Gradualisme (Tadarruj)
Salah satu pemahaman yang kini menyebar luas di kalangan umat Islam adalah konsep gradualisme (tadarruj). Logika dari ‘metode’ ini ialah bahwa Islam adalah agama yang besar sehingga mustahil menerapkan Islam secara serta-merta. Oleh karena itu, upaya penerapan syariat Islam harus dilakukan secara gradual, bertahap. Konsekuensinya, penerapan Islam dengan cara seperti ini akan memerlukan waktu yang panjang untuk dapat mengembalikan Islam ke dalam kehidupan kaum muslim. Normalnya, proses ini akan melibatkan pembagian kekuasaan (power sharing) dengan pemerintahan yang ada dan perjuangan dengan cara terlibat di dalam sistem tersebut.
Sejumlah argumentasi dikemukakan untuk menjustifikasi pandangan gradualisme ini, misalnya ‘al-Quran diturunkan secara bertahap dan al-Quran turun sesuai dengan masalah yang saat itu muncul’. Fakta bahwa Allah Swt. mengharamkan alkohol dalam tiga tahap juga menjadi argumentasi penganut gradualisme.
Argumentasi lain ialah sebuah kaidah syara’ yang berbunyi: ‘Sesuatu yang tidak dapat diraih seluruhnya jangan ditinggalkan seluruhnya’. Berdasarkan kaidah ini muncul anggapan bahwa Islam yang sebagian lebih baik daripada tidak sama sekali.
Umat Islam perlu menyadari bahwa argumen-argumen di atas tidak ada satu pun yang merupakan argumen yang syar’i dan konsep gradualisme (tadarruj) itu bukan hanya salah, melainkan juga bertentangan dengan dalil-dalil qath’i. Perkara pertama yang harus dicamkan adalah konsep bahwa Islam mustahil diterapkan berarti sama dengan mengatakan bahwa Allah Swt. telah menurunkan agama yang tidak praktis! Hal ini bertentangan dengan keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang praktis yang telah Allah Swt. sempurnakan bagi umat manusia. Allah swt berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya” (QS al-Baqarah [2]: 286).
Dalam ayat tersebut Allah Swt. menegaskan bahwa Dia tidak akan membebani umat dengan suatu kewajiban yang umat tidak mampu melaksanakannya dan yang mustahil diemban oleh umat. Artinya, mengembalikan Islam adalah perkara yang mungkin sekaligus wajib untuk dilakukan.
Pendapat bahwa menegakkan Islam secara total adalah hal yang mustahil menjadi inti pemikiran gradualisme, sebuah pemikiran yang pragmatis dan justifikasi kepraktisan. Gradualisme tidak saja bertentangan dengan Islam tapi juga pandangan yang tidak melihat realitas perubahan politik. Perubahan yang dilakukan Nabi saw. tiga belas abad yang lalu adalah perubahan yang radikal. Naiknya Komunisme di Soviet juga suatu perubahan radikal. Bahkan, digantinya Komunisme oleh Kapitalisme pada awal 1990-an adalah juga sebuah perubahan radikal. Kalau akidah dan sistem yang rusak semacam Komunisme dan Kapitalisme saja bisa diterapkan melalui perubahan radikal seperti itu, lantas kenapa Islam sebagai akidah dan sistem yang benar, tidak bisa? Jadi, konsep bahwa Kebangkitan Islam sebagai hal yang mustahil adalah pemikiran yang keliru dan menggambarkan sikap pesimistis terhadap umat dan terhadap Islam itu sendiri.
Adapun klaim bahwa al-Quran diturunkan secara bertahap, dan karena itu dapat diterapkan secara bertahap pula, merupakan pernyataan yang bertentangan dengan al-Quran dan proses turunnya. Awalnya al-Quran memang diturunkan sesuai dengan permasalahan, pertanyaan, perdebatan, dan situasi politik yang terjadi pada saat itu. Hal ini kemudian melahirkan cabang ilmu al-Quran yang dikenal dengan asbabun nuzul, sebab-sebab turunnya ayat. Sebagai contoh, berikut adalah peristiwa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Vol. 6 No. 109). Urwah meriwayatkan bahwa az-Zubair berselisih dengan seorang lelaki dari Anshar mengenai sumber air alami di al-Harra. Nabi saw. lalu bersabda, “Wahai Zubair, airilah tanahmu, lalu biarkan air itu mengalir ke tetanggamu.” Orang Anshar itu berkata, “Wahai Rasulullah, dia adalah sepupumu”. Ucapan orang Anshar itu membuat wajah Nabi saw. memerah saking marahnya, lalu beliau bersabda, “Zubair, airilah tanahmu, lalu tahanlah airnya hingga melampaui tembokmu dan biarkan mengalir ke tetanggamu.” Dalam kasus ini Nabi saw. membiarkan az-Zubair memperoleh haknya setelah orang Anshar itu melakukan provokasi yang membuat beliau marah. Padahal, sebelumnya Nabi saw. telah memberikan keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak. Terkait hal ini az-Zubair mengatakan, “Saya pikir peristiwa ini menjadi sebab turunnya ayat berikut:”
“Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasakan suatu keberatan di hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati” (QS al-Nisaa’ [4]: 65).
Setiap kali muncul masalah yang membutuhkan hukum, turun ayat al-Quran sebagai jawabannya. Sejumlah riwayat mengisahkan bagaimana para sahabat r.a. mendekati Rasulullah saw. (untuk meminta suatu hukum) dan beliau tetap diam sampai kemudian Allah Swt. menurunkan hukum tentang masalah yang ditanyakan. Contohnya adalah kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut. Jabir r.a. meriwayatkan: Bahwa Nabi saw. dan Abu Bakar r.a. datang membesukku di kediaman Banu Salamah. Nabi saw melihat aku tidak sadarkan diri, lalu beliau meminta air dan memercikkan air itu ke mukaku. Aku tersadar lalu bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang harus kulakukan dengan kekayaanku?” Diriwayatkan bahwa Nabi saw. terdiam sejenak hingga kemudian turunlah ayat tentang waris (Bukhari, Jilid 6, no. 101).
Demikianlah, setiap muncul peristiwa yang memerlukan kepastian hukum selalu dijawab oleh Islam dengan turunnya ayat al-Quran dan setelah hukumnya jelas seketika itu juga hukum itu diterapkan. Tidak ada kecenderungan sedikit pun untuk menerapkan setiap hukum syara’ secara bertahap. Dengan demikian, jelas sudah bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mengabaikan hukum Allah Swt. dan menunda pelaksanaannya, karena hal itu berarti sama saja dengan menuduh beliau berhukum selain dengan yang diturunkan Allah Swt., dan itu berarti hukum kufur.
Kewajiban untuk berhukum dengan Islam dan keharaman untuk berhukum dengan hukum kufur mana pun adalah perkara yang telah diketahui secara pasti di dalam Islam dan tidak memungkinkan adanya interpretasi lain. Karena itu, penerapan secara bertahap dalam kekuasaan, atau dalam berbagi kekuasaan, dalam segala bentuknya, adalah perkara yang dilarang. Allah Swt. berfirman:
“Siapa saja yang tidak memutuskan berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS al-Maa-idah [5]: 44).
Ketika menafsiri ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan pandangan Ibnu ‘Abbas r.a. dan para mufasir lain bahwa siapa pun yang tidak meyakini kelayakan syariat, atau bahkan satu saja aturan dari Syariat Islam, adalah kafir. Selain itu, penguasa yang menjalankan kekuasaannya berdasarkan aturan selain Islam sambil meyakini bahwa apa yang dilakukannya adalah benar, maka ia kufur. Akan tetapi, penguasa yang menjalankan sistem kufur, tapi ia sadar bahwa ia melakukan kekufuran, maka tidak dikatakan kufur, tetapi dosa besar (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Jilid 2, hlm. 60-66). Jadi, gradualisme dan pembagian kekuasaan adalah hal yang dilarang dan bukan metode Islam dalam menciptakan perubahan politik.
Jelas bahwa Islam melarang setiap upaya untuk memanfaatkan struktur demokrasi yang kini tampil, baik itu dengan cara meraih posisi menteri dalam kabinet pemerintahan yang menerapkan sistem kufur maupun dengan cara yang lain. Larangan tersebut juga mencakup dukungan terhadap partai politik kufur yang melanggengkan sistem kufur di negeri-negeri Islam, dalam rangka memperoleh pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Demikian pula dengan upaya meloloskan undang-undang yang berupaya menerapkan sebagian dari syariat Islam, lalu melakukan voting dalam masalah itu adalah perkara yang terlarang. Hal ini berarti membuat manusia memiliki kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan hukum Allah dan ini jelas-jelas bertentangan dengan Akidah Islam.
Ide-ide seperti itu harus disingkirkan dari benak umat Islam. Umat seharusnya sadar bahwa pemikiran-pemikiran keliru itu justru menjadi hambatan bagi umat Islam dalam mengubah kondisi dan menegakkan kembali Khilafah. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran semacam itu harus dibuang jauh-jauh.
Tuesday, April 24, 2007
Gradualisme (Tadarruj)
Posted by Harist al Jawi at 9:21 PM
Labels: Artikel Fiqh
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment