Monday, May 21, 2007

MELIHAT WANITA

MELIHAT WANITA

Siapa saja yang ingin menikahi seorang wanita, maka ia boleh melihat wanita itu dengan syarat tidak berkhalwat dengannya. Jabir telah meriwayatkan bahwasanya Rasu­lullah saw pernah bersabda:

"Apabila salah seorang diantara kalian ingin melamar seorang wanita, maka jika ia mampu melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah." Lalu Jabir berkata: "Kemudian aku melamar seorang wanita yang sebelumnya aku sering mengintipnya hingga melihat keadaan­nya yang mendorong diriki untuk menikahinya."

Ia diperbolehkan melihat wanita itu, baik dengan seizinnya ataupun tidak, karena Nabi saw telah memerintahkan kita untuk melihat secara mutlak. Juga dalam hadits Jabir di atas terdapat lafadz ''yang sebelumnya aku sering mengin­tipnya''. Namun demikian ia tidak boleh berkhalwat dengan wanita itu. Sebab, Rasulullah saw bersabda:

"Siapa yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Kemudian maka janganlah sekali-kali berkhalawat dengan seorang wanita yang tidak disertai muhrimnya, karena yang ketiga diantara mereka adalah setan."

Hadits ini adalah umum, tidak ada pengecualian dalam hal ini termasuk terhadap pelamar, sebagaimana halnya penge­cualian dalam hal melihat wanita.

Ia diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita itu, maupun selain wajah dan dua telapak tangannya. Sebab, kebolehan melihat wajah dan dua telapak tangan wanita adalah umum mencakup pelamar maupun yang bukan. Dengan adanya pengecualian bagi para pelamar, maka penge­cualian tersebut tidak ada lain selain menunjukkan kebole­han melihat selain wajah dan telapak tangan. Juga, karena Rasulullah saw pernah bersabda:

"Hendaklah ia melihat kepadanya"

Bentuk dari kalimat ini adalah umum mencakup baik wajah dan kedua telapak tangan, maupun selain dari pada itu dari bagian-bagian tubuh yang lazim untuk diketahui, dengan maksud mengetahuinya untuk tujuan menikah, sehingga ia melamarnya.
Selain dari itu Allah SWT telah memerintahkan kaum mu'mi­nin untuk menahan pandangan. Sedangkan menahan pandangan berarti tidak adanya unsur kesengajaan baik dari pihak laki-laki terhadap wanita maupun sebaliknya. Lalu datan­glah hadits Jabir dengan membolehkan bagi pelamar untuk melihat secara sengaja terhadap wanita. Maka hadits ini berarti pengecualian terhadap menahan pandangan. Dengan kata lain kaum mu'minin diwajibkan untuk menahan pandan­gan, kecuali bagi para pelamar. Sebab, mereka diperboleh­kan untuk tidak menahan pandangannya terhadap wanita yang ingin dilamarnya.

Suami-isteri masing-masing diperbolehkan melihat seluruh tubuh pasangannya, berdasarkan hadits yang diri­wayatkan oleh Bahz Ibnu Hakim yang berasal dari Bapaknya, lalu dari Kakeknya, ia berkata:

"Aku pernah bertanya: 'Wahai Rasulullah saw manakah bagian aurat kami yang harus kami tutupi dan mana yang boleh kami biarkan?' Rasulullah bersabda kepadaku: 'Jagalah auratmu kecuali terhadap isterimu atau terhadap hamba sahayamu."

Laki-laki diperbolehkan melihat wanita yang termasuk muhrimnya, baik muslimah maupun bukan, lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangannya dari bagian-bagian tubuh yang menjadi tempat melekatnya perhiasan, tanpa dibatasi bagian-bagian tubuh tertentu, karena adanya nash yang membolehkannya dan bersifat mutlak. Allah berfirman SWT:

"(Dan) Janganlah para wanita itu menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita." (An Nuur: 31)

Orang-orang yang telah disebutkan dalam ayat, seluruhnya diperbolehkan melihat wanita mulai dari rambut, leher, pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan bagian-bagian lain yang lazim menjadi temppat melekatkan perhiasan. Sebab, Allah SWT berfirman ''Walaa Yubdiina ziinatahun­na'' maksudnya adalah tempat-tempat melekatkan perhiasan­nya, kecuali terhadap orang-orang yang telah disebutkan dalam ayat. Sebab, mereka inilah yang boleh melihat apa yang nampak pada saat berpakaian kerja, yaitu ketika wanita dalam keadaan membuka baju luarnya.Imam Syafi'i dalam musnadnya meriwayatkan dari Zainab binti Abi Sala­mah:

"Bahwasanya ia (Zainab) pernah disusui Asma isteri Zubeir. Lalu ia berkata: Maka aku menganggapnya (Zubeir) sebagai bapak. Pernah ia masuk sedangkan aku sedang menyisir rambutku, bahkan kemudian memegang sebagian ikatan rambut­ku, lalu ia pun berkata: menghadaplah kepadaku."

Diriwayatkan pula bahwasanya Abu Sufyan pernah masuk rumah anaknya, yaitu Ummu Habibah yang menjadi isteri Rasulullah saw, ketika memerlukan datang ke Madinah untuk memperbaha­rui perjanjian Hudaibiah, maka serta merta Ummu Habibah menggulung tikar Rasulullah saw agar Abu Sufyan tidak mendudukinya, pada saat itu Ummu Habibah tidak berhijab. Dan semua itu ia ceritakan kepada Rasulullah saw, dan ternyata belia pun menyetujuinya dan tidak memerintahkan­nya untuk memakai hijab meskipun Abu Sufyan seorang musy­rik, akan tetapi ia adalah muhrimnya.
Adapun selain muhrim, pelamar dan suami maka dalam hal ini dipertimbankan, apabila memang ada keperluan untuk meli­hatnya, baik laki-laki melihat wanita atau sebaliknya, maka ia boleh melihat sebatas bagian tubuh yang diperlu­kan. Ia tidak diperbolehkan melihat bagian-bagian tubuh lain selain wajah dan kedua telapak tangan. Orang-orang yang dapat melakukan hal ini adalah dokter, paramedis, pemeriksa atau yang terdesak keperluan harus melihat bagian tubuh itu, baik termasuk aurat maupun bukan. Diri­wayatkan bahwasanya Nabi saw ketika mengangkat Sa'ad sebagai hakim (untuk kalangan) Bani Quraidhah, beliau memerintahkan menyingkap penutup tubuh mereka."

Sebuah riwayat dari Utsman, bahwasanya pernah suatu kali dihadapkan kepada beliau seorang anak kecil yang mencuri. Maka beliau berkata: "Periksalah sarung yang melekat tubuhnya, maka mereka mendapatinya belum tumbuh rambut, maka beliau pun tidak memotongnya.(?) Apa yang dilakukan oleh Utsman ini dilihat dan didengar oleh para shahabat dan tidak seorang pun diantara mereka mengingkarinya.

Lain halnya apabila tidak ada suatu kebutuhan, dan dilaku­kan oleh orang yang bukan muhrim tetapi tidak memiliki keinginan terhadap wanita, bagi mereka diperbolehkan untuk melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita, namun diharamkan atas mereka melihat selebihnya. Aisyah ra telah menceritakan bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata:

"Wahai asma sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini. sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya."

Di dalam Al Quran Allah SWT telah mengecualikan wajah dan telapak tangan dari larangan untuk menampakkan apa yang menjadi perhiasan dari anggota tubuh wanita. Firman Allah SWT:

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya." (QS An Nuur: 31)

Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai wajah dan dua telapak tangan. Dengan demikian larangan untuk kaum wanita menam­pakkan perhiasannya adalah larangan untuk menampakkan auratnya. Larangan untuk menampakkannya menunjukkan kepastian tentang larangan melihat apa yang terlarang bagi wanita untuk menampakkannya. Sedangkan pengecualian atas apa yang nampak dari apa yang dilarang untuk ditampakkan merupakan pengecualian atas larangan melihatnya, dengan kata lain dibolehkan melihatnya. Bagi laki-laki yang bukan muhrim diperbolehkan memandang wajah dan dua telapak tangan wanita yang bukan muhrimnya dengan pandangan yang memungkinkan ia mengetahui si wanita tersebut dengan mata kepalanya sendiri agar menjadi saksi atasnya apabila diperlukan penyaksian, dan ia akan kembali menemuinya apabila melakukan aktifitas dalam jual beli atau aqad upah terhadap buruh/pegawai, agar ia meyakini wanita tersebut apabila ia memberi hutang dan menunaikan pembayaran hu­tangnya atau ada wanita lain yang menyerupainya dan seba­gainya. Demikian pula halnya bagi seorang wanita diperbo­lehkan melihat laki-laki selain auratnya, sebagaiman yang diriwayatkan dari Aisyah yang berkata:

"Adalah Rasulullah saw. menutupiku dengan kainnya sedang­kan (waktu itu) saya melihat orang-orang Habsyah bermain (pedang) di Masjid."

Pada saat Rasulullah saw. selesai berkhutbah di hari Raya:

"Beliau mendatangi kaum wanita, sementara di kalangan wanita menyebutkan bahwa beliau disertai Bilal. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah."

Hal ini menjelaskan persetujuan Rasulullah saw. atas kaum wanita yang melihat laki-laki. Adapun memandang selain aurat maka sesungguhnya pandangan Aisyar ra terhadap orang-orang Habsyah sementara mereka bermain (pedang) menunjukkan bahwasanya Aisyah melihat mereka atas seluruh apa yang nampak dari mereka kecuali aurat. Tidak terdapat taqyid/syarat yang mengikat dalam pandangan, akan tetapi dibiarkan bersifat mutlak. Sebab Amru bin Syuaib meriway­atkan dari bapaknya, dari kakeknya yang berkata telah bersabda Rasulullah saw.:

"Apabila diantara kamu menikahkan pembantu, budak atau buruhmu maka janganlah kamu melihat kecuali apa yang selain antara pusat dan diatas lututnya, karena (daerah) itu adalah aurat."

Dari hadits ini dipahami kebolehan melihat selain dari kedua batas itu. Kebolehan ini bersifat mutlak mencakup laki-laki dan wanita. Adapun apa yang diriwayatkan dari Ummu Salmah yang berkata:

"Aku pernah duduk di samping Nabi saw dan Hafshah, lalu datanglah Ibnu Maktum meminta ijin. Kemudian Nabi saw memerintahkan kami mengenakan hijab. Aku bertanya kepada beliau: 'Wahai Rasulullah dia itu buta, tidak dapat meli­hat.' Maka beliau bersabda: Apakah kalian berdua yang buta dan tidak melihatnya?'.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan yang lainnya dari riwayat Nabhan. Imam Nasa'i berkata: 'Kami tidak mengetahui riwayat dari Nabhan kecuali dari Zahri. Imam Ibnu Abbdilbarr berkata: 'Nabhan adalah majhul, tidak diketahui suatu riwayat kecuali Zahri mengenai hadits ini'. Riwayat yang majhul maka haditsnya Dla'if dan tidak bisa dijadikan hujjah. Sedangkan apa yang diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah bahwasanya ia berkata:

"Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pan­dangan yang tiba-tiba, maka ia menyuruhku untuk memaling­kan pandanganku."

Dan apa yang diriwayatkan dari Ali ra seraya berkata bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda kepadanya:

"Janganlah kamu mengikuti pandangan yang pertama dengan pandangan yang kedua, pandangan yang pertama adalah untuk­mu sedangkan pandangan berikutnya bukanlah untukmu."

Hadits ini adalah pandangan laki-laki terhadap wanita dan bukan pandangan wanita terhadap laki-laki. Maksud hadits yang pertama adalah pandangan kepada salain wajah dan kedua telapak tangan dengan alasan kebolehan melihat keduanya. Sedangkan dalam hadits yang kedua terdapat larangan untuk mengulang-ulang memandang yang dapat menye­babkan munculnya syahwat, akan teetapi bukan larangan untuk memandang.
Mengenai firman Allah SWT:

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: 'hendak­lah mereka menahan pandangannya." (QS An Nur: 30)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah menundukkan pandangan terhadap apa yang diharamkan dan membatasi/pengecualian terhadap apa yang dihalalkan. Jadi bukan sama sekali menundukkan pandangan dengan alasan bahwasanya Syari' telah menjelaskan bagi para muhrim diperbolehkan melihat rambut, dada, payudara, anggota tubuh, betis dan kakinya, sedangkan bagi yang bukan muhrim diperbolehkan melihat wajah dan dua telapak tangan, sebab menundukkan pandangan adalah merendahkannya. Di dalam kamus diartikan sebagai: (------------------------)
Dari penjelasan ini menunjukkan kebolehan bagi laki-laki memandang wanita atau sebaliknya wanita memandang laki-laki, kecuali auratnya dengan maksud bukan untuk mendapt­kan kenikmatan. Aurat laki-laki adalah apa yang berada di antara pusat dan lututnya, sedangkan aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Punggungnya adalah aurat, rambutnya juga aurat meskipun cuma selembar, bagi orang yang bukan muhrim rambut wanita dilihat dari sisi manapun adalah aurat. Seluruh (tubuh) apa yang dikecualikan, berupa wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nur: 31)
Yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi saw sedangakan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah saw., yaitu di masa masih turunnya ayat Al Quran. Di samping itu terdapat alasan lain yang menun­jukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecua­li wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah saw.:

"(Seluruh tubuh) wanita itu adalah aurat."

"Apabila seorang wanita telah baligh maka tidak boleh ia menampakkan (tubuhnya) kecuali wajahnya dan selain ini digenggamnya antara telapak tangan yang satu dengan geng­gaman terhadap telapak tangan yang lainnya."

Nabi saw berkata kepada Asma binti Abu Bakar:

"Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak pantas baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya."

Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasa­nya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwjibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
Adapun dengan apa menutupinya, maka disini syara tidak menentukan (bentuk/model) pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi dibiarkan mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firmanNya:
(-------------------------------------) yaitu tidak menampakkan aurat. Sedangkan lafadz-lafadz (------------), (------------) dan (-------------------) yaitu pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi walau bagaima­napun bentuknya. Dengan mengenakan kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celanan panjang, rok dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oelha syara. Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penut­up bagi aurat secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis maupun macamnya.
Namun demikian Syari' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dapat menutupi kulit luar. Maka diwa­jibkan untuk menutupi kulit luar, atau kulit, baik yang berwarna putih, merah, coklat atau hitam dan lain-lain, dengan kata lain kain penutup itu harus menutupi warna kulit sehingga warnanya tidak diketahui. Jika tidak demikian maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat. Dan menampakkan warna kulit itu dianggap tidak menutup aurat, karena secara syara menutup tidak sempurna, kecuali menutupi kulit berikut warnanya. Mengenai dalil bahwasanya Syar'i telah mewajibkan menutupi kulit luar atau menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya sebagaimana yang diri­wayatkan dari Aisyah ra bahwasanya Ama binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda:

"Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini."
Maka Rasulullah saw. menganggap dengan tipisnya kain itu tidak dianggap menutupi aurat, amlah dianggap menyingkap­kan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi . Alasan mengenai masalah ini juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis maka dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:

"Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya."

Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwa­sanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda: "Suruhlah ister­imu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis." Sedangkan 'illatnya adalah sabda belau "sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya"., yaitu sebagaiman acermin yang memantulkan sesuatu yang ada dibelakannya, dengan kata lain khawatir kalau-kalau nampak warna kulit tubuhnya. Sebab lafadz (-----------) memiliki makna menggambarkan dan menampakkan apa yang ada di balik itu, atau menampakkan apa yang ada di belakanya seperti halnya cermin yang memantulkan apa yang ada di hadapannya. Lafadz (-----------) berasal dair kata (_-----). Dan tidak bisa dikatakan (-------------) kecuali tampak 'te­rgambar' di hadapannya, bukan dengan kata (-----). Jadi khawatir akan tergambar lekuk daging tubuhnya, maka yang dimaksud adalah warnanya bukan bentuknya. Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya Syari' telah mensyaratkan apa yang harus ditut­up, yaitu kain yang dapat menutupi kulit dan tidak tergam­bar di baliknya. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis yaitu tidak tergambar apa yang ada di belakang maupun depannya.
Inilah topik mengenai pentutp aurat, dan topik ini tidak layak disamakan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan juga bukan memamerkan sebagaian dari pakaian-pakaian itu. Di sini tidak berarti pula bahwa jika telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat maka dibolehkan bagi wanita yang mengenakan pakaian itu berjalan di jala­nan umum. Sebab untuk berjalan di jalanan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara. Jadi tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misal­nya celana panjang yang tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat. Dengan demikian tidak layak mengenakan pakaian jenis itu dalam kehidupan umum, yaitu tidak boleh mengena­kan pakaian dalam rumah di jalanan umum, karena untuk keadaan seperti di jalanan umum terdapat pakaian tertentu yang diwajibkan syara untuk memakainya. Apabila berten­tangan dengan perintah syara, dan mengenakan pakaian yang jenisnya bertentangan dengan apa yang telah ditentukan syara berarti terjerumus dalam dosa, karena telah menga­baikan salah satu kewajiban dari berbagai kewajiban syara. Oleh karena itu tidak boleh mencampurkan topik penutup aurat dengan topik pakaian wanita dalam kehidupan umum. Begitu pula tidak boleh mencampuradukkan topik pakaian wanita dalam kehidupan umum. Begitu pula tidak boleh mencampuradukkan topik menutupi aurat dengan topik tabar­ruj. Maka mengenakan celana panjang yang dapat menutupi aurat meskipun tidak tipis tidak berarti kemudian boleh dipakai dihadapan laki-laki yang bukan muhrim sementara ia menampakkan kecantikannya dan membuka perhiasannya. Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara, kendati si wanita itu menutupi auratnya. Keberadaan seorang wanita yang telah menutupi auratnya bekanlah berarti dengan keadaannya yang sudah menutupi aurat tidak dianggap tabarruj. Berdasarkan hal ini maka tidak boleh mencampurkan topik menutupi aurat dengan topik tabarruj, karena keduanya berlainan.
Adapun pakaian wanita dalam kehidupan umum yaitu pakaian mereka di jalanan umum atau di pasar-pasar, maka Syari' telah mewajibkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian luar apabila keluar (rumah) menuju pasar-pasar atau berja­lan di jalanan umum. Diwajibkan atas mereka mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) yang dikenakan di bagian luar (pakaian dalamnya) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Apabila ia tidak memiliki­nya hendaklah ia meminjam kepda tetangganya, temannya atau kerabatnya. Jika ia tidak mampu meminjam atau tidak dipinjamkan maka tidak dibenarkan ia keluar (rumah) tanpa kain tersebut. Bila ia keluar tanpa mengenakan pakaian luar maka ia berdosa karena telah mengabaikan salah satu dari kewajiban yang diperintahkan Allah SWT terhadap mereka. ini dilihat dari jenis pakaian bawah maupun atas dari wanita maka harus mengenakan kerudung atau apa saja yang serupa dan berfungsi seperti pakaian untuk menutupi seluruh kepala, punggung dan ujung kain ini di atas dada. Pakaian jenis ini yang khusus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum, dengan kata lain pakaian yang layak untuk kehidupan umum. Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini dibo­lehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka tidak boleh keluar dalam keadaan apapun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, maka tetap dalam keumuman­nya dalam seluruh keadaan. Karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini karena firman Allah SWT mengenai pakaian (bagian) atas.

"Hendaklah mereka mentutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nur: 31)

Dan firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah:

"Wahai Nabi saw katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: 'Hendak­lah mereka mengulurkan jilbabnya." (QS Al Ahzab: 59)

Diriwayatkan dari Ummu 'Athiah yang berkata:

"Rasulullah saw. memerintahkan kami agar keluar (menuju lapangan) pada saat hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adlha, baik ia budak wanita, wanita yang haidl, maupun yang perawn. Adapun bagi orang-orang yang haidl maka menjauh dari tempat shalat, namun menyaksikan kebaikan dan seruan kaum muslimin. Lalu aku berkata: Wahai Rasulullah saw. salah seorang di antara kami tidak memiliki jilab. Maka Rasulullah saw. menjawab: 'Hendaklah saudaranya itu meinjamkan jilbabnya."

Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dengan dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Mengenai pakaian wanita di bagian atas Allah SWT berfirman:
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya." (QS An Nur: 31)

Yang dimaksud hendaknya wanita itu menghamparkan kain penutup kepalanya di atas leher dan dadanya agar leher dan dadanya tersembunyi dari lipatan pakaian dalam dan pakaian luarnya. MELIHAT WANITA

Siapa saja yang ingin menikahi seorang wanita, maka ia boleh melihat wanita itu dengan syarat tidak berkhal­wat dengannya. Jabir telah meriwayatkan bahwasanya Rasu­lullah saw pernah bersabda:

"Apabila salah seorang diantara kalian ingin melamar seorang wanita, maka jika ia mampu melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah." Lalu Jabir berkata: "Kemudian aku melamar seorang wanita yang sebelumnya aku sering mengintipnya hingga melihat keadaan­nya yang mendorong diriki untuk menikahinya."

Ia diperbolehkan melihat wanita itu, baik dengan seizinnya ataupun tidak, karena Nabi saw telah memerintahkan kita untuk melihat secara mutlak. Juga dalam hadits Jabir di atas terdapat lafadz ''yang sebelumnya aku sering mengin­tipnya''. Namun demikian ia tidak boleh berkhalwat dengan wanita itu. Sebab, Rasulullah saw bersabda:

"Siapa yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Kemudian maka janganlah sekali-kali berkhalawat dengan seorang wanita yang tidak disertai muhrimnya, karena yang ketiga diantara mereka adalah setan."

Hadits ini adalah umum, tidak ada pengecualian dalam hal ini termasuk terhadap pelamar, sebagaimana halnya penge­cualian dalam hal melihat wanita.

Ia diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita itu, maupun selain wajah dan dua telapak tangannya. Sebab, kebolehan melihat wajah dan dua telapak tangan wanita adalah umum mencakup pelamar maupun yang bukan. Dengan adanya pengecualian bagi para pelamar, maka penge­cualian tersebut tidak ada lain selain menunjukkan kebole­han melihat selain wajah dan telapak tangan. Juga, karena Rasulullah saw pernah bersabda:

"Hendaklah ia melihat kepadanya"

Bentuk dari kalimat ini adalah umum mencakup baik wajah dan kedua telapak tangan, maupun selain dari pada itu dari bagian-bagian tubuh yang lazim untuk diketahui, dengan maksud mengetahuinya untuk tujuan menikah, sehingga ia melamarnya.
Selain dari itu Allah SWT telah memerintahkan kaum mu'mi­nin untuk menahan pandangan. Sedangkan menahan pandangan berarti tidak adanya unsur kesengajaan baik dari pihak laki-laki terhadap wanita maupun sebaliknya. Lalu datan­glah hadits Jabir dengan membolehkan bagi pelamar untuk melihat secara sengaja terhadap wanita. Maka hadits ini berarti pengecualian terhadap menahan pandangan. Dengan kata lain kaum mu'minin diwajibkan untuk menahan pandan­gan, kecuali bagi para pelamar. Sebab, mereka diperboleh­kan untuk tidak menahan pandangannya terhadap wanita yang ingin dilamarnya.

Suami-isteri masing-masing diperbolehkan melihat seluruh tubuh pasangannya, berdasarkan hadits yang diri­wayatkan oleh Bahz Ibnu Hakim yang berasal dari Bapaknya, lalu dari Kakeknya, ia berkata:

"Aku pernah bertanya: 'Wahai Rasulullah saw manakah bagian aurat kami yang harus kami tutupi dan mana yang boleh kami biarkan?' Rasulullah bersabda kepadaku: 'Jagalah auratmu kecuali terhadap isterimu atau terhadap hamba sahayamu."

Laki-laki diperbolehkan melihat wanita yang termasuk muhrimnya, baik muslimah maupun bukan, lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangannya dari bagian-bagian tubuh yang menjadi tempat melekatnya perhiasan, tanpa dibatasi bagian-bagian tubuh tertentu, karena adanya nash yang membolehkannya dan bersifat mutlak. Allah berfirman SWT:

"(Dan) Janganlah para wanita itu menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita." (An Nuur: 31)

Orang-orang yang telah disebutkan dalam ayat, seluruhnya diperbolehkan melihat wanita mulai dari rambut, leher, pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan bagian-bagian lain yang lazim menjadi temppat melekatkan perhiasan. Sebab, Allah SWT berfirman ''Walaa Yubdiina ziinatahun­na'' maksudnya adalah tempat-tempat melekatkan perhiasan­nya, kecuali terhadap orang-orang yang telah disebutkan dalam ayat. Sebab, mereka inilah yang boleh melihat apa yang nampak pada saat berpakaian kerja, yaitu ketika wanita dalam keadaan membuka baju luarnya.Imam Syafi'i dalam musnadnya meriwayatkan dari Zainab binti Abi Sala­mah:

"Bahwasanya ia (Zainab) pernah disusui Asma isteri Zubeir. Lalu ia berkata: Maka aku menganggapnya (Zubeir) sebagai bapak. Pernah ia masuk sedangkan aku sedang menyisir rambutku, bahkan kemudian memegang sebagian ikatan rambut­ku, lalu ia pun berkata: menghadaplah kepadaku."

Diriwayatkan pula bahwasanya Abu Sufyan pernah masuk rumah anaknya, yaitu Ummu Habibah yang menjadi isteri Rasulullah saw, ketika memerlukan datang ke Madinah untuk memperbaha­rui perjanjian Hudaibiah, maka serta merta Ummu Habibah menggulung tikar Rasulullah saw agar Abu Sufyan tidak mendudukinya, pada saat itu Ummu Habibah tidak berhijab. Dan semua itu ia ceritakan kepada Rasulullah saw, dan ternyata belia pun menyetujuinya dan tidak memerintahkan­nya untuk memakai hijab meskipun Abu Sufyan seorang musy­rik, akan tetapi ia adalah muhrimnya.
Adapun selain muhrim, pelamar dan suami maka dalam hal ini dipertimbankan, apabila memang ada keperluan untuk meli­hatnya, baik laki-laki melihat wanita atau sebaliknya, maka ia boleh melihat sebatas bagian tubuh yang diperlu­kan. Ia tidak diperbolehkan melihat bagian-bagian tubuh lain selain wajah dan kedua telapak tangan. Orang-orang yang dapat melakukan hal ini adalah dokter, paramedis, pemeriksa atau yang terdesak keperluan harus melihat bagian tubuh itu, baik termasuk aurat maupun bukan. Diri­wayatkan bahwasanya Nabi saw ketika mengangkat Sa'ad sebagai hakim (untuk kalangan) Bani Quraidhah, beliau memerintahkan menyingkap penutup tubuh mereka."

Sebuah riwayat dari Utsman, bahwasanya pernah suatu kali dihadapkan kepada beliau seorang anak kecil yang mencuri. Maka beliau berkata: "Periksalah sarung yang melekat tubuhnya, maka mereka mendapatinya belum tumbuh rambut, maka beliau pun tidak memotongnya.(?) Apa yang dilakukan oleh Utsman ini dilihat dan didengar oleh para shahabat dan tidak seorang pun diantara mereka mengingkarinya.

Lain halnya apabila tidak ada suatu kebutuhan, dan dilaku­kan oleh orang yang bukan muhrim tetapi tidak memiliki keinginan terhadap wanita, bagi mereka diperbolehkan untuk melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita, namun diharamkan atas mereka melihat selebihnya. Aisyah ra telah menceritakan bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata:

"Wahai asma sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini. sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya."

Di dalam Al Quran Allah SWT telah mengecualikan wajah dan telapak tangan dari larangan untuk menampakkan apa yang menjadi perhiasan dari anggota tubuh wanita. Firman Allah SWT:

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya." (QS An Nuur: 31)

Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai wajah dan dua telapak tangan. Dengan demikian larangan untuk kaum wanita menam­pakkan perhiasannya adalah larangan untuk menampakkan auratnya. Larangan untuk menampakkannya menunjukkan kepastian tentang larangan melihat apa yang terlarang bagi wanita untuk menampakkannya. Sedangkan pengecualian atas apa yang nampak dari apa yang dilarang untuk ditampakkan merupakan pengecualian atas larangan melihatnya, dengan kata lain dibolehkan melihatnya. Bagi laki-laki yang bukan muhrim diperbolehkan memandang wajah dan dua telapak tangan wanita yang bukan muhrimnya dengan pandangan yang memungkinkan ia mengetahui si wanita tersebut dengan mata kepalanya sendiri agar menjadi saksi atasnya apabila diperlukan penyaksian, dan ia akan kembali menemuinya apabila melakukan aktifitas dalam jual beli atau aqad upah terhadap buruh/pegawai, agar ia meyakini wanita tersebut apabila ia memberi hutang dan menunaikan pembayaran hu­tangnya atau ada wanita lain yang menyerupainya dan seba­gainya. Demikian pula halnya bagi seorang wanita diperbo­lehkan melihat laki-laki selain auratnya, sebagaiman yang diriwayatkan dari Aisyah yang berkata:

"Adalah Rasulullah saw. menutupiku dengan kainnya sedang­kan (waktu itu) saya melihat orang-orang Habsyah bermain (pedang) di Masjid."

Pada saat Rasulullah saw. selesai berkhutbah di hari Raya:

"Beliau mendatangi kaum wanita, sementara di kalangan wanita menyebutkan bahwa beliau disertai Bilal. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah."

Hal ini menjelaskan persetujuan Rasulullah saw. atas kaum wanita yang melihat laki-laki. Adapun memandang selain aurat maka sesungguhnya pandangan Aisyar ra terhadap orang-orang Habsyah sementara mereka bermain (pedang) menunjukkan bahwasanya Aisyah melihat mereka atas seluruh apa yang nampak dari mereka kecuali aurat. Tidak terdapat taqyid/syarat yang mengikat dalam pandangan, akan tetapi dibiarkan bersifat mutlak. Sebab Amru bin Syuaib meriway­atkan dari bapaknya, dari kakeknya yang berkata telah bersabda Rasulullah saw.:

"Apabila diantara kamu menikahkan pembantu, budak atau buruhmu maka janganlah kamu melihat kecuali apa yang selain antara pusat dan diatas lututnya, karena (daerah) itu adalah aurat."

Dari hadits ini dipahami kebolehan melihat selain dari kedua batas itu. Kebolehan ini bersifat mutlak mencakup laki-laki dan wanita. Adapun apa yang diriwayatkan dari Ummu Salmah yang berkata:

"Aku pernah duduk di samping Nabi saw dan Hafshah, lalu datanglah Ibnu Maktum meminta ijin. Kemudian Nabi saw memerintahkan kami mengenakan hijab. Aku bertanya kepada beliau: 'Wahai Rasulullah dia itu buta, tidak dapat meli­hat.' Maka beliau bersabda: Apakah kalian berdua yang buta dan tidak melihatnya?'.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan yang lainnya dari riwayat Nabhan. Imam Nasa'i berkata: 'Kami tidak mengetahui riwayat dari Nabhan kecuali dari Zahri. Imam Ibnu Abbdilbarr berkata: 'Nabhan adalah majhul, tidak diketahui suatu riwayat kecuali Zahri mengenai hadits ini'. Riwayat yang majhul maka haditsnya Dla'if dan tidak bisa dijadikan hujjah. Sedangkan apa yang diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah bahwasanya ia berkata:

"Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pan­dangan yang tiba-tiba, maka ia menyuruhku untuk memaling­kan pandanganku."

Dan apa yang diriwayatkan dari Ali ra seraya berkata bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda kepadanya:

"Janganlah kamu mengikuti pandangan yang pertama dengan pandangan yang kedua, pandangan yang pertama adalah untuk­mu sedangkan pandangan berikutnya bukanlah untukmu."

Hadits ini adalah pandangan laki-laki terhadap wanita dan bukan pandangan wanita terhadap laki-laki. Maksud hadits yang pertama adalah pandangan kepada salain wajah dan kedua telapak tangan dengan alasan kebolehan melihat keduanya. Sedangkan dalam hadits yang kedua terdapat larangan untuk mengulang-ulang memandang yang dapat menye­babkan munculnya syahwat, akan teetapi bukan larangan untuk memandang.
Mengenai firman Allah SWT:

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: 'hendak­lah mereka menahan pandangannya." (QS An Nur: 30)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah menundukkan pandangan terhadap apa yang diharamkan dan membatasi/pengecualian terhadap apa yang dihalalkan. Jadi bukan sama sekali menundukkan pandangan dengan alasan bahwasanya Syari' telah menjelaskan bagi para muhrim diperbolehkan melihat rambut, dada, payudara, anggota tubuh, betis dan kakinya, sedangkan bagi yang bukan muhrim diperbolehkan melihat wajah dan dua telapak tangan, sebab menundukkan pandangan adalah merendahkannya. Di dalam kamus diartikan sebagai: (------------------------)
Dari penjelasan ini menunjukkan kebolehan bagi laki-laki memandang wanita atau sebaliknya wanita memandang laki-laki, kecuali auratnya dengan maksud bukan untuk mendapt­kan kenikmatan. Aurat laki-laki adalah apa yang berada di antara pusat dan lututnya, sedangkan aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Punggungnya adalah aurat, rambutnya juga aurat meskipun cuma selembar, bagi orang yang bukan muhrim rambut wanita dilihat dari sisi manapun adalah aurat. Seluruh (tubuh) apa yang dikecualikan, berupa wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nur: 31)
Yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi saw sedangakan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah saw., yaitu di masa masih turunnya ayat Al Quran. Di samping itu terdapat alasan lain yang menun­jukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecua­li wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah saw.:

"(Seluruh tubuh) wanita itu adalah aurat."

"Apabila seorang wanita telah baligh maka tidak boleh ia menampakkan (tubuhnya) kecuali wajahnya dan selain ini digenggamnya antara telapak tangan yang satu dengan geng­gaman terhadap telapak tangan yang lainnya."

Nabi saw berkata kepada Asma binti Abu Bakar:

"Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak pantas baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya."

Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasa­nya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwjibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
Adapun dengan apa menutupinya, maka disini syara tidak menentukan (bentuk/model) pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi dibiarkan mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firmanNya:
(-------------------------------------) yaitu tidak menampakkan aurat. Sedangkan lafadz-lafadz (------------), (------------) dan (-------------------) yaitu pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi walau bagaima­napun bentuknya. Dengan mengenakan kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celanan panjang, rok dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oelha syara. Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penut­up bagi aurat secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis maupun macamnya.
Namun demikian Syari' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dapat menutupi kulit luar. Maka diwa­jibkan untuk menutupi kulit luar, atau kulit, baik yang berwarna putih, merah, coklat atau hitam dan lain-lain, dengan kata lain kain penutup itu harus menutupi warna kulit sehingga warnanya tidak diketahui. Jika tidak demikian maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat. Dan menampakkan warna kulit itu dianggap tidak menutup aurat, karena secara syara menutup tidak sempurna, kecuali menutupi kulit berikut warnanya. Mengenai dalil bahwasanya Syar'i telah mewajibkan menutupi kulit luar atau menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya sebagaimana yang diri­wayatkan dari Aisyah ra bahwasanya Ama binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda:

"Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini."
Maka Rasulullah saw. menganggap dengan tipisnya kain itu tidak dianggap menutupi aurat, amlah dianggap menyingkap­kan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi . Alasan mengenai masalah ini juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis maka dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:

"Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya."

Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwa­sanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda: "Suruhlah ister­imu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis." Sedangkan 'illatnya adalah sabda belau "sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya"., yaitu sebagaiman acermin yang memantulkan sesuatu yang ada dibelakannya, dengan kata lain khawatir kalau-kalau nampak warna kulit tubuhnya. Sebab lafadz (-----------) memiliki makna menggambarkan dan menampakkan apa yang ada di balik itu, atau menampakkan apa yang ada di belakanya seperti halnya cermin yang memantulkan apa yang ada di hadapannya. Lafadz (-----------) berasal dair kata (_-----). Dan tidak bisa dikatakan (-------------) kecuali tampak 'te­rgambar' di hadapannya, bukan dengan kata (-----). Jadi khawatir akan tergambar lekuk daging tubuhnya, maka yang dimaksud adalah warnanya bukan bentuknya. Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya Syari' telah mensyaratkan apa yang harus ditut­up, yaitu kain yang dapat menutupi kulit dan tidak tergam­bar di baliknya. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis yaitu tidak tergambar apa yang ada di belakang maupun depannya.
Inilah topik mengenai pentutp aurat, dan topik ini tidak layak disamakan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan juga bukan memamerkan sebagaian dari pakaian-pakaian itu. Di sini tidak berarti pula bahwa jika telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat maka dibolehkan bagi wanita yang mengenakan pakaian itu berjalan di jala­nan umum. Sebab untuk berjalan di jalanan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara. Jadi tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misal­nya celana panjang yang tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat. Dengan demikian tidak layak mengenakan pakaian jenis itu dalam kehidupan umum, yaitu tidak boleh mengena­kan pakaian dalam rumah di jalanan umum, karena untuk keadaan seperti di jalanan umum terdapat pakaian tertentu yang diwajibkan syara untuk memakainya. Apabila berten­tangan dengan perintah syara, dan mengenakan pakaian yang jenisnya bertentangan dengan apa yang telah ditentukan syara berarti terjerumus dalam dosa, karena telah menga­baikan salah satu kewajiban dari berbagai kewajiban syara. Oleh karena itu tidak boleh mencampurkan topik penutup aurat dengan topik pakaian wanita dalam kehidupan umum. Begitu pula tidak boleh mencampuradukkan topik pakaian wanita dalam kehidupan umum. Begitu pula tidak boleh mencampuradukkan topik menutupi aurat dengan topik tabar­ruj. Maka mengenakan celana panjang yang dapat menutupi aurat meskipun tidak tipis tidak berarti kemudian boleh dipakai dihadapan laki-laki yang bukan muhrim sementara ia menampakkan kecantikannya dan membuka perhiasannya. Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara, kendati si wanita itu menutupi auratnya. Keberadaan seorang wanita yang telah menutupi auratnya bekanlah berarti dengan keadaannya yang sudah menutupi aurat tidak dianggap tabarruj. Berdasarkan hal ini maka tidak boleh mencampurkan topik menutupi aurat dengan topik tabarruj, karena keduanya berlainan.
Adapun pakaian wanita dalam kehidupan umum yaitu pakaian mereka di jalanan umum atau di pasar-pasar, maka Syari' telah mewajibkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian luar apabila keluar (rumah) menuju pasar-pasar atau berja­lan di jalanan umum. Diwajibkan atas mereka mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) yang dikenakan di bagian luar (pakaian dalamnya) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Apabila ia tidak memiliki­nya hendaklah ia meminjam kepda tetangganya, temannya atau kerabatnya. Jika ia tidak mampu meminjam atau tidak dipinjamkan maka tidak dibenarkan ia keluar (rumah) tanpa kain tersebut. Bila ia keluar tanpa mengenakan pakaian luar maka ia berdosa karena telah mengabaikan salah satu dari kewajiban yang diperintahkan Allah SWT terhadap mereka. ini dilihat dari jenis pakaian bawah maupun atas dari wanita maka harus mengenakan kerudung atau apa saja yang serupa dan berfungsi seperti pakaian untuk menutupi seluruh kepala, punggung dan ujung kain ini di atas dada. Pakaian jenis ini yang khusus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum, dengan kata lain pakaian yang layak untuk kehidupan umum. Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini dibo­lehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka tidak boleh keluar dalam keadaan apapun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, maka tetap dalam keumuman­nya dalam seluruh keadaan. Karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini karena firman Allah SWT mengenai pakaian (bagian) atas.

"Hendaklah mereka mentutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS An Nur: 31)

Dan firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah:

"Wahai Nabi saw katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: 'Hendak­lah mereka mengulurkan jilbabnya." (QS Al Ahzab: 59)

Diriwayatkan dari Ummu 'Athiah yang berkata:

"Rasulullah saw. memerintahkan kami agar keluar (menuju lapangan) pada saat hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adlha, baik ia budak wanita, wanita yang haidl, maupun yang perawn. Adapun bagi orang-orang yang haidl maka menjauh dari tempat shalat, namun menyaksikan kebaikan dan seruan kaum muslimin. Lalu aku berkata: Wahai Rasulullah saw. salah seorang di antara kami tidak memiliki jilab. Maka Rasulullah saw. menjawab: 'Hendaklah saudaranya itu meinjamkan jilbabnya."

Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dengan dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Mengenai pakaian wanita di bagian atas Allah SWT berfirman:
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya." (QS An Nur: 31)

Yang dimaksud hendaknya wanita itu menghamparkan kain penutup kepalanya di atas leher dan dadanya agar leher dan dadanya tersembunyi dari lipatan pakaian dalam dan pakaian luarnya.

No comments: