Saturday, April 21, 2007

DAKWAH ISLAM

Pada masa awal kenabian Muhammad saw., tanah dan kekayaan bangsa Arab tidak berada di tangan mereka sendiri, tetapi berada di tangan pihak lain. Di utara, Syam berada di bawah hukum Romawi. Romawi menunjuk seorang Arab untuk menjadi penguasa setempat. Di selatan, Yaman di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia dan dipimpin oleh penguasa lokal yang juga dari kalangan Arab. Praktis orang Arab hanya menguasai Hijaz, Tuhamah, dan Najd, daerah-daerah gurun yang sangat kering dengan sedikit oasis di sana-sini.
Telah sama-sama kita ketahui bahwa sejak sebelum menjadi nabi, Muhammad saw. sudah digelari al-Amin ash-Shadiq oleh orang-orang Makkah. Lima belas tahun sebelum dimulainya masa kenabian, para pemuka Quraisy pernah memintanya menjadi hakim dalam masalah peletakan Hajar Aswad dan mereka senang dengan keputusan yang beliau ambil. Nabi Muhammad saw. adalah keturunan Bani Hasyim, kabilah terhormat di kalangan suku Quraisy. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw. sebenarnya mampu membangkitkan semangat nasionalisme Arab di kalangan orang-orang Arab dan menyatukan mereka semua. Mereka akan mudah menyambut seruan itu karena mereka sudah terbiasa terlibat dalam perang antarsuku yang penuh dengan pertumpahan darah. Karena itu, Muhammad saw. sebenarnya juga bisa saja membebaskan tanah Arab dari dominasi imperialisme Romawi dan Persia dan bisa saja mendirikan semacam negara Arab bersatu (Pan-Arabisme).
Dapat dikatakan pula bahwa jika Nabi Muhammad saw. menyeru orang-orang dengan seruan nasionalisme Arab, seluruh Arab akan menyambutnya dengan sukacita. Kemudian, tidak akan ada penyiksaan selama tiga belas tahun, seperti yang beliau alami karena menentang kekuasaan di Jazirah Arab.
Bisa juga dikatakan bahwa jika Arab bersatu di bawah kepemimpinannya dan kekuasaan berada di tangannya, beliau boleh jadi akan menggunakan kekuasaan itu untuk memaksa mereka menerima Keesaan Tuhan, yang menjadi tujuan diutusnya beliau. Berikutnya, beliau mengajak orang-orang untuk berserah diri kepada Sang Pemelihara setelah mereka rela tunduk kepada penguasa mereka.
Namun, Yang Mahatahu dan Mahabijaksana tidak mengarahkan Rasul-Nya seperti itu. Dia membimbing beliau untuk secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada yang layak disembah selain Allah dan untuk bersikap sabar bersama para sahabatnya dalam menghadapi segala macam siksaan yang menimpa.
Mengapa demikian? Jelas, hal ini bukan karena Allah Swt. ingin menjerumuskan Rasulullah saw. dan orang-orang Mukmin kepada rezim yang represif. Dia Mahatahu tidak ada jalan lain. Yaitu, caranya bukanlah dengan membebaskan bumi dari tirani Romawi dan Persia untuk kemudian diganti dengan tirani Arab. Setiap tirani adalah buruk! Bumi ini adalah milik Allah Swt. dan harus disucikan demi Allah Swt. Bumi tidak akan pernah bisa suci, kecuali panji Laa ialaha illa Allah diposisikan dalam kekuasaan; tidak ada kedaulatan, kecuali kedaulatan Allah Swt.; tidak ada hukum selain hukum yang datang dari Allah Swt.; dan kekuasaan dalam segala aspek adalah milik Allah Swt. Islam hanya menghendaki agar orang-orang bersatu atas dasar keimanan seperti itu. Keimanan yang memandang seluruh manusia dari pelbagai ras dan suku bangsa, baik itu Arab, Romawi, maupun Persia, memiliki kedudukan setara di bawah panji Allah Swt. Inilah satu-satunya cara.
Pada masa kenabian Muhammad saw., masyarakat Arab mengalami masalah distribusi kekayaan dan masalah keadilan. Kelompok minoritas memonopoli kekayaan dan perdagangan, dan itu terus terjadi melalui praktik-praktik riba. Mayoritas masyarakat mengalami kemiskinan dan menderita kelaparan. Kekayaan juga dipandang sebagai sesuatu yang mulia dan menunjukkan kedudukan. Pada kondisi demikian, orang kebanyakan tidak hanya rendah dari segi materi, tapi juga tidak punya martabat dan kehormatan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw. sebenarnya bisa saja melakukan “gerakan sosial”, dengan menyatakan perang terhadap golongan yang kaya dan terhormat, mengambil kekayaan mereka, lalu mendistribusikannya kepada orang-orang miskin.
Dapat juga dikatakan bahwa jika Rasulullah saw. melakukan gerakan semacam itu, masyarakat Arab akan terbagi menjadi dua kelompok, kelompok mayoritas yang akan mendukung gerakannya karena mereka sudah muak dengan para tiran yang memiliki kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan. Sementara itu, satu lagi adalah kelompok minoritas yang menguasai semua kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan itu. Bisa saja gerakan sosial semacam itulah yang dilakukan Rasulullah saw., bukannya malah berkonfrontasi dengan masyarakat demi mengajak mereka pada tauhid, yang nyata-nyata menimbulkan penolakan yang luas kecuali dari segelintir orang-orang yang berhati mulia.
Bisa dikatakan bahwa setelah mayoritas orang bergabung dengan gerakan sosial itu dan memberikan kepemimpinan kepada Nabi saw., dan setelah mengontrol minoritas orang-orang kaya, maka beliau dapat menggunakan posisi dan kekuasaannya itu untuk menyerukan Keesaan Tuhan, tugas yang diberikan kepadanya selaku Rasul-Nya. Jika beliau mampu membuat manusia tunduk padanya, maka beliau dapat membuat mereka tunduk kepada Tuhan. Akan tetapi, Yang Mahatahu lagi Mahabijaksana tidak membimbing beliau ke jalan yang seperti itu.
Allah Swt. Mahatahu bahwa itu bukanlah jalan yang dikehendaki-Nya. Dia Mahatahu bahwa keadilan sosial yang sesungguhnya hanya dapat terealisasi jika seluruh urusan masyarakat diatur oleh hukum-hukum yang datang dari-Nya dan masyarakat secara keseluruhan bersedia menerima pembagian kekayaan secara adil yang diatur oleh-Nya. Lalu, setiap individu masyarakat, apakah si pemberi atau penerima, meyakini bahwa sistem itu telah ditetapkan oleh Allah Yang Mahakuasa, dan bahwa dengan menaati hukum itu, ia tidak hanya mendapat kesejahteraan di dunia, tapi juga kebahagiaan di akhirat kelak.
Masyarakat tidak boleh dibiarkan dalam keadaan sebagian serakah, sementara yang lain dibakar rasa cemburu sehingga urusan-urusan masyarakat ditentukan oleh pedang, ketakutan, dan ancaman. Dengan demikian, hati mereka menjadi rusak dan jiwa mereka hancur, seperti yang terjadi dalam masyarakat yang diatur oleh sistem kekuasaan yang tidak berasal dari Allah Swt.
Pada masa kenabian Muhammad saw.--dipandang dari segi mana pun--moralitas bangsa Arab sangatlah rendah. Penindasan menjadi menu sehari-hari, seperti yang digambarkan oleh penyair Zuhair bin Abi Salmah, “Orang yang tidak melengkapi dirinya dengan senjata akan musnah, dan orang yang tidak menindas akan ditindas.” Ungkapan lain yang terkenal di masa jahiliah mengatakan, “Bantulah saudaramu, tak peduli apakah dia tertindas atau penindas.”
Mabuk dan judi adalah tradisi masyarakat Arab dan mereka sangat bangga dengan kebiasaannya itu. Syair-syair pada masa jahiliah banyak yang bertemakan masalah mabuk dan judi.Turfah bin al-Abd mengatakan, “Seandainya tidak ada tiga hal yang memberikan kesenangan bagi seorang pemuda, maka aku tidak akan memedulikan segala sesuatu kecuali makanan. Salah satunya ialah kelebihanku dalam meminum anggur yang sangat keras sampai-sampai jika kautambahkan air, ia akan berbusa. Mabuk, hiburan, dan berjudi telah menjadi bagian dari hidupku hingga kini. Akhirnya, seluruh suku mengabaikanku, seolah-olah aku ini unta yang penyakitan.”
Perzinahan merajalela dalam segala bentuknya dan dianggap sesuatu yang membanggakan, persis seperti yang terjadi dalam setiap masyarakat jahiliah, baik pada masa lalu maupun saat ini.
Kalau begitu, bisa dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw. sebenarnya mampu berinisiatif melakukan suatu gerakan reformasi moral untuk meningkatkan standar moral di masyarakat, untuk memperbaiki masyarakat, dan untuk memperbaiki diri. Ini juga terjadi pada setiap reformis. Ia akan menemukan orang-orang yang jujur dan lurus yang juga tidak senang dengan degradasi moral yang terjadi di masyarakatnya. Orang-orang seperti ini dengan senang hati akan bergabung bersama Rasulullah saw. untuk bersama-sama melakukan gerakan reformasi moral.
Jadi, dapat dikatakan bahwa jika Nabi Muhammad saw. memilih jalan itu, beliau akan dengan mudah mendapat dukungan dari orang banyak. Dengan kebaikan moral dan spiritual yang dimiliki, kelompok orang-orang moralis ini akan lebih mudah menerima tauhid dan akan mudah mengemban tanggung jawab yang berhubungan dengannya. Dalam kondisi demikian, seruan Nabi Muhammad saw. bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Allah, tidak akan mendapatkan perlawanan dari masyarakat.
Namun, Allah Yang Mahatinggi mengetahui bahwa itu bukanlah jalan yang Dia kehendaki. Dia Mahatahu bahwa moralitas hanya dapat dibangun dengan keimanan. Keimanan yang memberikan standar, menciptakan tata nilai, menentukan dari mana standar dan nilai-nilai itu diambil, serta memberikan pahala bagi mereka yang menerimanya dan memberikan sanksi kepada mereka yang menyimpang atau melawannya. Tanpa keyakinan atau konsep kekuasaan seperti itu, seluruh nilai akan tetap labil, dan begitu juga, moralitas yang didasarkan pada keyakinan yang keliru akan tetap labil, tanpa perhitungan, tanpa kekuasaan, dan tanpa balasan (berupa pahala dan siksa)!
Ketika keyakinan telah menjadi kuat dan kekuasaan yang ditunjukkan oleh keyakinan itu telah diakui, ketika orang-orang mengakui Zat Pemelihara mereka dan hanya menyembah-Nya, ketika mereka telah terbebas dari penindasan orang lain dan dari hawa nafsunya sendiri, serta ketika kalimat Laa ilaaha illa Allah telah tertanam di dalam jiwa mereka, maka Allah Swt.-- melalui keyakinan itu dan melalui orang-orang beriman--akan mengaruniakan segala sesuatu yang dibutuhkan. Bumi terbebas dari kekuasaan Romawi dan Persia. Bukan agar muncul kekuasaan Arab, tapi agar kekuasaan Allah Swt. bisa ditegakkan dan agar bumi ini bersih dari segala bentuk penentangan terhadap-Nya, baik itu yang dilakukan oleh Romawi, Persia, maupun Arab.
Masyarakat terbebas dari segala bentuk penindasan, dan sistem Islam ditegakkan pada saat keadilan adalah keadilan Allah Swt. dan ketika neraca yang digunakan untuk mengukur baik-buruk adalah timbangan-Nya, yakni halal-haram. Panji keadilan berkibar dengan nama Tuhan Yang Esa, dan nama panji itu adalah Islam. Tidak ada kata sifat yang ditambahkan padanya, dan di sana tertulis kalimat Laa ilaaha illa Allah.
Pada kondisi itu, moralitas masyarakat terangkat. Hati dan jiwa menjadi suci. Tidak ada celah untuk pemberlakuan sanksi yang telah Allah Swt. tetapkan--kecuali dalam satu-dua kasus--karena kesadaran telah menjadi asas penerapan hukum. Keridhaan Allah Swt., harapan untuk mendapat pahala, serta ketakutan akan murka-Nya menggantikan kedudukan polisi dan hukuman. Umat manusia terangkat ke dalam tatanan sosial yang lebih baik, dalam hal moral ataupun seluruh aspek kehidupannya, hingga mencapai kesempurnaan yang belum pernah diraih sebelumnya dan yang tidak akan pernah diraih kecuali dengan Islam.
Jika seruan terhadap Islam tidak dilakukan dengan cara demikian, jika panji Laa ilaaha illa Allah dikesampingkan, dan jika tidak diambil jalan yang tampaknya sulit dan penuh cobaan, padahal sesungguhnya mudah dan penuh berkah, maka mustahil bagi kita untuk menerapkan sistem dengan standar yang tinggi, yang Allah Swt. berkahi itu.
Jika seruan ini diawali dengan seruan-seruan nasionalisme, gerakan sosial, gerakan reformis, atau label lain yang menyifati panji Laa ilaaha illa Allah, maka sistem ini tidak akan pernah diberlakukan demi Allah Swt. semata.

No comments: