanah untuk ditanami tersebut dengan cara dikelola. Sedangkan untuk memilikinya bisa dengan diberi secara cuma-cuma, waris, membeli dan sebagainya. Kemudian tanah tersebut akan terlepas dari pemiliknya, apabila tanah tersebut dibiarkan. Semuanya itu adalah agar tanah tersebut selalu ditanami dan dikelola secara optimal.
Monday, May 21, 2007
Memanage Tanah
Posted by Harist al Jawi at 10:54 AM
Labels: Artikel Ekonomi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment