Tuesday, April 24, 2007

HUKUM DAN PEMBUAT HUKUM

HUKUM DAN PEMBUAT HUKUM

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, dan bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang bermanfaat bagi manusia, dan air yang telah Allah turunkan dari langit, yang menyuburkan bumi setelah matinya, dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, serta pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran) bagi kaum yang memikirkan”. Al Quran surat al-Baqarah (2): 164

Metafora ‘Hukum Alam’ yang eksplisit membutuhkan waktu lama untuk muncul dalam khasanah ilmiah. ‘Hukum Alam’ bukanlah ungkapan yang kerap digunakan oleh orang-orang Yunani, dan pertama kali muncul dalam konteks modern dalam kajian optik oleh Roger Bacon (1210-92) ketika ia berbicara tentang hukum refleksi dan refraksi, dan tentang hal-hal yang tidak mengikuti ‘Hukum Alam’. Ia juga menggunakan istilah ‘law’ (lex) untuk menggambarkan keteraturan di Alam sedikit banyaknya seperti yang kita lakukan sekarang. Tapi Roger Bacon tidak mengambil gagasan ini dari gagasan religius tentang keesaan Pembuat Hukum Yang Mahasuci, seperti yang banyak diperkirakan banyak kalangan. Ia justru melihat banyak aturan berbeda untuk kelas fenomena tertentu. Ia tidak menyerukan gagasan yang lebih umum tentang serangkaian ‘Hukum Alam’ dengan satu sumber.
Jadi, ia menggunakan istilah lex dan regula ketika berbicara tentang Alam. Lex menjelaskan aturan yang diturunkan oleh pemilik otoritas, sementara regula (rule) adalah panduan atau standar untuk menilai sesuatu, dan pengertian inilah yang lazim dengan ungkapan sekarang ‘as a rule’, yang bermakna ‘usually’. Pada akhirnya kedua istilah itu berbeda maknanya, lex merujuk pada sesuatu yang terdapat secara inheren pada sesuatu yang menyebabkan sesuatu itu berperilaku sedemikian rupa, sementara regula berubah menjadi regularity (keteraturan), sifat peristiwa atau rangkaian fenomena alamiah. Bagi Bacon, hukumnya tentang cahaya merujuk pada keteraturan Alam, dan bukan ketetapan Tuhan.
Pandangan yang lebih teleologis bahwa ‘Hukum Alam’ adalah ketentuan Ilahi[1] muncul terutama di kalangan astronom, yang tidak memanipulasi Alam untuk mengambil informasi, tetapi dengan mengamati langit. Tycho Brahe (1546-1601) bahkan mengklaim bahwa,
“Hukum gerak benda langit yang menakjubkan dan terus-menerus, begitu beragam tapi sangat harmonis, ini membuktikan keberadaan Tuhan”.
Al Quran Al Karim, kitab suci kaum Muslim, juga menyebutkan gagasan Pembuat Hukum Yang Mahasuci dalam banyak ayatnya, secara eksplisit mengarahkan manusia untuk mencari hukum-hukum itu yang darinya manusia dapat meyakini keberadaan Pembuat Hukum.
Hubungan antara Al Quran dan sains ternyata sangat harmonis. Di Barat, para saintis sudi menyebut-nyebut Nasrani atau Yahudi ketika mendiskusikan sains dan agama, tapi mereka tidak melakukan hal yang sama terhadap Islam. Atau ketika disebutkanpun biasanya digeneralisasikan.
Al Quran tidak bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum mengenai Alam Semesta, melainkan memberikan panduan agar manusia merenungkan hukum-hukum itu, untuk mengamati alam semesta secara mendalam dan cermat sehingga sampai pada hakikat hukum-hukum itu. Al Quran mendorong manusia untuk memikirkan keajaiban penciptaan dalam setiap level, mulai dari pergerakan planet-planet, hingga perkembangan bayi dalam kandungan, penyerbukan bunga, dan pembentukan berbagai gunung dan benua.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. Al Quran [3]: 190
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Al Quran [88]: 17-20
Penggabungan serupa tentang keteraturan Alam dengan gagasan injil tentang ‘Pembuat Hukum’ yang ada di langit menanggung keseragaman Alam juga diadopsi oleh Descartes dan Kepler. Tapi secara bertahap para investigator ini menyadari bahwa mereka tidak memiliki keperluan terhadap pandangan asal usul keteraturan yang terdapat di Alam. Seandainya mereka percaya bahwa keteraturan itu ada, mereka membuat kemajuan dengan mengamati dan mencatat pengamatan mereka dalam rangkuman matematis tanpa membutuhkan filsafat sains. Setelah melihat sekilas keteraturan di balik dunia ini, Kepler dan Copernicus termotivasi terutama oleh hasrat mereka untuk mengungkapkan lebih banyak lagi, bukan untuk menginterpretasikannya atau menggunakannya untuk mendukung filsafat ekstra-sains. Makna dan metode sains mulai menempuh jalannya masing-masing.
Kepler (1571-1630 C.E) merupakan salah seorang saintis pertama yang mengeksploitasi suatu keyakinan dalam kesederhanaan dan keharmonisaan Alam untuk membimbing pemikirannya tentang ‘Hukum Alam’. Sebagai seorang realis yang bersemangat tinggi, ia percaya bahwa Tuhan telah menciptakan Alam Semesta menggunakan pola dasar tertentu yang juga muncul di pikiran manusia karena dibuat dalam citra Tuhan. Ini berarti mustahil bagi manusia untuk memahami Alam.
Gagasan bahwa ‘Hukum Alam’ yang dikemukakan oleh Kepler dan lain-lain, semata-mata deskripsi temporer yang tidak mengandung kebenaran atau nilai, tidak bisa diterima oleh Kepler. Ia berargumen bahwa tidak mungkin ada representasi ‘Hukum Alam’ yang berbeda, tapi ekuivalen, pada saat yang sama. Jika ‘Hukum Alam’ itu dipelajari lebih jauh, dan dibandingkan dengan observasi yang memadai, semua kecuali satu akan tampak berbeda dengan observasi setidaknya dalam satu poin krusial. Jadi, hanya ada satu di antara representasi-representasi ekuivalen itu yang benar.
Kepler juga bertanggungjawab karena mengungkapkan ‘Hukum Alam’ sebagai persamaan matematika. Begitu berhasilnya pengungkapan ini sehingga menjadi modus operandi sains: ‘Hukum Alam’ yang sejati kini tanpa kecuali adalah hukum matematika. Pandangan abad pertengahan telah dimulai dengan menganggap peristiwa-peristiwa fisik sebagai simbolis, tapi pandangan ini berakhir ketika peristiwa-peristiwa itu digantikan oleh simbol-simbol matematika. Simbol-simbol itu bersifat universal. Hal itu memungkinkan sains tumbuh di berbagai tempat berbeda dan mampu mengkomunikasikan temuan-temuannya secara tidak ambigu. Segala sesuatu tidak lagi ‘dijelaskan’ jika tujuan teleologisnya dapat diketahui: sesuatu itu konsisten, jika dapat direduksi hingga mencapai sebuah pola matematis. Pada akhirnya hal ini menjadi definisi implisit dari penjelasan saintifik.
Rumusan Kepler tentang hukum-hukum matematika, yang dibuat berdasarkan data observasi, tidak sepenuhnya memuaskan. Hukum pertamanya tentang pergerakan planet menyatakan bahwa planet-planet bergerak dalam orbit elips. Tapi hukum semacam ini tidak memungkinkan seseorang memprediksi akan berada di mana sebuah planet pada satu waktu di masa depan berdasarkan pengetahuan tentang posisinya yang terkini. Perkembangan semacam ini membutuhkan ‘perkawinan’ antara gambaran astronomis Kepler dengan teknik matematika yang lebih ampuh.
Langkah pertama menuju ke sana dilakukan di Pizza oleh koresponden Kepler yang brilian, Galileo Galilei (1564-1642 C.E). Galileo tidak puas untuk mendeduksi ‘Hukum Alam’ dari observasi, tapi mulai memanipulasi Alam untuk membuat ‘Hukum Alam’ terbukti secara transparan. Untuk menangkap nuansa jatuhnya benda karena gravitasi, ia menggelindingkannya di bidang yang miring sehingga efeknya diperlambat dan memungkinkan untuk dipelajari.
Galileo mampu membentuk dan menguji perkiraan-perkiraan dengan kemampuan yang hebat, dan secara perlahan-lahan membangun deskripsi matematis tentang pergerakan melalui eksperimen sistematis terhadap Alam. Ia menunjukkan bahwa hukum gerak Aristoteles tidak sesuai dengan hasil observasi. Aristoteles sebenarnya bisa saja mengetahui hal ini, tapi yang Galileo mampu lakukan, dan Aristoteles tidak mampu melakukannya, adalah percaya terhadap ‘eksperimen pemikiran (thought experiments)’ di mana tubuh jatuh tanpa ada hambatan (dalam keadaan vakum!).
Dengan idealisasi kevakuman ini ia mengisolasi ciri-ciri esensial fenomena gerak dari ciri-ciri yang tidak esensial. Kebiasaan membuat kerangka eksperimen mental imajiner ini menunjukkan sejauh mana metode ilmiah yang baru dapat menentukan cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah. Hasil dari langkah-langkah ini ialah, untuk pertama kalinya, kesatuan fisika untuk diterapkan dalam seluruh fenomena. Inilah sains pertama yang ‘tampak’ dan ‘terasa’ modern. Metodologi dasarnya agak berbeda dengan filsafat alam sebelumnya. Herbert Dingle menilai bahwa karakteristiknya…
“... adalah kontrol-mandiri (self-control), pembatasan secara sengaja terhadap tugas memperluas pengetahuan keluar dari yang teramati ke yang tidak teramati bukannya memaksakan prinsip-prinsip universal khayalan terhadap dunia yang teramati. Itulah karakteristik esensial dari manusia sains, yang membedakannya secara fundamental dengan filsuf sains”.
Dan, setelah mencapai hal ini dan yang lainnya, Galileo melakukan hal lain yang juga khas modern: ia membuat catatan ‘populer’ tentang temuannya bagi publik.

[1] Sungguh menarik mengingat pandangan abad pertengahan, diwakili oleh Aquinas, yang memandang tendensi bawaan Aristotelian sebagai aspek-aspek dunia alamiah yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Akan tetapi, dalam usahanya ini karakter dasar mereka tetap tidak berubah. Menurut pandangan ini, hubungan Tuhan dengan Alam ialah sebagai mitra/rekanan, bukan sesuatu yang berdaulat seperti dalam pandangan mekanis ketika Hukum Alam dipaksakan terhadap Alam dari luar. Pandangan terakhir ini melakukan klaim terhadap pandangan sebelumnya setelah penghukuman pandangan-pandangan Aristotelian oleh Bishop of Paris, Ptienne Tempier, pada 1277. Penghukuman itu terfokus pada konsepsi Aristotelian yang terlihat membatasi kehendak Tuhan dalam mengatur Alam Semesta – misalnya penciptaan kehampaan. Hal ini membuka peluang bagi Hukum Alam yang dipaksakan secara bebas dari doktrin mekanistik. Lama kemudian, pandangan ini dianggap kondusif bagi para teolog era Reformasi, semisal Luther dan Calvin, yang menaruh perhatian besar terhadap kedaulatan Tuhan dan ketetapan takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan. Para Reformis itu percaya bahwa tidak ada tendensi bawaan dari zat yang dapat menentukan gerak sesuatu: hanya Tuhan yang dapat menentukan perilaku semacam itu; dan Hukum Alam adalah ekspresi dari kontrol diktatorial tersebut.

No comments: