Kata faqru (kemiskinan), menurut bahasa, maknanya adalah ihtiyaj (membutuhkan). Bisa dinyatakan dengan: Faqara Wa Iftaqara lawan kata dari istaghna (tidak membutuhkan, atau kaya); iftaqara ilaihi maknanya adalah ihtaja (membutuhkan). Ia adalah faqiir (orang yang membutuhkan), yang bentuk jamaknya adalah fuqara'. Afqarahu lawan kata dari aghnahu. Kata faqru adalah bentuk mashdar (gerund), lawan kata dari ghaniyu. Hal itu, karena seseorang bisa saja membutuhkan sesuatu, sementara dia tidak memiliki sesuatu yang bisa memenuhinya.
Sedangkan kata faqiir, menurut pengertian syara', maknanya adalah orang yang membutuhkan plus lemah keadaannya, yang tidak bisa dimintai apa-apa. Mujahid mengatakan: Faqiir adalah orang yang tidak bisa dimintai apa-apa. Jabir Bin Zaid juga mengatakan demikian: Faqiir adalah orang yang tidak bisa dimintai apa-apa. Sedangkan Ikrimah mengatakan: Faqiir adalah orang yang lemah. Allah SWT berfirman:
[1]"Ya Rabbi, seungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku."[1] (Q.S. Al Qashash: 24)
Maksudnya, sesungguhnya aku faqiir atau membutuhkan kebaikan apapun yang Engkau turunkan kepadaku, baik sedikit maupun banyak. Allah SWT juga berfirman:
[1]"Dan (sebagian lagi) berikanlah kepada orang-orang yang sengsara lagi fakir."[1] (Q.S. Al Hajj: 28)
Maksud kata bais di dalam ayat tersebut adalah orang yang tertimpa kesengsaraan, atau kemelaratan. Jadi, faqiir adalah orang yang menjadi lemah oleh kesengsaraan. Ayat-ayat dan beberapa pernyataan sahabat dan tabi'in tersebut menunjukkan, bahwa fakir maknanya adalah ihtiyaj membutuhkan. Sementara yang membutuhkan rincian, adalah makna ihtiyaj (membutuhkan) itu sendiri.
Dalam sistem ekonomi Kapitalis, kemiskinan (proverty) tersebut dianggap sebagai sesuatu yang relatif (nisbi), dan bukannya sebutan untuk hal-hal tertentu yang bersifat fixed dan tidak berubah-ubah. Oleh karena itu mereka menganggap, bahwa kemiskinan (proverty) adalah adanya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan barang dan jasa. Karena kebutuhan-kebutuhan tersebut berkembang dan terus berkembang ketika materi --sebagai alat pemuasnya-- mengalami perkembangan, maka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut akan mengalami perbedaan, disebabkan berbedanya masing-masing individu dan umat.
Bangsa-bangsa yang terbelakang --yang kebutuhan-kebutuhan individunya terbatas-- mungkin saja pemenuhannya hanya terbatas pada barang-barang dan jasa-jasa yang bersifat primer. Akan tetapi, bangsa-bangsa yang maju secara materi --yang kebutuhan-kebutuhannya banyak, dan tidak terbatas-- tentu pemenuhannya membutuhkan barang-barang dan jasa-jasa yang lebih banyak, sehingga standar kemiskinan (proverty) pada bangsa-bangsa tersebut tentu berbeda dengan standar kemiskinan (proverty) di negara-negara yang sudah maju. Sebagai contoh, tidak terpenuhinya kebutuhan skunder di Eropa dan Amerika sudah dianggap miskin, namun ketika tidak terpenuhinya kebutuhan skunder tersebut terjadi di Mesir atau Irak, meski kebutuhan primernya tetap bisa terpenuhi, tetap tidak dianggap miskin. Anggapan yang berlaku dalam sistem ekonomi Kapitalis ini adalah anggapan yang salah. Karena dengan begitu, sistem ekonomi Kapitalis telah menjadikan makna sesuatu menjadi --hanya sekedar-- anggapan saja, bukan riil.
Kesalahan ini terjadi karena sesuatu itu memiliki fakta (ujud) yang sesungguhnya, sehingga sesuatu tadi bisa dikenali melalui ujudnya, dan bukannya sekedar anggapan, yang tidak memiliki ujud sama sekali. Disamping, karena hukum-hukum syara' yang diberlakukan untuk manusia itu tidak akan menjadikan sistem tersebut berbeda-beda dengan keberagaman personalnya, sebab hukum-hukum syara' tersebut berlaku untuk manusia sebagai manusia, bukan sebagai individu. Kalau seandainya negara tersebut memerintah rakyat di Spanyol dengan rakyat di Yaman, maka tentu tidak sah, kalau pandangan negara tersebut terhadap kemiskinan (proverty) berbeda-beda antara di negara yang satu dengan negara yang lain. Mengapa. Karena, masing-masing rakyat tadi adalah manusia, dimana solusi tersebut dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka.
Sedangkan Islam telah menganggap masalah kemiskinan (proverty) manusia tersebut dengan standar yang sama, di negara mananpun, serta kapanpun. Oleh karena itu, menurut pandangan Islam, kemiskinan (proverty) tersebut adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs) secara menyeluruh. Dan syara' telah telah menetapkan kebutuhan primer (basic needs) tersebut berupa tiga hal, yaitu sandang, papan dan pangan.
Allah SWT berfirman:
[1]"Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf."[1] (Q.S. Al Baqarah: 233)
[1]"Tempatlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu."[1] (Q.S. Ath Thalaq: 6)
Ibnu Majjah meriwayatkan hadits dari Abi Al Ahwash yang mengatakan: Rasulullah SAW bersabda:
eko 33
.rm2000
[1]"Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan."[1]
Semuanya ini menunjukkan, bahwa kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs) --yang apabila tidak terpenuhi dianggap miskin-- adalah sandang, papan dan pangan. Adapun hal-hal yang lain, selain sandang, papan dan pangan tersebut, dianggap sebagai kebutuhan skunder, sehingga orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan skunder, meskipun kebutuhan-kebutuhan primernya sudah terpenuhi, tetap tidak bisa dianggap sebagai orang miskin. Jadi, kemiskinan (proverty) --dengan makna yang Islami-- yaitu tidak adanya alat pemuas yang bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs) tersebut merupakan masalah yang menjadi salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Islam, bahkan telah menjadikan kemiskinan (proverty) tersebut sebagai ancaman dari syaithan. Allah SWT berfirman:
[1]"Syaithan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan."[1] (Q.S. Al Baqarah: 268)
Islam juga telah menganggap kemiskinan tersebut sebagai suatu kelemahan, dan menganjurkan untuk mengasihi orang-orang yang miskin. Allah SWT berfirman:
[1]"Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Jika kamu menyembunyikan dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu."[1] (Q.S. Al Baqarah: 271)
[1]"Dan (sebagian lagi) berikanlah kepada orang yang sengsara lagi fakir."[1] (Q.S. Al Hajj: 28)
Islam telah menjadikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs) serta mengusahakannya untuk orang yang tidak bisa memperolehnya adalah fardlu. Apabila kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs) tersebut bisa dipenuhi sendiri oleh seseorang, maka pemenuhan tersebut menjadi kewajibannya. Namun, apabila orang tersebut tidak bisa memenuhinya sendiri, karena tidak mempunyai harta yang cukup atau karena dia tidak bisa memperoleh harta yang cukup, maka syara' telah menjadikan orang tersebut wajib ditolong oleh orang lain, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs)-nya.
Islam dalam hal ini, bahkan telah merinci tata cara membantu orang semacam ini. Islam, pertama kalinya, mewajibkan kepada kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah. Allah berfirman:
[1]"Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani, selain menurut kadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian."[1] (Q.S. Al Baqarah: 233)
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud dengan waris di sini, bukan berarti orang bisa mewarisi secara riil. Tidak. Akan tetapi, yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris. Apabila orang tersebut tidak mempunyai sanak kerabat yang wajib menanggung nafkahnya, maka kewajiban memberikan nafkah kepada orang tersebut dipindahkan kepada baitul mal, pada bagian zakat.
Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda:
[1]"Siapa saja yang meninggalkan harta, maka aku akan mewarisinya, dan siapa saja yang meninggalkan "kalla", maka dia menjadi kewajiban kami."[1] (H.R. Imam Muslim)
Maksud dari "kalla" adalah orang yang lemah dan tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua. Allah SWT berfirman:
[1]"Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin."[1] (Q.S. At Taubah: 60)
Apabila bagian zakat dari baitul mal tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan para fakir miskin, maka negara wajib memberikan nafkah kepada mereka dari bagian lain, dari baitul mal. Apabila di dalam baitul mal tidak terdapat harta sama sekali, maka harus mewajibkan pajak atas harta orang-orang kaya, dan mengusahan pajak tersebut untuk dinafkahkan kepada para fakir miskin. Sebab, status asalnya nafkah tersebut wajib bagi kerabat terdekat. Apabila mereka tidak ditemukan, maka kewajiban tersebut berlaku untuk anggaran belanja zakat. Apabila dari anggaran tersebut tidak ditemukan, maka kewajiban tersebut berlaku untuk baitul mal. Apabila di dalam baitul mal tidak terdapat harta sama sekali, maka kewajiban tersebut berlaku untuk seluruh kaum muslimin. Nabi SAW bersabda:
[1]"Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, dimana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata'ala telah terlepas dari mereka."[1] (H.R. Imam Ahmad)
Nabi juga bersabda tentang suatu hadits yang diriwayatkan dari tuhannya:
[1]"Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangga sampingnya kelaparan, sementara dia mengetahuinya."[1] (H.R. Al Bazzar dari Anas).
Allah SWT berfirman:
[1]"Dan di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapat bahagian."[1] (Q.S. Adz Dzariyat: 19)
Rasulullah SAW juga telah menahan terhadap Anshar, dengan hanya memberikan bagian kepada orang-orang Muhajirin yang fakir. Maka, semuanya itu membuktikan, bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin sehingga beliau bisa mencukupi kebutuhan mereka. Selama hal itu menjadi kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, maka khalifah wajib --karena kewajiban dia untuk melayani urusan umat-- mendapatkan harta tersebut dari kaum muslimin agar dia bisa melaksanakan apa yang menjadi kewajiban mereka. Jadi ketika itu, kewajiban tersebut berpindah dari kaum muslimin kepada baitul mal, sehingga baitul mal-lah yang menunaikannya, dengan cara memberi makan kepada para fakir miskin.
Ini dari segi fakir miskin yang wajib menanggung nafkahnya, dimana orang yang bersangkutan bisa dipaksa agar bisa mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila dia tidak sanggup, maka kerabat dekatnya bisa dipaksa agar memberikan nafkah kepada orang tersebut, bila kerabat dekat yang masih memiliki hubungan darah, yaitu mengikuti gradasi kekerabatan yang telah disebutkan oleh Al Qur'an bagi wajibnya memberikan nafkah tersebut ada. Apabila kerabat dekat tersebut tidak mampu, atau kerabat dekat tersebut sudah tidak ada, maka giliran bagian zakat dari baitul mal, baru --berikutnya-- giliran baitul mal, baru kemudian wajib bagi seluruh kaum muslimin, hingga kebutuhan para fakir miskin tersebut benar-benar terpenuhi.
Sedangkan yang terkait dengan orang yang wajib memberikan nafkah kepada para fakir miskin, yaitu para kerabat dekat, sesungguhnya hal itu tidak diwajibkan selain dari mereka yang kaya, yaitu orang yang tidak lagi membutuhkan bantuan orang lain. Adapun orang yang dianggap kaya, adalah orang yang termasuk dalam katagori diperintahkan bersedekah. Sedangkan orang yang dilarang bersedekah, tentu tidak termasuk. Imam Bukhari dari Said Bin Al Musaib mengatakan, bahwa dirinya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: [1]"Sebaik-baik sedekah adalah harta yang diberikan dari diri orang yang kaya."[1] Kekayaan yang dimaksud di sini adalah harta yang tidak dibutuhkan lagi oleh seseorang, yang sesuai dengan kadar kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Para ahli fiqh mengatakan: "Kekayaan adalah sesuatu yang diperlukan untuk makanan utama seseorang dan keluarganya agar tidak membutuhkan makanan yang sejenis, juga diperlukan untuk pakaian dan tempat tinggal mereka, termasuk kendaraan dan perhiasan." Inilah yang menurut bahasa disebut dengan nama kaya, lantaran ia tidak membutuhkan orang lain. Secara etimologis, bisa dikatakan: Aghna Ghina Ar Rajulu, maksudnya ajza-ahu wa kaffahu (memenuhinya serta mencukupinya). Atas dasar inilah, maka nafkah untuk fakir miskin tersebut tidak wajib selain atas orang yang sudah tidak membutuhkan bantuan orang lain, yaitu orang yang sudah mampu. Allah berfirman:
[1]"Hendaknya orang yang memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya."[1] (Q.S. Ath Thalaq: 7)
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
[1]"Mulailah dari dirimu. Maka, nafkahilah dirimu. Apabila ada suatu kelebihan, maka peruntukkan bagi keluargamu. Apabila masih ada sisa suatu kelebihan (setelah memberi nafkah) terhadap keluargamu, maka peruntukkan bagi kerabat dekatmu. Apabila masih ada sisa suatu kelebihan (setelah memberi nafkah) terhadap kerabatmu, maka beginilah. Dan begitulah (yang seharusnya) dia katakan. Maka, (mulailah) yang di dapanmu, lalu terhadap kananmu, serta (kemudian) terhadap kirimu."[1]
Nafkah seseorang untuk dirinya adalah pemenuhan orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, yang menuntut untuk dipenuhi, dan bukan terbatas memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs)-nya saja. Hal itu karena syara' telah mewajibkan kepada seseorang untuk memberikan nafkah kepada istrinya dengan cara yang ma'ruf. Sedangkan nafkah dengan cara yang ma'ruf tersebut ditafsirkan sebagai memberikan nafkah sesuai dengan keadaannya serta keadaan pada umumnya. Allah berfirman:
[1]"Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf."[1] (Q.S. Al Baqarah: 233)
Jadi, nafkah seseorang untuk dirinya adalah juga harus dengan cara yang ma'ruf, bukan dengan cara pas-pasan. Nabi SAW pernah mengatakan kepada Hindun, istri Abu Sufyan:
[1]"Ambillah, apa yang bisa mencukupimu serta anak-anakmu dengan cara yang ma'ruf."[1] (H.R. Imam Al Bukhari dan Ahmad)
Nabi tidak mengatakan: "Apa yang bisa mencukupimu." saja, melainkan beliau menambahkan dengan kata: "dengan cara yang ma'ruf." menunjukkan, bahwa yang dimaksud adalah kecukupannya dan kecukupan anaknya yang bisa mencukupinya secara wajar, terkait dengan keadaannya serta keadaan pada umumnya.
Oleh karena itu, syarat kaya yang harus dia penuhi sampai dia terkena kewajiban memberi nafkah tersebut, tidak bisa semata-mata ditentukan berdasarkan sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs)-nya, tetapi harus ditentukan berdasarkan sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs) serta kebutuhan-kebutuhan yang lain, yang sudah dikenal banyak orang bahwa masalah tersebut merupakan bagian dari kebutuhan-kebutuhannya. Maka, ia tidak ditentukan berdasarkan standar tertentu, tetapi ia semata-mata dikembalikan kepada individunya, serta taraf kehidupan yang menjadi tempat di mana dia tinggal.
Sebagian fuqaha' memperkirakan kebutuhan-kebutuhan yang kalau lebih dari kebutuhan-kebutuhan tersebut, seseorang sudah dianggap kaya, yaitu lima hal: sandang, papan, pangan, istri, dan sesuatu yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang jauh. Hanya saja, tidak terdapat satu nash pun yang secara tegas menyatakan masalah tersebut. Namun, kesemuanya dikembalikan kepada sesuatu yang dianggap ma'ruf. Oleh karena itu, ukuran kaya tersebut diukur berdasarkan sesuatu yang menjadi kelebihan dari terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya secara ma'ruf. Apabila sesuatu tersebut lebih, maka nafkah bagi fakir miskin untuk orang yang bersangkutan tadi hukumnya wajib. Apabila tidak lebih, maka hukumnya tidak wajib.
Ringkasnya, orang fakir yang wajib diberi nafkah adalah karena kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs)-nya tidak terpenuhi, yaitu orang yang membutuhkan sandang, papan dan pangan. Sementara orang kaya, yang wajib memberikan nafkah serta berkewajiban sebagaimana kewajiban seluruh kaum muslimin terkait dengan tanggungjawab harta, adalah orang yang memiliki kelebihan dari sisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang ma'ruf, yang bukan hanya kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs)-nya saja. Dimana, hal-hal itu diperkirakan sesuai dengan keadaan dirinya serta keadaan orang-orang pada umumnya.
No comments:
Post a Comment