Dengan menelaah Kitabullah dan Sunnah Rasullullah, akan kita dapati bahwa Islam telah menentukan masalah utama umat Islam secara gamblang dan menetapkan hidup dan mati sebagai standarnya. Islam, misalnya, menganggap permurtadan sebagai masalah utama, baik itu dilakukan oleh individu ataupun kelompok. Islam pun telah menetapkannya sebagai perkara hidup dan mati, yaitu apakah orang atau kelompok yang murtad itu memilih untuk kembali kepada Islam atau memilih untuk mati. Dengan demikian, Islam telah menentukan masalah utama sekaligus standarnya. Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang mengubah agamanya, harus dibunuh.” Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali dalam tiga perkara, yaitu orang yang berzina, orang yang membunuh orang lain, dan orang yang membangkang dari kelompoknya.”
Bagi kaum muslim permurtadan adalah masalah utama dan fakta yang mereka pegang dengan kukuh. Kaum muslim terbiasa menjalankan hukum Islam dalam masalah tersebut dengan cara membunuh setiap orang yang murtad, kecuali orang itu mau kembali kepada Islam. Para sahabat r.a. pernah melakukan hal itu di Yaman ketika Rasulullah saw. masih hidup. Para sahabat pun melakukan hal itu setelah beliau saw. wafat. Demikian pula yang dilakukan generasi penerusnya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Musa, dikabarkan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Abu Musa, “Pergilah ke Yaman!” Setelah itu, Nabi saw. menyuruh Mu’adz bin Jabal untuk menemani Abu Musa. Saat Mu’adz tiba, Abu Musa melemparkan sebuah kain penutup kepala kepada Mu’adz dan mengatakan, “Turunlah (dari untamu).” Sambil turun dari untanya, Mu’adz sempat melihat seorang laki-laki yang diikat, dan Mu’adz bertanya, “Apa ini?” “Dulu dia Yahudi, kemudian masuk Islam, lalu menjadi Yahudi lagi,” jawab Abu Musa. Mendengar hal itu Mu’adz berkata, “Aku tidak boleh duduk sampai ia dibunuh. Siapa saja yang keluar dari agamanya, ia harus dibunuh.”
Sementara itu, Abu Dawud meriwayatkannya sebagai berikut: Seorang laki-laki yang murtad dari Islam dibawa ke hadapan Abu Musa, kemudian Abu Musa meminta laki-laki itu untuk bertobat dalam waktu sekitar dua puluh malam. Lalu, Mu’adz datang dan meminta laki-laki itu bertobat. Karena laki-laki itu menolak, maka Mu’adz memenggal leher laki-laki itu.”
Al-Daruqutni dan al-Baihaqi meriwayatkan: Abu Bakar meminta Ummu Qurfah, seorang wanita yang murtad setelah masuk Islam, untuk bertobat. Namun, karena wanita itu menolak bertobat, maka beliau membunuh wanita itu.” Ketika ramai orang dari suku Arab murtad dengan mengikuti Musailamah, sang nabi palsu, Abu Bakar r.a. mengangkat pedang untuk melawan mereka sampai mereka kembali ke haribaan Islam.
Diriwayatkan oleh al-Fatih dari Abdullah bin Syarik dari bapaknya yang mengatakan: Ada orang yang berkata kepada Ali karamallahu wajhah, “Di pintu masjid ada orang-orang yang mengaku bahwa engkau adalah Tuhan mereka”. Ali bereaksi dengan segera mengumpulkan orang-orang itu dan lalu berkata, “Terkutuklah kalian! Apa yang kalian katakan?”
“Kau adalah Tuhan kami, pencipta kami dan pemberi nafkah kami,” ujar mereka.
“Terkutuklah kalian, aku adalah seorang hamba, sama seperti kalian. Aku makan sebagaimana kalian makan dan aku minum seperti kalian minum. Jika aku menaati Allah, Dia akan memberiku pahala apabila Dia menghendaki. Jika aku tidak menaatinya, aku takut Dia akan menghukumku. Maka dari itu, takutlah kepada Allah dan bertobatlah,” tukas Ali r.a. Namun, mereka menolak bertobat. Keesokan harinya, mereka dibawa ke hadapan Ali. Kemudian, Qanbar datang dan melaporkan, “Demi Allah, mereka tetap mengatakan hal yang sama.”
“Biarkan mereka masuk,” pinta Ali.
Mereka tetap mengatakan hal yang serupa. Pada hari ketiga Ali berkata kepada mereka, “Apabila kalian tetap mengatakan hal yang sama, maka aku harus membunuh kalian dengan cara yang paling keji.” Lagi-lagi mereka menolak bertobat. Lalu, Ali memerintahkan agar dibuat sebuah lubang di antara pintu masuk menuju masjid dan istana. Beliau juga memerintahkan agar lubang itu diberi tumpukan kayu dan dibakar. Kemudian, Ali berkata kepada orang-orang yang menuhankannya itu, “Aku akan melemparkan kalian jika menolak bertobat!” Karena mereka masih juga menolak bertobat, akhirnya Ali karamallahu wajhah melemparkan mereka ke lubang itu.
Ibnu Abbas r.a. mendengar kabar pembakaran itu, dan beliau menyatakan ketidaksetujuannya seraya mengatakan bahwa mereka seharusnya cukup dibunuh saja, tidak sampai dibakar. Ikrimah meriwayatkan bahwa ada sekelompok orang yang murtad dibawa ke hadapan Amirul Mukminin, Ali karamallahu wajhah, lalu Ali membakar mereka. Ibnu Abbas r.a. mendengar hal itu dan berkata, “Seandainya aku Ali, aku tidak akan membakar mereka karena Rasulullah saw. melarang hal itu melalui sabdanya, “Janganlah kalian mengazab dengan azab Allah!” Aku akan membunuh mereka, karena Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang mengganti agamanya, maka ia harus dibunuh.”
Pada masa al-Mahdi, jumlah orang yang ateis dan yang murtad bertambah banyak. Al-Mahdi meminta mereka untuk bertobat, dan setiap orang yang menolak bertobat langsung dibunuh. Cukup banyak orang yang dibunuh al-Mahdi pada saat itu.
Itulah yang dilakukan kaum muslim sejak dulu dulu kala. Mereka, mulai dari para sahabat, para tabi’in, hingga para khalifah, membunuh setiap orang yang murtad. Mereka melakukan hukuman itu tanpa keraguan sedikit pun. Akan tetapi, seiring dengan melemahnya para khalifah dan melemahnya pemahaman umat tentang Islam, muncullah keraguan untuk membunuh orang yang murtad, sehingga ateisme dan permurtadan menyebar luas sampai-sampai mereka mendirikan kelompok-kelompok dan menganut agama selain Islam. Akibatnya, rasa ketakutan menghinggapi hati kaum muslim. Padahal, hal ini adalah masalah yang utama yang berbeda konteks dengan masalah campur tangan dan pemberian ampunan.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan ketika orang seperti Mustafa Kemal bisa dengan terang-terangan menyatakan perang terhadap Islam, karena pada saat ia murtad dari Islam, tidak ada seorang pun yang melaksanakan hukum Islam atas kemurtadannya. Permurtadan tidak lagi dianggap masalah utama. Itulah yang terjadi pada masa menjelang runtuhnya Khilafah Utsmaniah.
Sehubungan dengan itu, sangat penting bagi kita untuk mengembalikan masalah ini pada posisi yang sebenarnya dengan kembali menganggapnya sebagai masalah utama, dengan membunuh setiap pelaku murtad, meskipun jumlahnya jutaan.
Akan tetapi, hal ini tidak berarti kita bisa begitu saja menilai seseorang telah murtad hanya karena dia melontarkan opini yang meragukan. Kita harus benar-benar yakin sebelum dapat menilai seseorang telah kafir atau murtad. Apabila seseorang mengatakan sesuatu yang membuat dia tampak 99% murtad dan 1% muslim, maka yang 1% itulah yang harus dipegang dan dia harus dianggap sebagai muslim, alias tidak murtad. Hal ini karena pada hakikatnya dia adalah muslim dan tidak boleh dianggap kafir atau murtad, kecuali terbukti secara pasti dan meyakinkan. Sebaliknya, kita pun tidak boleh membuat-buat alasan atau mencari-cari dalih untuk mengabaikan hukum murtad terhadap seseorang apabila memang terbukti secara meyakinkan ia telah murtad, karena kalau begitu berarti kita tidak menjadikan standar hidup dan mati dalam masalah utama.
Apabila seorang muslim melakukan sesuatu yang akan membuatnya menjadi murtad, seperti berdoa di gereja bersama kalangan kristiani dan dengan cara mereka, atau mengatakan sesuatu yang membuatnya dianggap murtad, seperti. “Kisah Ibrahim yang disebutkan dalam al-Quran itu tidak ada dalam sejarah sehingga kisah itu bohong belaka”. Selain itu, contohnya meyakini sesuatu yang membuatnya murtad, seperti meyakini bahwa Islam tidak sesuai dengan zaman sekarang, atau meyakini pemisahan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di samping itu, misalnya meragukan kebenaran yang bersifat pasti yang membuatnya tergolong murtad, seperti meragukan kebenaran al-Quran sebagai Kalamullah. Maka dari itu, dalam seluruh kasus tersebut dan kasus-kasus yang serupa dengannya, ia terbukti secara nyata telah murtad. Dengan demikian, masalah itu harus diperlakukan sebagai masalah utama, dan seseorang yang melanggarnya harus diberi pilihan hidup dan mati, yaitu bertobat atau mati.
Demikian pula Islam telah menjadikan kesatuan umat Islam dan kesatuan Negara sebagai salah satu masalah utama umat Islam, serta menjadikannya sebagai masalah hidup dan mati. Artinya, Islam telah menentukan batasan masalah dan standarnya.
Hal ini terlihat dalam masalah larangan dualisme kekhilafahan dan larangan melakukan pemberontakan terhadap Khilafah. Abdullah bin Amr bin ‘Ash mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah saw. berkata, “Siapa saja yang telah membaiat seorang imam, lalu memberikan uluran tangannya dan buah hatinya, maka ia harus menaati imam itu semampunya. Adapun jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan dari sang imam, maka penggallah leher orang itu.” Juga ada riwayat dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya”. Artinya, Nabi saw. menetapkan masalah kesatuan Negara Islam sebagai masalah utama ketika beliau melarang dualisme kekhilafahan dan memerintahkan pembunuhan terhadap seseorang yang berusaha merebut kekhilafahan, kecuali apabila orang itu mengurungkan niatnya. Diriwayatkan dari Arfaja yang mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ketika urusan kalian semua ditangani oleh satu orang, lalu datang seseorang kepada kalian dan hendak memecah belah kesepakatan kalian atau menceraiberaikan persatuan kalian, maka bunuhlah orang itu.” Jelaslah, Rasulullah saw. telah menjadikan masalah kesatuan umat dan kesatuan Negara Islam sebagai masalah utama ketika beliau melarang perpecahan umat dan memerintahkan agar orang yang berusaha memecah-belahnya dibunuh, kecuali orang itu mengurungkan niatnya.
Mengenai pemberontakan, Allah Swt berfirman:
“Apabila ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sampai golongan itu kembali kepada perintah Allah” (QS al-Hujuraat [49]: 9).
Ketika ada kepemimpinan atas seluruh kaum muslim, yang berarti telah ada seorang khalifah bagi seluruh kaum muslim, maka upaya pemberontakan terhadap sang khalifah adalah hal yang haram. Pemberontakan pada faktanya akan menyebabkan perpecahan kaum muslim, tumpahnya darah kaum muslim, dan menguras harta mereka. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang memberontak terhadap umatku, padahal umat dalam keadaan bersatu, maka bunuhlah siapa pun ia.”
Karena itu, orang-orang yang memisahkan diri dari imam akan dianggap pemberontak. Mereka harus diminta untuk bertobat dan menghilangkan keraguan yang ada pada diri mereka. Jika terus bersikukuh dengan sikapnya, maka mereka harus dibunuh.
Dengan adanya larangan dualisme dalam kekhilafahan dan larangan melakukan pemberontakan terhadap khalifah, serta dengan adanya larangan perpecahan umat, maka kesatuan negara dan umat menjadi masalah yang utama karena Allah Swt. telah menetapkan bahwa langkah yang diambil untuk mengatasi masalah itu adalah pilihan antara hidup dan mati. Siapa pun yang melakukan tindakan itu, hanya memiliki dua pilihan, bertobat atau dibunuh. Umat Islam di masa silam telah mempraktikkan hal itu dan menganggapnya sebagai bagian dari masalah yang paling penting dan paling kritis. Mereka tidak pernah menolerir muslim mana pun yang melakukan hal itu, siapa pun orangnya. Ali tidak menolerir Mu’awiyah. Begitupun Ali, Umayah, dan Abbasiyah tidak menolerir kaum Khawarij, dan banyak fakta lain yang berkenaan dengan masalah ini.
Akan tetapi, tatkala Khilafah mulai melemah, dan pemahaman umat tentang Islam mulai menurun, kaum muslim diam membisu manakala negeri-negeri Islam satu per satu direnggut dari kesatuan Khilafah. Akibatnya, terjadi perpecahan di kalangan kaum muslim dan mereka terbagi menjadi puluhan negara bangsa. Hal ini karena adanya anggapan bahwa masalah terpisahnya suatu negeri dari kesatuan Khilafah bukanlah masalah utama yang mengharuskan diambilnya pilihan antara meminta penyesalan dari pemberontak dengan memerangi pemberontak, meskipun hal itu berarti mempertaruhkan nyawa dan harta.
Keadaan tersebut terus berlangsung sampai membuat kaum muslim hidup terkotak-kotak dalam pelbagai negara, dan Khilafah menjadi sekadar salah satu dari negara-negara itu. Situasi itu bahkan kian memburuk manakala sebagian kaum muslim mulai menyerukan pembentukan Liga Islam, yang mengharuskan Khilafah membuat perjanjian dengan negara-negara yang memisahkan diri darinya. Setelah itu, Negara Khilafah harus menyetujui tindakan separatisme itu. Itu artinya, Khilafah mendukung perpecahan umat Islam sehingga mereka terpecah belah menjadi berbagai umat dan bangsa, dengan mengabaikan fakta bahwa itu adalah masalah utama dan juga mengabaikan hadis tentang pilihan untuk tobat atau mati. Dalam konteks ini, tidaklah mengherankan ketika Mustafa Kemal memproklamasi keterpisahan Turki dari negeri-negeri Islam yang lain, dan bahkan menyatakan bahwa kaum muslim berhak menentukan nasibnya sendiri dalam penyerahan tanah kaum muslim kepada negara-negara kafir, karena masalah itu memang tidak lagi dianggap sebagai masalah utama. Berikutnya, datanglah malapetaka. Kaum muslim merasa biasa-biasa saja untuk hidup dalam beragam negara, dan terpecah belah menjadi umat dan bangsa yang berbeda-beda. Semua ini terjadi karena masalah kesatuan umat dan negara tidak lagi dianggap masalah yang utama dan langkah-langkah untuk menyelesaikannya tidak lagi dengan pilihan hidup atau mati.
Dengan demikian, kita harus mengembalikan masalah ini ke tempat yang sebenarnya dan menganggapnya sebagai masalah yang utama, sehingga dapat mencegah separatisme di tubuh Khilafah, meskipun hal itu berarti kita harus berperang bertahun-tahun dan mengakibatkan terbunuhnya jutaan kaum muslim.
Demikian pula Islam menganggap tindakan menunjukkan kekafiran sebagai masalah yang utama dan tindakan yang harus diambil untuk mengatasinya adalah pilihan antara hidup dan mati. Dalam hal ini, Islam telah menentukan masalah dan solusinya. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari ‘Auf bin Malik bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Para pemimpin akan dipilih untuk memimpin kalian, dan kalian akan melihat mereka melakukan kebaikan dan keburukan. Siapa saja yang membenci keburukan mereka maka ia tidak akan disalahkan. Siapa saja yang tidak setuju dengan keburukannya maka ia pun akan selamat. Namun, siapa saja yang menyetujui dan mengikuti keburukannya maka ia celaka.”
Lalu, ada yang bertanya, “Ya, Rasulullah! Haruskah kita perangi mereka?”
“Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat,” jawab Nabi saw.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa orang-orang bertanya, “Ya, Rasulullah! Haruskah kita perangi mereka?”
Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat.”
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari ‘Ubadah bin Shamit yang berkata, “Rasulullah saw memanggil kami, lalu kami pun membaiatnya untuk mendengarkan dan menaatinya, baik dalam hal yang kami senangi ataupun yang kami benci, dalam kesulitan maupun dalam kelapangan, dan bahwa kami tidak merebut kekuasaan dari orang yang berhak, kecuali kami melihat kekufuran yang nyata yang dapat dibuktikan di hadapan Allah.” Dalam riwayat ath-Thabrani dikatakan ‘Kekufuran yang terbukti nyata’. Juga dalam riwayat Ahmad dikatakan ‘Selama ia tidak memerintahkan kamu melakukan suatu kemaksiatan’.
Juga diriwayatkan oleh ‘Auf bin Malik al-Asja’i yang mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakannya. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.”
Orang-orang pun bertanya, “Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?” “Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat,” ujar Nabi saw.
Menegakkan shalat berarti menegakkan agama, artinya mengikatkan diri pada hukum Islam dan segala turunannya. Kekufuran yang nyata adalah kekufuran yang terwujud dalam tindakan yang dilakukan oleh penguasa, misalnya menjalankan kekuasaan berdasarkan hukum-hukum kufur. Dalam hal ini, pemahaman yang diambil dari hadis di atas adalah bahwa kaum muslim harus mengoreksi khalifah apabila ia menyimpang dari Islam dan jika ia tidak melaksanakan hukum-hukum Islam. Selain itu, kaum muslim harus memerangi khalifah apabila ia menerapkan hukum-hukum kufur. Artinya, kaum muslim pun harus berani menentang penguasa apabila telah melihat kekufuran yang nyata. Menentang di sini berarti menunjukkan penentangan, bahkan bisa berarti perang. Al-Fatih mengatakan, “Para ulama bersepakat atas wajibnya menaati penguasa dan berjihad bersamanya. Menaati penguasa adalah lebih baik daripada memberontak terhadapnya, karena hal itu akan menyelamatkan diri dan menenteramkan masyarakat. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku jika penguasa menampakkan kekufuran yang nyata, dalam hal ini ia tidak boleh ditaati. Ia justru harus diperangi oleh mereka yang mampu melakukannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis.”
Imam asy-Syaukani dalam bukunya Nailul Awthar menulis, “Mereka yang berpendapat tentang wajibnya mengangkat pedang dan memerangi penguasa yang kufur, mendasarkan pendapatnya pada al-Quran dan Sunnah.”
Dengan demikian, masalah yang berkaitan dengan wajibnya menjalankan pemerintahan berdasarkan Islam dan mencegah penguasa menjalankan kekuasaannya berdasarkan hukum kufur adalah masalah yang utama, karena Allah Swt. telah menetapkan bahwa tindakan yang harus dilakukan sebagai solusi atas masalah itu adalah pilihan antara hidup dan mati. Dalam arti, penguasa yang memerintah berdasarkan sistem kufur dan bukan berdasarkan sistem Islam itu harus diberi pilihan: bertobat atau mati.
Kaum muslim diperintahkan untuk tidak berdiam diri atas pemerintahan yang dijalankan dengan tidak berdasarkan Islam karena masalah ini adalah masalah yang utama. Namun, ketika jiwa dan pemahaman keislaman kaum muslim melemah, mereka diam seribu bahasa manakala khalifah dan para penguasa di negeri mereka memerintah berdasarkan hukum kufur dalam suatu permasalahan. Di saat kelemahan itu kian parah, mereka pun diam saja ketika penguasa memerintah berdasarkan hukum kufur dalam beberapa permasalahan. Konsekuensi jangka panjang dari diamnya mereka itu adalah para penguasa itu semakin berani untuk menerapkan hukum kufur secara keseluruhan dan terang-terangan. Kaum muslim di Mesir berdiam diri ketika penguasa di sana memberlakukan hukum sipil Prancis dan menghapuskan hukum Islam. Kaum muslim pada masa Negara Islam masih tegak juga tak acuh manakala hukum-hukum kufur ditetapkan sebagai undang-undang dasar bagi kaum muslim pada 1909. Awalnya mereka memang menentangnya, tapi setelah itu mereka diam membisu. Maka dari itu, tidak usah heran ketika Mustafa Kemal bisa dengan leluasa menghapus sistem Khilafah dan seluruh hukum yang berdasarkan Islam serta menyatakan Turki sebagai negara baru yang berdasarkan sistem sekuler, sistem kufur.
Semua itu terjadi karena kaum muslim tidak lagi menganggap masalah tersebut sebagai masalah yang utama sehingga bencana datang menimpa. Kaum muslim dengan entengnya membiarkan kekufuran yang nyata berlangsung tanpa ada upaya mengangkat senjata untuk menghilangkannya. Bahkan, kaum muslim semakin mudah diperintah oleh sistem kufur tanpa mengutuknya. Lebih parahnya lagi, mayoritas kaum muslim menerima aturan kufur itu. Mereka menjadi terbiasa dengan aturan kufur dan mencampakkan aturan Islam. Situasi ini terus berlanjut sampai-sampai kaum muslim menerima dan menyerukan aturan kufur itu sendiri, sebagai akibat berikutnya dari sikap diam mereka terhadapnya. Kondisi ini bisa terjadi hanya karena masalah pemerintahan berdasarkan sistem kufur tidak lagi dianggap perkara yang utama, dan tindakan yang diambil untuk mengatasinya tidak lagi dengan pilihan hidup atau mati.
Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk mengembalikan masalah ini ke posisi yang benar dan menganggapnya sebagai masalah yang utama, sehingga pemerintahan yang berdasarkan sistem kufur akan dapat dicegah, meskipun hal itu membuat kaum muslim harus berperang selama bertahun-tahun dan mengakibatkan jutaan kaum muslim terbunuh dan jutaan kaum mukmin menjadi syuhada.
Pemahaman terhadap seluruh masalah utama yang telah Allah Swt. gariskan dan tetapkan, dan pemahaman terhadap pilihan hidup atau mati yang Allah wajibkan telah melemah. Keterkaitan masalah-masalah tersebut dengan Akidah Islam juga telah melemah, dan kedudukan masalah-masalah itu telah menjadi rendah sehingga tidak lagi dianggap sebagai hukum syara’ yang sangat penting, yang seharusnya dibela dengan cara mengangkat senjata. Masalah-masalah itu telah terdegradasi dari kedudukan yang telah Allah Swt. tetapkan. Artinya, masalah-masalah itu sudah tidak dianggap sebagai masalah yang utama. Akibatnya, tindakan-tindakan yang diambil sebagai solusi atas masalah-masalah itu tidak lagi berupa kekuatan dan diangkatnya senjata untuk menghilangkan aturan kufur dan mengembalikan aturan Islam, seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt. Selanjutnya, masalah runtuhnya Khilafah dan digantinya sistem Islam oleh sistem kufur tidak dianggap sebagai masalah yang utama. Fakta bahwa hal ini merupakan masalah yang utama tidak lagi menguasai benak dan jiwa kaum muslim. Dengan begitu, Mustafa Kemal bisa leluasa beraksi, menghancurkan Khilafah, dan menghapus Islam dari peta politik tanpa ada seorang muslim pun yang mengangkat senjata untuk melawannya. Ibarat gayung bersambut, upaya kaum kafir dalam menghancurkan Khilafah dan menghilangkan eksistensi sistem Islam terjadi dengan begitu mudah dan mulus, telak di hadapan mata jutaan kaum muslim. Andaikata pada saat itu kaum muslim menyadari bahwa masalah ini adalah perkara yang utama, yang mempertaruhkan masa depan kaum muslim dan Islam, dan bahwa langkah untuk menghadapinya ialah dengan mengangkat senjata dan melawan Mustafa Kemal, niscaya mereka tidak akan mengalami pukulan yang demikian telak, horor yang begitu menyeramkan, dan tragedi yang teramat parah. Karena itu, kegagalan kaum muslim untuk memandang masalah ini sebagai perkara yang utama yang mengharuskan diambilnya tindakan yang bersifat hidup atau mati, merupakan penyebab dari segala malapetaka yang menimpa mereka.
Monday, May 21, 2007
Masalah Utama Menurut Islam
Posted by Harist al Jawi at 10:42 AM
Labels: Artikel Pemikiran
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment