Monday, April 23, 2007

Melepaskan Diri dari Ketergantungan Ekonomi pada Kekuatan Asing


Melepaskan Diri dari Ketergantungan
Ekonomi pada Kekuatan Asing
Dr. Fahmi Amhar

Pendahuluan
Sadar atau tidak, suka atau tidak, kaum muslim di negeri-negeri Islam bergantung pada kekuatan asing. Ekonomi kaum muslim bergantung pada ekspor bahan mentah, yang aturan mainnya, seperti kuota, standar mutu, dan harga, ditentukan oleh pihak asing. Hal yang bersifat regulatif itu ada yang dilakukan secara sepihak, bilateral, dan multilateral (melalui lembaga dunia, seperti WTO). Beberapa investor sengaja membangun industri di republik ini hanya untuk pasar ekspor, bahkan dengan merek asing. Akibatnya, industri semacam ini cukup rentan terhadap berbagai trend atau peristiwa internasional. Jauh sebelum krisis, sudah banyak industri tekstil yang gulung tikar hanya karena kuota tekstil di negara tujuan. Belakangan, ada lagi aturan lain, mulai dari keramahan produk terhadap lingkungan (eco-labeling), tidak menggunakan tenaga anak-anak (kidsworker-free-labeling), sampai pada tidak adanya keterkaitan dengan terorisme.
Di sisi lain, kaum muslim terkenal sebagai pengimpor produk teknologi asing. Mayoritas pabrik-pabrik di negeri ini, sejatinya, hanya memproduksi barang dengan merek atau teknologi yang dilisensi dari induknya di luar negeri. Meski alih teknologi telah dijalankan, dan kita mampu membuat sendiri produk tersebut, tetap saja aturan-aturan paten dan rahasia dagang akan membentengi, sehingga kita hanya boleh membuat produk itu sesuai aturan lisensi pemilik paten.
Pertanyaan yang sama terjadi dengan para penemu (inventor) di perguruan-perguruan tinggi ternama di negeri ini. Meski secara teknis dan ilmiah karya mereka unggul, namun jalan untuk menerapkannya di dunia industri terbentur pada kenyataan, bahwa mayoritas industri besar di negeri ini hanya mau membuat dan menjual produk dengan brand-image kelas dunia. Hal ini berarti bahwa inovasi yang dihasilkan perguruan tinggi menjadi nonsense, sepanjang tidak menjadi bagian merek-merek internasional. Dengan kata lain, para pengusaha dan investor di negeri ini lebih suka meraih profit jangka pendek sebagai pedagang (atau calo) daripada profit jangka panjang sebagai pengusaha.
Aktivitas industri yang berusaha mandiri dengan pengembangan teknologi lebih sering terancam intervensi dari luar. IMF melarang pemerintah menyuntikkan subsidi untuk BUMN, seperti terlihat pada kasus PT Dirgantara Indonesia. Sementara itu, kalangan perbankan enggan mengucurkan kredit kepada calon pembeli bus-bus produk Texmaco Perkasa Engineering (perusahaan swasta nasional murni); yang terjadi justru impor bus bekas yang kini dilakukan, dan Texmaco dibiarkan menjadi pasien BPPN.
Industri besar yang ada di negeri-negeri muslim lebih sering diorientasikan untuk mengeruk kekayaan alam (migas, tambang, hutan, dan laut) atau menguasai sektor publik (air minum, listrik, telekomunikasi, jalan tol) dengan kontrak konsesi, yang akhir-akhir ini beralih juga ke tangan asing.
Sementara itu, bersama-sama dengan pariwisata, ratusan ribu TKI juga menjadi andalan devisa, sekalipun di luar negeri sering terzalimi. Di sisi lain, beberapa ribu tenaga ahli asing yang bekerja di Indonesia “menguras” kantong kita lebih banyak dari sekian juta pegawai negeri, termasuk dosen-dosen dan peneliti yang notabene banyak yang merupakan lulusan sekolah di luar negeri.
Belum lagi dengan utang yang luar biasa besar. Jika utang luar negeri kita “hanya” 140 Miliar US-Dolar (angka pasti mengenai hutan Indonesia sangat simpang siur antara BI, Bappenas, dan Departemen Keuangan), maka dengan interest-rate 4% per tahun kita harus menganggarkan pembayaran bunga saja (belum dengan cicilan) sebesar 5,6 Miliar US-Dolar, atau pada kurs Rp8.500 menjadi Rp47,6 Triliun.
Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia (Miliar Dolar AS) – data tiap dua tahunan
Tahun
Pemerintah
Swasta
Total
1969
2,437
0
2,437
1971
3,255
0
3,255
1973
4,426
0
4,426
1975
6,611
1,832
8,443
1977
9,654
1,875
11,529
1979
11,775
1,793
13,568
1981
13,945
4,902
18,847
1983
19,953
7,304
27,257
1985
25,321
9,836
35,157
1987
38,417
11,112
49,529
1989
39,577
12,823
52,400
1991
45,725
19,954
65,679
1993
52,462
28,13
80,592
1995
59,588
48,244
107,832
1997
53,865
82,223
136,088
1999
75,720
72,377
148,097
2001
72,197
66,946
139,143
Sumber: Bank Indonesia

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia tidak bisa berkutik tanpa belas kasihan kekuatan asing.
Selain persoalan ekonomi yang terkait dengan luar negeri, sistem perbankan kita juga harus memiliki kualifikasi “internationaly compatible” (sesuai “standar internasional”). Hal itu berarti bahwa perbankan kita harus mengakui sistem riba (sekalipun sistem syariah “ditolerir”, tapi tidak menjadi satu-satunya).
Negeri ini juga harus menjalankan sistem moneter kurs mengambang untuk valas, selain harus membuka pasar modal yang sangat memungkinkan investor asing leluasa memborong saham perusahaan-perusahaan yang go public.
Akan halnya kemandirian, strategi pembangunan ala Orde Baru dengan mencari investor asing, baik secara langsung maupun melalui pinjaman pemerintah dari IGGI, CGI, Paris Club, Word Bank, ADB, dan sebagainya, justru lebih sering menjadikan kita terlilit dan sulit untuk mandiri. Semua investor asing itu memberikan berbagai syarat agar dalam jangka waktu yang panjang dapat mengeruk keuntungan.
Model kontrak BOT (Built-Operation-Transfer), yang mengizinkan investor membangun lebih dahulu dengan jaminan pemerintah untuk mengoperasikan proyek itu selama kurun waktu tertentu (10-25 tahun), dan kemudian aset itu beralih ke negara adalah bukti bahwa pemerintah kita tidak bermental mandiri. Sepertinya negara diuntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN untuk pembangunan pertama. Kemudian, proyek itu akan menyerap banyak tenaga kerja dan memasukkan pajak yang juga tidak kecil. Pada akhirnya, proyek itu menjadi milik negara.
Model seperti ini banyak dipakai pada proyek-proyek dengan investasi sangat besar, seperti di Freeport, Arun-LNG dan sejenisnya. Akan tetapi, hampir tak pernah ada akuntabilitas yang sesungguhnya, seberapa besar sebenarnya keuntungan asing dari proyek-proyek semacam itu. Apalagi, biasanya, sebelum kontrak pertama berakhir, pihak asing sudah menyiapkan proyek berikutnya. Sementara itu, pada saat transfer ke pemerintah, teknologi pada proyek lama sudah sangat ketinggalan, atau cadangan sumber daya alam dan lingkungan yang mendukungnya sudah sangat tipis, sehingga proyek itu tidak ekonomis atau ekologis lagi.
Di sisi lain, sistem ekonomi yang ada membuat banyak industri yang semula dinilai strategis, bahkan untuk keperluan militer di saat perang, justru dilego untuk menutup defisit APBN akibat krisis perbankan. Masih segar dalam ingatan kita tentang penjualan Indosat ke STT Singapore, atau sekarang yang masih dalam wacana adalah penjualan PT Dirgantara Indonesia. Hasilnya, strategi ekonomi yang ada selama ini belum pernah berhasil menjadikan kita sebagai bangsa yang benar-benar mandiri.
Pembangunan kita gagal menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Bahkan, tidak berhasil membangkitkan kemampuan teknologi yang mendukung produktivitas industri. Selain itu, teknologi yang telah kita kuasai ternyata sulit menjadi andalan perindustrian kita sendiri.

Dampak luas ketergantungan ekonomi
Konstelasi politik dalam negeri sangat bergantung pada pihak asing. Karena aspek ekonomi bergantung pada pihak asing, pemerintah menjadi sangat takut bila sewaktu-waktu ada intervensi politik asing pada ekonomi. Mereka membayangkan kalau tiba-tiba produk nonmigas kita (seperti kayu atau tekstil) ditolak di luar negeri. Apa jadinya dengan ratusan ribu karyawan di sektor itu? Atau bagaimana nasib TKI bila dipulangkan dari luar negeri (seperti yang terjadi di Malaysia beberapa waktu lalu). Belum lagi ketakutan apabila kita diembargo, sehingga tidak bisa mengimpor suku cadang alat-alat militer, padahal tak sampai setengah dari pesawat tempur kita yang bisa terbang, atau kapal patroli kita yang laik berlayar. Tidaklah heran apabila kekuatan hankam kita hanya bisa “menonton” ketika kedaulatan wilayah kita dilecehkan asing, baik oleh kapal induk dan pesawat militer yang melintas tanpa pemberitahuan (buru-buru minta izin), atau oleh penjarah kayu, pencuri ikan, dan pengeruk pasir laut ilegal.
Politik kita menjadi politik malu-malu. Bahkan dengan sukarela, kita mengundang intelijen asing untuk “membongkar sarang teroris”, yang tak lain adalah warga negara kita sendiri. Kita pun enggan mengusir LSM asing yang aktivitasnya berada di daerah konflik (seperti Aceh dan Maluku). Padahal, aktivitas mereka bukan tidak mungkin akan berbahaya dan merugikan.
Kita menjadi canggung dan ragu untuk berani mengkritik kezaliman asing (seperti kezaliman Amerika di Afghanistan dan Irak, kezaliman Rusia di Cechnya), karena kita punya ketergantungan pada negara-negara asing tersebut. Kita juga takut kevokalan itu berakibat buruk pada ekspor produk, impor teknologi, TKI, dan mahasiswa yang mendapat beasiswa. Kalau vokal saja takut, bagaimana mungkin bisa melakukan action untuk membantu saudaranya yang diserbu agresor.
Budaya kita juga semakin bergantung pada pihak asing. Kita sampai-sampai tidak bisa membayangkan andaikata televisi kita menghentikan tayangan impor. Persentase tayangan produksi dalam negeri tak lebih dari 20%, dan itupun sebagian besar merupakan jiplakan yang berkualitas rendah dari tayangan impor. Gaya hidup kita telah diwarnai sepenuhnya dengan budaya dan pandangan hidup asing. Kita lebih mengenal the Hollywood daripada the Holly Qur’an (kitab suci al-Quran). Wanita-wanita kita lebih mengenal trend fashion ala Paris daripada busana menutup aurat yang disyariatkan Islam. Pun demikian halnya dengan anak-anak kita yang lebih bangga menjadi “modern” seperti orang Barat daripada menjadi saleh yang diajarkan Islam. Modern dalam terminologi mereka adalah makan, berpakaian, bergaul, berekspresi, dan menghabiskan usianya seperti orang Barat. Termasuk menirukan ritual atau tradisi Barat (seperti pesta tahun baru atau Valentine Day). Pelajar kita lebih bangga lancar berbahasa Inggris, daripada lancar berbahasa Arab. Selain itu, tentu saja, mereka juga lebih tersanjung bila dikirim untuk sekolah di Barat, untuk belajar studi Islam pada “pakar Islam” yang notabene nonmuslim, daripada sekolah di Timur Tengah pada seorang fakih yang alim dan saleh.
Intinya, dalam segala lini, baik ekonomi, politik, hankam, maupun sosial-budaya, kita bergantung pada kekuatan asing. Bahkan, pada wilayah yang seharusnya menjadi benteng terakhir kita, yaitu ahlak dan ibadah, kita masih harus menunduk pada asing. Rating korupsi di negeri ini ditempatkan oleh banyak LSM internasional menjadi salah satu yang terparah di dunia. Ironisnya, (salah satu) gudang korupsi di Indonesia itu terdapat di Departemen Agama, yang seyogyanya tampil lurus dengan label islam. Kita bahkan pernah berwacana untuk membayar hakim-hakim asing dalam rangka mengadili koruptor di negeri ini.
Sementara itu, aktivitas ibadah pun sudah begitu terkontaminasi, sehingga umat kita sering mencari idola asing. Mereka begitu gembira kalau mendengar selebriti asing (semacam Neil Amstrong) masuk Islam– walaupun ternyata berita itu isapan jempol. Mereka bahkan menyebut Lady Diana (mantan istri Pangeran Charles) dengan sebutan “almarhumah” dan sangat sedih saat kematiannya. Alasannya, konon mendiang, beberapa saat sebelum kepergiannya yang tragis telah “mempelajari Islam”. Kalau boleh kita menimbangnya secara proporsional, Lady Di hanya hidup bersama (kumpul kebo) dengan jutawan Arab flamboyan, Dodi al-Fayed. Kerancuan seperti ini bahkan masuk lebih jauh lagi. Berbagai “cendekiawan muslim” di negeri ini merasa perlu mempelajari “pengalaman spiritual” dari “agama lain” agar menjadi (lebih) saleh. Ujung-ujungnya, mereka merasa “menemukan kebenaran Islam” pada agama lain.

Penyebab
Kita menjadi sangat bergantung karena mind-set kita, cara berpikir kita sudah terkooptasi, terjajah habis-habisan. Menurut Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang monumental “Muqaddimah”, dinyatakan bahwa hal tersebut adalah wajar terjadi pada bangsa-bangsa yang pernah terjajah. Bangsa terjajah cenderung mengikuti cara hidup penjajahnya. Kita sudah sekian lama tak lagi mengenal spirit yang pernah memerdekakan kita dari penjajahan. Islam adalah ajaran yang memberi orientasi agar manusia hanya menghamba kepada Allah Swt., tidak kepada hawa nafsu, atau kepada manusia lain. Islam memberi misi agar manusia melawan segala bentuk penjajahan manusia, dan menjadikan aturan dari al-Khaliq--Pencipta alam semesta yang tidak punya kepentingan--sebagai acuan dalam mengatur kehidupan bersama untuk memberi rahmat bagi semesta alam. Akan tetapi, spirit itu telah lama hilang. Spirit ini meredup ketika pemikiran kaum muslim tidak lagi menjaganya, ketika nilai-nilai spirit ini tidak lagi diwariskan pada anak cucunya, atau disebarkan pada manusia lain. Oleh karena itu, spirit ini praktis hilang ketika tergantikan oleh kecintaan terhadap dunia, ketika amar makruf nahi munkar diabaikan, kemudian dakwah dan jihad ditinggalkan.
Suatu ketika, institusi negara Islam (Daulah Khilafah Islamiah) yang pernah megah dan jaya berdiri, lambat-laun digerogoti penyakit ketuaan. Daulah Islam tidak lagi penuh energi sehingga dapat menggerakkan manusia untuk berhamba kepada Allah saja. Dengan menerapkan syariat kita berupaya menghilangkan kezaliman dan penindasan di muka bumi dan menggantikannya dengan rahmat keadilan dan keberkahan Islam. Daulah Khilafah yang semakin melemah dan terkorupsi oleh aparatnya sendiri, tidak sanggup lagi bertahan ketika satu persatu wilayahnya dicaplok oleh penjajah asing. Bahkan, akhirnya, Daulah Khilafah itu sendiri dibubarkan oleh warganya yang menjadi pengkhianat dan agen asing, yaitu oleh Mustafa Kemal Attaturk, pada 1924.
Setelah 80 tahun, makin kabur gambaran spirit Islam ketika masih diemban oleh sebuah institusi yang bernama negara. Tidak banyak lagi kaum muslim yang mengetahui bahwa kondisi ketergantungan pada asing ini adalah baru, dan sebenarnya belum lama kaum muslim mengalami keterpurukan semacam ini.

Solusi Islam
Dari sisi nonfisik, untuk mendobrak ketergantungan ekonomi ini, harus dimulai melalui sosialisasi paradigma kemandirian yang digali dari Islam. Tak boleh sedikit pun ada peluang yang akan membuat kita menjadi bergantung pada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor), maupun politik.
“…Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” (TQS An-Nisaa’ [4]: 141).

Adapun dari sisi fisik, seluruh pengembangan dan pembangunan alat-alat teknologi produksi dan distribusi, harus mampu dimodifikasi untuk menyediakan keperluan dakwah dan jihad pada saat dibutuhkan. Industri alat-alat berat yang pada saat damai membuat kereta api atau alat-alat dapur, pada saat perang harus mampu dengan cepat disulap menjadi industri tank atau senapan otomatis.
“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; tapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” (TQS al-Anfaal [8]: 60).
Kemampuan semacam ini pula yang dimiliki oleh setiap negara industri maju. Pada saat Perang Dunia Kedua, banyak panci di Jerman yang oleh Hitler diperintahkan untuk segera menyiapkan puluhan ribu pucuk senapan untuk tentara. Di Amerika Serikat pun, pabrik-pabrik pesawat seperti Boeing dan Lockheed Martin, memiliki cetak biru yang baik untuk produksi pesawat sipil atau militer. Pada saat Perang Teluk, mereka diperintahkan menukar prioritas produksi ke pesanan-pesanan Pentagon.

Perlu suatu Revolusi Damai
Semua kemampuan tersebut di atas tentu saja tidak bisa didapat kecuali ada suatu revolusi ekonomi, yang, antara lain, terdiri atas revolusi teknologi, industri, dan informasi. Pola alih teknologi yang ada selama ini, apalagi dalam frame pinjaman asing, tidak akan pernah membuat kita benar-benar mandiri. Kita hanya dididik untuk memakai teknologi afkiran produksi negara donor.
Kita hanya akan mampu mandiri, bila kita melalui loncatan teknologi, yaitu sebuah revolusi industri. Revolusi ini akan terjadi, bila pada masyarakat terdapat pemikiran untuk mandiri, bukan pemikiran untuk tergesa-gesa menikmati. India dan Cina adalah contoh terbaik abad 20.
Seseorang yang mengunjungi Pusat Ruang Angkasa India akan menyaksikan, bahwa institusi yang telah berhasil membuat dan meluncurkan sejumlah satelit India itu terkesan amat sederhana. Bahkan, yang berpendingin udara hanyalah ruang pimpinan dan ruang rapat, selebihnya hanyalah kipas angin. Akan tetapi, yang menyolok, baik AC maupun kipas angin itu, dan juga seluruh fasilitas yang sangat canggih di sana, semua buatan India! Di jalan-jalan juga jarang disaksikan kendaraan Jepang atau Eropa. Biarpun belum bisa ngebut “kayak setan”, tapi buatan India!
Demikian juga Cina, ketika Mao Tse Tung ditanya kapan Cina akan melakukan intensifikasi pertanian dengan menggunakan traktor, dia menjawab, “Kita akan pakai traktor, setelah kita bisa bikin traktor!”. Meskipun demikian, impor barang-barang industri buatan luar negeri tetap berstatus mubah seperti hukum asalnya. Namun, khalifah berhak melakukan tabanni (adopsi) atas aturan-aturan yang membatasinya, baik yang bersifat bilateral (seperti tarif bea masuk atau kuota), maupun unilateral bila dipandang perlu untuk melindungi negara Islam.

Investasi
Membangun sebuah ekonomi yang mandiri, apalagi dalam konteks revolusi industri, memerlukan investasi yang besar. Di Barat, investasi itu biasa didapatkan dengan pinjaman dari konsorsium perbankan atau dengan divestasi saham ke publik, misalnya melalui Bursa Efek. Pada sistem kapitalis, negara hanya menjadi regulator, tidak terlibat langsung. Oleh karena itu, ketika investor asing masuk ke negeri-negeri Islam, mereka menginginkan sistem yang sama. Hasilnya, sektor ekonomi yang besar dan padat modal di negeri-negeri ini dimiliki oleh kapitalis-kapitalis besar, yang mayoritas tentu saja orang asing. Akan tetapi, akan sangat mengerikan bila hal ini terkait dengan sektor ekonomi yang mengurusi hajat hidup orang banyak, seperti energi atau infrastruktur. Dengan hal ini, masyarakat yang tak punya pilihan akhirnya terpaksa membeli dengan harga yang monopolistik.
Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya tidak bisa dimiliki oleh individu. Kepemilikannya adalah milik seluruh umat. Negara menjadi pengelola untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Kalaupun ada individu yang terlibat dalam pencarian, produksi atau distribusinya, ia hanya dibayar sesuai dengan kerjanya; bukan dengan pola bagi hasil seperti seakan-akan dia bagian dari pemiliknya. Karena pada hakikatnya, hak kepemilikan umum tidak bisa dialihkan kepada siapa pun.
Hukum perindustrian dalam sektor yang merupakan kepemilikan umum akan mengikuti hukum asalnya, yaitu hukum kepemilikan umum. Negara sebagai pengelola akan menghimpun dana guna membangun teknologi, eksplorasi sumber alam, hingga distribusi hasil industri itu. Bila Rasulullah menyebut “air, api dan padang gembalaan”, hal ini berarti termasuk pada seluruh industri pertambangan, pembangkit listrik, dan industri pengolahan hasil hutan. Bila Rasulullah menyebut jalan-jalan yang tidak boleh dikapling-kapling, ini berarti termasuk seluruh infrastruktur transportasi dan telekomunikasi.
Bila dikatakan negara tidak punya uang, maka negara bisa menarik pajak secara temporer kepada para aghniya di negeri itu, dan bukan berutang ke luar negeri, dan bukan pula mengizinkan swasta masuk dengan prinsip BOT ataupun konsesi. Di samping itu, bila dikatakan bahwa industri yang dikelola negara tidak efisien dan merupakan ladang KKN, pertanyaannya, apakah tidak mungkin swasta tidak efisien dan menjadi ladang KKN. Jangan-jangan, KKN di sektor swasta tidak disebut KKN karena dianggap milik individu! Berdasarkan hal ini tampak bahwa masalah membebaskan diri dari ketergantungan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus terpadu dengan aturan-aturan syariat yang lain. Misalnya aturan syirkah, perekrutan karyawan, ijarah, pengawasan harta pejabat, manajemen; bahkan lebih jauh lagi dengan aturan-aturan pendidikan, pergaulan, makanan-minuman, dan ibadah.
Hal yang dapat membuat seluruh aturan-aturan ini terislamisasi tentu saja hanyalah revolusi akidah pada masyarakat. Karena itu, revolusi industri harus didahului dengan revolusi akidah. Akidahlah yang akan membuat kepemimpinan ideologis, sehingga seluruh cara berpikir umat berubah. Ini pulalah yang membuat Rasulullah memulai dengan dakwah akidah yang bersifat ideologis. Ketika dakwah ini berhasil diemban oleh sebuah negara, seluruh aktivitas politik (termasuk politik perindustrian) dilaksanakan atas dasar ideologi itu, sehingga kemudian makin memperkuat kemandirian negara Islam itu. Dengan begitulah, para adikuasa saat itu bisa ditundukkan. Masa tersebut akan terulang, ketika aktivitas dakwah kita meniru pola yang Rasulullah terapkan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab

No comments: