Lemahnya pemikiran tentang Negara Islam muncul pertama kali sejak abad lima hijriah, yaitu ketika sebagian ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Itu adalah peringatan yang memperlemah negara. Padahal setelah itu masih banyak dijumpai para mujtahid yang mumpuni.
Lemahnya pemikiran menciptakan kondisi yang kritis. Keadaan itu mempengaruhi keberadaan negara (Daulah Islam), sehingga perpecahan menggerogoti tubuhnya dan kelemahan mendominasi wilayahnya. Kondisi ini terus berlangsung hingga pecah Perang Salib. Pada waktu itu negara dalam kondisi tidak berdaya menghadapi pasukan Salib. Kedudukan negara goyah dan dalam kegoyahannya, negara terlibat dalam serangkaian Perang Salib yang terjadi secara berturut-turut. Kira-kira dua abad lamanya.
Kemenangan pertama diraih pasukan Sekutu Salib. Mereka berhasil menguasai sebagian wilayah Negara Islam. Namun, dalam peperangan berikutnya, kaum muslimin berhasil membebaskan wilayah Negara Islam yang dikuasai mereka. Akan tetapi, semenjak pemerintahan Islam berpindah ke tangan Mamalik, bahasa Arab, pemikiran, dan pembentukan undang-undang mulai disia-siakan, dan selanjutnya pintu ijtihad ditutup yang akhirnya membawa efek lemahnya pemahaman terhadap Islam. Para penguasa ini mewajibkan para ulama bertaklid, dan itu berarti kelemahan semakin marah di tubuh daulah. Kemudian muncul serangan pasukan Tartar yang semakin memerosokkan dan memperlemah daulah. Keadaan ini hanya terjadi di pusat pemerintahan dan tidak sampai mempengaruhi kondisi luar (pemerintah daerah atau negeri-negeri). Kedudukan negeri-negeri (Pemerintah-pemerintah daerah di lingkungan wilayah daulah yang memiliki otonomi penuh. Negeri-negeri itu sebenarnya kedudukannya sebagai daerah propinsi. Karena memiliki otonomi penuh, maka menyerupai negara yang berdiri sendiri sehingga disebut negeri-negeri) tidak banyak terpengaruh oleh krisis yang melanda pusat pemerintahan. Keadaan inilah yang menjadikan Negara Islam masih memiliki harga diri yang kuat, kemampuan, masih ditakuti dunia luar, dan masih menguasai lebih dari separuh dunia. Kemudian pada abad 9 H atau 15 M Daulah 'Utsmani berhasil menyelamatkan pemerintahan dunia Islam. Di abad ke-10 H atau 16 M kekuasaan baru ini cukup berhasil menggabungkan negeri Arab ke dalam wilayahnya, lalu kekuasaannya meluas dan melebar banyak. Pemerintahannya didukung dengan kekuasaan yang kuat, pengaturan pasukan yang sistematis dan disiplin, dan pemerintahan yang megah. Dalam perkembangan berikutnya, Daulah 'Utsmani bergerak keluar dan sibuk dengan penaklukan-penaklukan, sementara bahasa Arab tersia-siakan. Padahal bahasa Arab merupakan kebutuhan dasar untuk memahami Islam dan menjadi salah satu syarat ijtihad. Sungguh sayang, Daulah 'Utsmani yang perkasa tidak berpayah-payah mengurusi Islam dalam aspek pemikiran dan perumusan hukum atau undang-undang. Akibatnya, tingkat pemikiran dan pembentukan undang-undang merosot tajam. Secara zahir, negara memang tampak kuat, tetapi esensinya lemah. Kelemahan itu dikarenakan lemahnya pemikiran dan pembentukan undang-undang. Pada waktu itu kelemahannya belum terdeteksi oleh negara karena sedang berada di puncak kemuliaan, keagungan, dan kekuatan militer. Pemikiran, perundang-undangan, dan hadharah yang dimiliki Negara Islam dibandingkan dengan yang dimiliki Eropa, lalu mereka menemukan bahwa apa yang dimiliki daulah lebih baik daripada yang dimiliki Eropa. Mereka senang dengan ini dan secara tidak sadar rela dengan kelemahan ini. Perbandingan semacam itu jelas tidak proporsional karena Eropa ketika itu masih terpuruk dalam kegelapan kebodohan, kepekatan kekacauan dan kegoncangan, tertatih-tatih dalam upaya-upaya kebangkitan, dan gagal dalam setiap perbaikan yang dilakukan. Karena itu, membandingkan keadaan Daulah 'Utsmani dengan keadaan Eropa yang dilihatnya seperti ini, sudah barang tentu Daulah 'Utsmani akan memposisikan dirinya berada di atas kondisi yang baik, sistem yang baik, memiliki hadharah yang lebih tinggi, sementara di sisi lain daulah tidak mampu melihat kondisi dalam yang sebenarnya sedang mengalami kegoncangan yang sangat keras, tidak mampu menyaksikan kebekuan pemikiran, kebekuan perundang-undangan, dan memudarnya kesatuan umat. Kemenangan daulah atas Eropa dan keberhasilannya menguasai Balkan dan sebagian tenggara Balkan menyilaukan pandangannya sehingga tidak mampu menyaksikan kelemahan dalam negerinya. Kemenangan-kemenangan itu membawa pengaruh ketakutan seluruh negara Eropa terhadap Daulah 'Utsmani yang digambarkannya sebagai Negara Islam, dan akibatnya di benak mereka terbentuk persepsi bahwa pasukan Islam tidak bisa dikalahkan. Mereka yakin bahwa tidak satupun pasukan yang mampu menghadapi kaum muslimin. Persepsi Eropa yang semacam ini juga menutup pandangan daulah untuk bisa melihat kelemahan dalam negerinya.
Kemudian muncul masalah ketimuran. Ketika itu maknanya diartikan ketakutan Eropa terhadap serangan pasukan besar 'Utsmani yang terus merayap di bawah kendali Muhammad al-Fatih di abad sembilan hijriah (15 M), juga para sultan sesudahnya. Ekspansi besar-besaran terus berlangsung hingga akhir abad 11 H ketika pemerintahan dipegang Sulaiman al-Qanuniy. Dia berhasil memusatkan kekuatan hingga pertengahan abad 12 H atau 18 M. Pada periode ini, kekuatan ekspansi yang berjalan terus dalam tubuh daulah menjadi faktor dominan dalam memberikan kekuatan daulah. Lalu muncullah kekuatan aqidah di tengah kaum muslimin. Pemahaman-pemahaman yang jelas tentang kehidupan meski belum mengkristal juga sudah tampak dalam benak mereka. Sistem Islam tentang kehidupan meski penerapannya buruk juga kelihatan di permukaan. Semua itu menopang eksistensi daulah dan menjadikannya masih mampu bertahan dan kuat.
Apalagi keadaan ini masih juga dibantu oleh kondisi pemikiran dan perundang-undangan Eropa yang kacau. Keadaan-keadaan semacam ini sebenarnya sangat memungkinkan bagi daulah untuk mengubah pemahaman Islam dengan pemahaman yang lebih baik, meningkatkan perhatiannya terhadap bahasa Arab, menyemarakkan ijtihad, dan memperhatikan aspek-aspek pemikiran dan perundang-undangan hingga upaya itu berhasil memusatkan daulah dalam jaringan pemusatan yang kokoh, menyempurnakan penguasaannya terhadap dunia, melanjutkan penaklukan-penaklukan Islam terhadap negara-negara yang masih belum tunduk pada daulah, membawa Islam kepada seluruh manusia, dan dengan demikian, daulah menjadi memusat, dunia dipolakan dengan hadharah Islam, dan seluruh anak Adam terselamatkan dari kerusakan dan kejahatan.
Akan tetapi, sayang, kemungkinan-kemungkinan positif itu tidak dilakukan dan akhirnya tidak terjadi. Negara Islam tidak menyemarakkan bahasa Arab selain memposisikannya dalam bidang-bidang pengajaran dan keilmiahan, meski pada kenyataannya tidak memiliki pengaruh apa-apa dalam memperkuat posisi bahasa, juga tidak mampu menggedor pemikiran. Kenapa? Karena posisi yang diberikan tidak diproyeksikan untuk menghidupkan bahasa Arab, juga tidak menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa negara sebagaimana keharusan dalam Negara Islam. Di samping itu, kedudukan yang diberikannya juga tidak untuk pengembangan pemikiran dan fiqih. Maka tidak heran jika gerakan yang lemah dan salah ini tidak memberi pengaruh apa-apa dalam memperkuat negara. Keadaan ini dibiarkan terus berjalan di jalannya yang bengkok.
Pada pertengahan abad ke-12 H (18 M) keadaannya berubah. Kelemahan dalam negeri daulah mulai muncul ke permukaan. Daulah berdiri di atas sisa-sisa sistem Islam yang penerapannya telah dirusak, dibangun di atas pemikiran-pemikiran yang justru menggoyahkan Islam dan kedalamannya. Hukum-hukumnya mengambang dan lebih banyak di luar sistem daripada dalam sistem Islam. Ini diakibatkan oleh pemahaman yang salah tentang pemikiran Islam, keburukan penerapan sistem Islam, dan tidak adanya ijtihad yang otomatis para mujtahid pun tidak ada.
Pada abad 13 H atau 19 M neraca sejarah antara Negara Islam dan negara-negara non-Islam mulai berayun-ayun, lalu neraca dunia Islam mulai menyusut, sementara timbangan negara-negara Eropa sedikit-demi sedikit mulai memberat dan menguat. Di Eropa mulai muncul kebangkitan-kebangkitan dan hasil-hasilnya mulai tampak. Sementara di tengah kaum muslimin, hasil-hasil kebekuan pemikiran dan buruknya penerapan Islam juga mulai mencuat keluar. Ini terjadi karena pada abad 19 M di Eropa muncul gerakan revolusi pemikiran yang dipelopori oleh para filuf, pujangga, dan pemikir. Mereka bekerja keras dan mencurahkan seluruh kemampuan sehingga revolusi meledak di seluruh daratan Eropa. Revolusi mampu mengubah secara menyeluruh pemikiran Eropa sehingga menghidupkan bangsa-bangsa mereka. Kemudian muncullah gerakan-gerakan yang memiliki pengaruh kuat dalam menelorkan pemikiran-pemikiran baru tentang pandangan hidup.
Di tengah revolusi, sistem-sistem politik, perundang-undangan, dan semua sistem kehidupan diluruskan. Ini adalah peristiwa yang sangat penting. Bayangan-bayangan kerajaan-kerajaan lalim di Eropa lambat laun hilang, kemudian posisinya diduduki oleh sistem-sistem pemerintahan baru yang dibangun di atas prinsip pemerintahan perwakilan dan kedaulatan rakyat. Pengaruhnya sangat besar dalam mengarahkan kebangkitan Eropa. Pada abad ini di Eropa juga terjadi revolusi industri yang membawa pengaruh sangat dominan. Realitas pengaruhnya tampak dalam kemunculan ciptaan-ciptaan baru yang banyak dan beragam. Semuanya mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam memperkuat Eropa dan memajukan pemikiran dan kekayaan materinya.
Kekuatan materi dan kemajuan ilmu ini mengakibatkan neraca dunia Eropa terhadap dunia Islam tampak lebih berat, lalu mengubah pemahaman tentang masalah ketimuran. Kekhawatiran terhadap bahaya-bahaya Islam tidak sampai menyerang Eropa karena ancaman-ancaman itu justru menjadi kejumudan yang menggerogoti Daulah 'Utsmani atau malah memecah-belahnya menjadi beberapa negeri, yaitu ketika negeri-negeri itu (propinsi-propinsi yang memiliki otonomi) saling bertikai karena perbedaan-perbedaan kepentingan. Revolusi pemahaman masalah ketimuran dan beberapa kondisi baru yang muncul di Eropa akibat peningkatan pemikiran, kemajuan ilmu, revolusi industri, dan aspek-aspek lain mengenai kelemahan dan perpecahan yang menghantam Daulah 'Utsmani mengantarkannya pada revolusi politik di Negara Islam dan negara-negara kafir. Perkembangan berikutnya, neraca orang-orang Eropa semakin menguat, sementara neraca kaum muslimin semakin melemah.
Penyebab revolusi politik di Eropa adalah ulah para pemikir yang bercita-cita untuk mencapai pembentukan tatanan kehidupan. Upaya mereka menggiring penajaman pandangan tertentu tentang kehidupan, kepercayaan mereka terhadap ideologi tertentu, dan pembentukan sistem atas dasar ideologi itu merupakan faktor yang membalik pemahaman mereka tentang sesuatu dan strata nilai-nilai yang mereka anut, yang dampak berikutnya mengantarkan pada revolusi umum tentang kehidupan, dan sebagiannya membantu terwujudnya revolusi industri yang besar.
Ini berbeda dengan kondisi di dunia Islam atau Daulah 'Utsmani. Daulah tidak memandang dengan benar untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan atau hukum-hukumnya, tidak berpikir mendalam tentang ideologi mabda'), tidak menggerakkan pemikiran dan penyelenggaraan ijtihad, tidak memecahkan problem-problemnya menurut hukum-hukum yang bersumber dari aqidahnya, dan tidak menerima ilmu dan industri. Langkah-langkah perbaikan ini tidak dilakukan daulah yang pada gilirannya membuat daulah dihantam kebingungan dan kegoncangan sebagaimana yang pernah terjadi di Eropa. Karena kebingungan ini, aktifitasnya berhenti dalam keadaan membeku dan akhirnya Daulah 'Utsmani meninggalkan ilmu dan industri. Akibatnya, daulah tertinggal oleh negara-negara lain (Eropa) dalam kemajuan materi dan ilmu. Memang ada sisi positif yang menggembirakan. Sisi positif itu terletak pada kenyataan bahwa Daulah 'Utsmani adalah Negara Islam dan bangsa-bangsa yang memerintahnya adalah bangsa-bangsa muslim. Islam masih menjadi aqidah negara dan sistemnya. Pemikiran-pemikiran Islam adalah pemikiran negara. Sisi-sisi pandangan kehidupannya adalah visinya. Bertolak dari ini, seharusnya negara memandang pemikiran-pemikiran baru yang berkembang di Eropa, membandingkannya dengan kaidah pemikirannya, mengamati problem-problem baru dari sudut pandang Islam, lalu memberi ketetapan hukumnya tentang pemikiran-pemikiran dan problem-problem tersebut dengan melalui ijtihad yang benar menurut pandangan Islam.
Akan tetapi amat sayang, negara tidak melakukannya. Demikian itu karena pemikiran-pemikiran keislaman yang dimilikinya tidak jelas, negara kehilangan pemahaman-pemahaman yang definitif, dan aqidah Islam tidak menjadi kaidah pemikiran yang di atasnya dibangun semua pemikiran. Aqidahnya hanyalah aqidah taklid. Asas yang menjadi pijakan negara (Daulah 'Utsmani) adalah aqidah dan pemikiran-pemikiran yang tidak jelas. Sistem yang dipakai membeku karena tidak adanya ijtihad. Hadharahnya yang merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan tidak mengkristal dan tidak berkaitan dengan aktifitas-aktifitas negara. Sedangkan penyebabnya adalah kemunduran pemikiran dan tidak adanya kebangkitan. Mereka (para penguasa kekhilafahan Daulah 'Ustamani dan kebanyakan masyarakat muslim) hanya bisa berdiri tercengang dan bingung di hadapan apa-apa yang mereka saksikan di Eropa, yaitu tentang revolusi pemikiran dan industri. Mereka belum mampu memutuskan untuk mengambil atau meninggalkannya. Mereka juga tidak mampu membedakan atau memilah-milah antara apa yang boleh yang tidak boleh diambil dari filsafat yang menentukan arah pandangan kehidupan dan hadharah yang merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan. Karena itu, mereka beku dan tidak mampu bergerak. Kebekuan ini menjadi sebab terhentinya roda sejarah kejayaan mereka, padahal di waktu yang sama roda negara-negara Eropa sedang berputar. Itu semua tidak lain dikarenakan tidak adanya pemahaman mereka terhadap Islam secara benar, tidak tahunya mereka tentang pertentangan antara pemikiran-pemikiran Eropa dan pemikiran-pemikiran mereka, dan tidak adanya kemampuan memilah-milah antara ilmu, industri, dan penemuan-penemuan yang dianjurkan Islam untuk mengambilnya dengan filsafat, hadharah, dan pemikiran yang Islam melarangnya untuk diambil.
Memang benar, pandangan Islam dibutakan oleh Pemerintahan 'Utsmani. Mereka tidak mampu memahami Islam dengan pemahaman yang benar. Kebutaan inilah yang menjadikan umat dan negara hidup menurut hasil kesepakatan, tanpa memperhatikan sistem yang dimilikinya. Padahal dalam waktu yang sama, musuh-musuh negara berpegang teguh pada sistem yang jelas dan berjalan di atasnya. Dengan demikian, Eropa memiliki ideologi (mabda') yang menjadi aqidah dan filsafatnya (diterapkan dalam kehidupan). Sementara umat Islam memiliki ideologi yang benar yang hanya hidup dalam khayalan ideologi itu sendiri yang hidup di belakang abad-abad yang jauh. Negara hidup dalam pemerintahan yang buruk dalam penerapan mabda' yang buruk. Padahal Rasulullah saw. telah bersabda, "Saya tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan sesat, yaitu Kitabullah dan sunnahku." Padahal negaranya adalah Negara Islam, umatnya adalah umat Islam, dan khazananh intelektual dan ilmu-ilmu fiqihnya berada di tangan umat. Hanya karena negara tidak memahami makna hadits ini yang menuntut kembali pada Islam, yaitu kembali pada pokok-pokoknya yang berada di atas dasar aqidah dan sistem Islam, maka negara menjadi lemah dan hanyut dalam gelombang revolusi Eropa. Padahal tidak ada umat yang memiliki warisan pemikiran dan tsaafah yang nilainya tidak ada bandingnya selain umat Islam.
Memang benar, karena hal-hal itu, maka negara menjadi tidak berguna. Mengapa? Karena ketika ijtihad dan pertumbuhan pemikiran berhenti, maka pemahaman-pemahaman keislaman di kalangan kaum muslimin melemah. Mereka meninggalkan pengetahuan-pengetahuan keislaman dan buku-buku dan khazanah intelektual dibiarkan membeku terpelihara dalam gudang-gudangnya. Tidak ada lagi ulama yang siap berpikir kecuali amat sedikit. Semangat dan cinta pengkajian dan penyelidikan tentang hakikat-hakikat sangat sedikit. Ilmu-ilmu pengetahuan berubah menjadi sekedar ilmu yang tidak dituntut untuk diamalkan dalam negara dan kancah kehidupan. Negara tidak menggerakkannya. Bahkan, para ulama yang menuntut ilmu dan tsaqafah hanya menjadikannya sebagai pengayaan akal. Mereka berpendapat bahwa mencari ilmu untuk ilmu atau mencari ilmu untuk memperoleh rezeki. Sangat sedikit dari mereka yang mencari ilmu untuk kemanfaatan umat dan negara.
Keadaan itu juga menciptakan ketidak-kesiapan gerakan intelektual, tsaqafah atau perundang-undangan menghadapi problem kehidupan. Akibatnya, pemahaman keislaman menjadi goncang. Kaum muslimin memahami Islam dengan porsi pemahaman ruhaninya lebih banyak daripada pemahaman pemikiran, politik, dan perundang-undangan. Karena, pemikirannya yang mendasar dan cara pelaksanaannya sudah buta. Mereka menjadi buta dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul. Mereka memahami Islam sebatas sebagai agama ruhani. Umat jika membandingkan antara Islam dan agama-agama lain, fokus perbandingannya sebatas masalah keistimewaan aspek-aspek keruhanian keagamaan semata. Pandangan ini menggantikan pandangan mereka semula yang memandang Islam sebagai aqidah dan sistem untuk seluruh persoalan kehidupan.
Oleh karena itu, tidak heran jika umat Islam di bawah kendali Daulah 'Utsmani mengalami stagnasi, beku, kebingungan, dan goncang ketika mengahadapi gerakan revolusioner yang terjadi di Eropa. Umat juga masih tetap terbelakang dan tidak tergugah sedikitpun oleh kemajuan ekonomi yang membanjiri Eropa, tidak terpengaruh oleh banyaknya penemuan yang terjadi di Eropa, dan tidak tergelitik dengan gerakan industri yang dipelopori Eropa. Memang ada pengaruh sedikit dan sangat parsial. Itupun masih diliputi kebimbangan dan kekacauan sehingga tidak melahirkan faidah apa-apa. Hal itu tidak memungkinkan umat Islam memperoleh kemajuan materi, bahkan tidak memungkinkan mereka menghentikan roda kebekuan. Umat justru semakin terpuruk dalam kemunduran dan kelemahan. Faktor penyebabnya juga kembali pada kondisi mereka yang tidak mampu membedakan antara ilmu dan tsaqafah, antara hadharah (kebudayaan) dan madaniah (peradaban). Mereka akhirnya tetap berdiri dalam kebingungan dan tidak bisa mengambil keputusan apakah mengambil atau meninggalkannya. Banyak di antara mereka yang melihat bahwa semua (ilmu, tsaqafah, industri, dan penemuan Eropa) bertentangan dengan Islam. Karena itu, mereka menyatakan haram mengambilnya. Bahkan, ketika percetakan (mesin-mesin cetak) menjadi fenomena baru dan daulah bermaksud mencetak Al-Qur'an, para ulama fiqih malah mengharamkan pencetakan Al-Qur'an. Akibatnya, mereka memberi fatwa yang mengharamkan setiap yang baru dan mengkafirkan setiap orang yang belajar ilmu-ilmu eksakta. Setiap pemikir dituduh zindik dan atheis. Namun, pada sisi lain ada sekelompok kecil umat yang melihat keharusan mengambil segala hal yang dari Barat, baik menyangkut ilmu, tsaqafah, hadharah maupun madaniah. Mereka ini adalah orang-orang yang belajar di Eropa atau di sekolah-sekolah misionaris yang telah menyusup ke daulah. Pada mulanya mereka tidak memiliki pengaruh. Mayoritas bersikap moderat dan berusaha menyesuaikan Islam dengan tsaqafah, ilmu-ilmu, hadharah, dan madaniah yang dibawa Barat. Di masa-masa akhir pemerintahan Daulah 'Utsmani, ada satu pemikiran yang mempelopori gerakan bahwa Barat telah mengambil hadharah dari Islam dan karena itu, Islam tidak mencegah gerakan yang mengambil apa-apa yang sesuai dengan Islam dan mengamalkan apa-apa yang tidak bertentangan dengannya. Barat rupanya berhasil menyebarkan pemikiran ini hingga mendominasi masyarakat Islam dan membawanya ke tengah masyarakat. Apalagi para pelajar dan di antara mereka yang terpengaruh banyak dari kalangan ulama fiqih, ilmuwan muslim, dan orang-orang yang menamakan diri sebagai ulama kontemporer. Mereka disebut (juga menamakan diri) sebagai kaum reformer.
Menilik pertentangan hakiki antara hadharah Barat dan hadharah Islam, dan karena adanya perbedaan yang jelas antara tsaqafah Barat dan kandungan makna yang berkaitan dengan visi kehidupan dengan tsaqafah Islam dan kandungan makna yang berkaitan dengan jalan kehidupan, maka tidak mungkin menyeleraskan atau mengkompromikan antara apa yang terdapat dalam Islam dan apa yang terdapat dalam pikiran-pikiran Barat. Membiarkan kompromi dua hal yang bertentangan akan mengantarkan umat jauh dari Islam dan mendekatkan mereka pada pemikiran-pemikiran Barat dengan bentuk atau pola yang kacau. Mereka menjadi lemah dalam memahami pemikiran-pemikiran Barat dan menjadi semakin jauh dari Islam.
Hal itu memiliki dampak negatif yang sangat besar terhadap pengambilan sikap kenegaraan daulah dan perilaku umat. Negara (Daulah 'Utsmani) menjadi menyia-nyiakan berbagai penemuan, ilmu-ilmu, dan industri-industri. Pemahaman umat tentang Islam semakin buruk. Kondisi ini pada gilirannya akan mengubah umat menjadi kumpulan manusia yang memiliki pemikiran yang saling bertentangan dan menjadikan negara tidak mampu memastikan pilihan terhadap suatu pemikiran yang pasti dan tertentu. Umat menjadi berpaling dan tidak mau mengambil sarana-sarana kemajuan materi yang berbentuk ilmu-ilmu, penemuan-penemuan, dan industri-industri. Akibatnya, negara benar-benar menjadi lemah hingga tidak mampu berdiri dan menjaga dirinya. Kelemahannya menimbulkan keberanian musuh-musuh Islam untuk memotong-motong Negara Islam menjadi potongan-potongan negara kecil, sementara negara tidak kuasa menolak dan justru menerimanya dengan pasrah. Kelemahannya juga menimbulkan keberanian para misionaris untuk melancarkan perang terhadap Islam dengan nama ilmu. Mereka menyusupkan misinya ke dalam tubuh umat sehingga berhasil memecah belah barisan mereka dan membakar api fitnah dalam Negara Islam.
Gerakan-gerakan yang beraneka ragam ini akhirnya berhasil merobohkan daulah dan disusul dengan kemunculan paham kesukuan dan kebangsaan ke tubuh seluruh bagian wilayah daulah, baik di Balkan, Turki, Negara Arab, Armenia, maupun Kurdistan. Dan, puncaknya pada tahun 1914 M daulah berada di bibir jurang yang dalam, kemudian terperosok ke dalam Perang Dunia 1 dan keluar darinya sebagai pihak yang kalah, dan akhirnya daulah diadili sebagai negara pesakitan. Dengan demikian, maka Daulah Islam hilang dari permukaan dunia dan Barat berhasil mewujudkan impiannya yang mengusik mereka selama berabad-abad. Barat berhasil menghakimi Negara Islam yang notabene untuk menghancurkan Islam. Dengan lenyapnya Negara atau Daulah Islam, maka pemerintahan di seluruh Negara Islam tidak menjadi negara Islam. Kaum muslimin menjadi masyarakat yang hidup di bawah bendera yang bukan Islam. Urusan mereka menjadi tercabik-cabik. Keadaan mereka memburuk, dan akhirnya hidup dalam sistem kufur dan menerapkan hukum-hukum kufur.
Friday, May 18, 2007
LEMAHNYA NEGARA ISLAM
Posted by Harist al Jawi at 3:21 PM
Labels: Artikel Politik
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment