Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan adz-Dzikr (al-Quran) dan Kami jualah yang akan memeliharanya (dari kerusakan). (QS al-Hijr [15]: 9)
Pada ayat di atas, Allah Swt. menjamin kelestarian al-Quran. Ini berarti al-Quran selamanya tidak akan bertambah atau berkurang dan bahwa al-Quran akan senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk yang riil dan orisinal, tanpa terdistorsi oleh unsur-unsur asing. Pertanyaannya adalah, apakah perlindungan itu terbatas terhadap kata-kata al-Quran ataukah sekaligus mencakup maknanya?
Apabila penjelasan Nabi Muhammad saw. dibutuhkan untuk memahami al-Quran dengan benar, maka upaya memelihara kata-kata al-Quran saja tidaklah cukup kecuali jika penjelasan Nabi Muhammad saw. itu juga terpelihara.
Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS an-Nahl [16]: 44)
Kata adz-Dzikr digunakan pada ayat ini dengan makna al-Quran dan jelas bahwa orang-orang hanya dapat mengambil faedah dari petunjuk al-Quran itu jika disertai dengan penjelasan dari Nabi Muhammad saw.
Ayat ini juga mengandung kata linnaas (kepada manusia) yang menandai bahwa penjelasan Rasulullah saw. senantiasa dibutuhkan oleh manusia. Apabila setiap orang memerlukan penjelasan Nabi Muhammad saw., yang tanpa itu mereka tidak dapat benar-benar memahami al-Quran, maka untuk apa mereka memelihara teks al-Quran dan membiarkan penjelasan Nabi Muhammad saw. terdistorsi karena tidak dipelihara.
Karena itu, ketika urgensi penjelasan Nabi Muhammad saw. terhadap al-Quran itu diterima, dengan sendirinya ia membantah anggapan bahwa saat ini tidak ada penjelasan Nabi Muhammad saw. terhadap suatu perkara. Anggapan semacam itu akan menegasikan pemeliharaan. Dengan demikian, bukanlah hal yang bijak untuk menetapkan pentingnya Sunnah di satu sisi, sementara di sisi lain pemeliharaan Sunnah diabaikan. Kekurangan semacam ini jelas bukan karakter Allah Swt., Yang Mahakuasa dan Mahabijaksana.
Berikut adalah paparan singkat tentang langkah-langkah yang diambil umat untuk memelihara Sunnah Rasulullah saw.
Cara-cara Memelihara Hadis
Seperti kita ketahui, para sahabat r.a. telah mencatat begitu banyak hadis. Meskipun begitu, sarana penulisan hadis tidak terbatas pada kertas dan tinta. Masih ada cara yang lain.
Hapalan
Para sahabat Rasulullah saw. terbiasa menghapal hadis di luar kepala. Nabi Muhammad saw. mengatakan, “Semoga Allah melimpahkan kekuatan kepada orang yang menyimak perkataanku, lalu menghapalnya di luar kepala, kemudian menyampaikannya kepada orang lain persis sebagaimana dia mendengarnya dariku” (HR Tirmidzi). Demikianlah para sahabat r.a. memperlakukan hadis ini dan menghabiskan cukup banyak waktu untuk menghapal hadis-hadis Rasulullah saw. Sebagian bahkan rela tinggal di masjid agar bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Nabi Muhammad saw.
Orang-orang Arab dikenal memiliki daya ingat yang kuat sehingga mereka mudah menghapal ratusan bait syair-syair. Hampir setiap orang Arab hapal di luar kepala silsilah keturunan diri mereka sendiri secara terperinci, bahkan silsilah kuda dan unta mereka. Anak-anak mereka telah memiliki pengetahuan tentang silsilah keturunan dari pelbagai suku. Ada seorang penyair Arab terkenal bernama Hammad. Diriwayatkan bahwa dia hapal di luar kepala sajak-sajak yang panjangnya ratusan larik dan hapal tiap-tiap deretan huruf dari sajak-sajak itu. Itu artinya dia tahu minimal tiga ribu dan tiga puluh delapan sajak-sajak panjang (al-A’lam oleh Zrikli 2:131).
Orang-orang Arab sangat bangga dengan daya ingat mereka sehingga hapalan lebih bergengsi daripada tulisan. Sebagaian penyair bahkan mengganggap menulis syair merupakan aib. Mereka yakin tulisan bisa terdistorsi, sedangkan hapalan tidak mungkin terdistorsi. Jika seorang penyair sampai menuliskan syair karyanya, dia tidak akan mau hal itu diketahui orang lain, karena itu menandakan daya ingatnya kurang (al-Afghani, Jilid 61, hlm. 611).
Para sahabat r.a. memanfaatkan daya ingat mereka untuk memelihara hadis yang datang bersama dengan al-Quran. Mereka memandang hadis sebagai satu-satunya sumber petunjuk bagi al-Quran. Tentu saja antusiasme mereka dalam memelihara hadis jauh lebih tinggi ketimbang dalam memelihara syair dan karya sastra mereka. Mereka menggunakan hapalan dengan lebih kuat dan lebih hati-hati.
Abu Hurairah r.a., salah seorang sahabat terkenal yang meriwayatkan 5.374 hadis, mengatakan, “Aku membagi malamku menjadi tiga bagian. Sepertiganya aku gunakan untuk shalat, sepertiganya untuk tidur, dan sepertiga lagi untuk menghapal hadis-hadis Nabi saw.,” (Sunan ad-Darimi) Suatu ketika Marwan, Gubernur Madinah, mencoba untuk menguji kekuatan hapalan Abu Hurairah r.a. Dia mengundang Abu Hurairah r.a. ke rumahnya dan memintanya untuk meriwayatkan banyak hadis. Pada saat yang sama Marwan menyuruh juru tulisnya, Abu Zu‘aizi‘ah, untuk duduk di balik tirai dan menuliskan hadis-hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. Singkat cerita Abu Hurairah r.a. meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah saw. dan sang juru tulis mencatatnya. Satu tahun setelah peristiwa itu, Marwan kembali mengundang Abu Hurairah r.a. dan memintanya untuk mengulangi setiap hadis yang diriwayatkannya satu tahun sebelumnya. Pada saat yang sama, Marwan juga meminta Abu Zu‘aizi‘ah duduk di balik tirai dan membandingkan kata-kata Abu Hurairah r.a. dengan catatan hadis yang dibuat tahun sebelumnya itu. Abu Hurairah r.a. mulai meriwayatkan hadis-hadis yang pernah dibacakannya, sedangkan Abu Zu‘aizi‘ah terus membandingkannya dengan catatannya. Ternyata, Abu Hurairah meriwayatkan hadis-hadis yang persis sama dengan yang diriwayatkannya setahun sebelumnya. Satu kata pun sama sekali tidak luput dari hapalan Abu Hurairah!, dia tidak juga mengubah satu kata pun (al-Bidayah Wa Nihayah dan wa Siir Alam an-Niblaa’ Liz-Zahabi).
Para ulama hadis mengembangkan suatu ilmu Asma ur-Rijal yang mereka jadikan sebagai alat ukur untuk menguji kekuatan hapalan para periwayat hadis. Mereka tidak pernah menerima hadis kecuali jika seluruh periwayat hadis itu telah terbukti memenuhi standar hapalan yang tinggi.
Demikianlah, ‘kekuatan memori’ dalam ilmu hadis bukanlah istilah yang samar. Ia merupakan istilah teknis yang memiliki kriteria yang spesifik untuk menguji kebenaran periwayat hadis. Banyak ulama ilmu Asma ur-Rijal dan Jarh wa ta’dil yang mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk memeriksa para periwayat hadis berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan itu. Tugas mereka ialah menilai kekuatan hapalan setiap periwayat dan memberikan penilaian objektif terhadap para periwayat itu.
Diskusi (Tadarus)
Cara kedua untuk memelihara hadis Rasulullah saw. adalah dengan diskusi yang dilakukan di antara para sahabat r.a. Setiap kali salah seorang sahabat mengetahui hadis baru, dia langsung meriwayatkannya kepada sahabat yang lain. Demikianlah, seluruh sahabat saling memberitahu apa-apa yang telah mereka pelajari dari Nabi Muhammad saw. Ini dilakukan sesuai dengan arahan Rasulullah saw. Berikut adalah beberapa hadis yang mendorong mereka melakukan hal itu.
Mereka yang hadir harus menyampaikan (Sunnahku) kepada yang tidak hadir. (HR Bukhari)
Sampaikanlah yang datang dariku, walaupun hanya satu ayat. (HR Bukhari)
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada orang yang menyimak perkataanku dan menghapalnya di luar kepala, lalu menyampaikannya kepada orang lain. (HR Tirmidzi)
Kalian mendengar (perkataanku) dan orang lain akan mendengarnya dari kalian, dan orang lain akan mendengarnya dari mereka. (HR Abu Dawud)
Rasulullah saw. mendorong para sahabat r.a. untuk mempelajari hadis dalam pertemuan-pertemuan mereka. Kata yang Rasulullah saw. gunakan adalah tadarus yang bermakna ‘saling mengajari satu sama lain’. Seseorang akan meriwayatkan satu hadis tertentu kepada yang lain, yang akan meriwayatkannya lagi kepada yang lain, dan begitu seterusnya. Tujuannya ialah untuk mempelajarinya dengan benar. Setiap orang akan mendengarkan versi orang sebelumnya dan mengoreksinya jika terjadi kesalahan. Hasil dari tadarus ini ialah kemampuan mengingat banyak hadis sekuat-kuatnya dan sebanyak mungkin. Rasulullah saw. memandang proses tadarus seperti itu di hadapan Allah Swt. lebih tinggi daripada ibadah ritual yang dilakukan sepanjang malam.
Rasulullah saw. bersabda, “Tadarus ilmu (pengetahuan) yang dilakukan pada satu waktu di malam hari lebih baik daripada menghabiskan sepanjang malam untuk ibadah” (Jami’ ul-Bayan al-Ilm, Ibn Abdul-Birr) [pada masa Rasulullah saw., kata ilmu berkonotasi pengetahuan yang terkait dengan al-Quran dan Sunnah].
Nabi saw. juga memperingatkan tentang berdosanya seseorang yang dimintai ilmu tapi malah menyembunyikan ilmunya itu.
Barang siapa yang dimintai suatu ilmu tertentu yang dimilikinya dan dia malah menyembunyikannya, maka dia akan diikat oleh tali (yang terbuat dari) api. (HR Tirmidzi)
Pada kesempatan lain Nabi saw. menjelaskan bahwa menyembunyikan ilmu dianggap berdosa besar, meskipun tidak ada orang yang meminta ilmu itu. Beliau bersabda: Siapa saja yang menyembunyikan ilmu yang bermanfaat, dia akan datang di hari kiamat dengan leher terikat oleh tali (yang terbuat dari) api. (Jami’ ul-Bayan al-Ilm, Ibn Abdul Birr)
Dua hadis di atas jelas menunjukkan bahwa menyebarkan ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang berilmu, tidak peduli apakah ada orang yang meminta ilmu itu darinya ataukah tidak.
Frekuensi dalam bertadarus telah berperan penting dalam memelihara Sunnah. Dengan cara itulah hadis-hadis yang tadinya hanya diketahui oleh individu-individu tertentu menjadi tersebarkan kepada yang lain sehingga memperbanyak rantai riwayatnya. Karena aktivitas tadarus itu dilakukan pada saat Rasulullah saw. masih berada di tengah-tengah mereka, mereka memiliki kesempatan penuh untuk melakukan konfirmasi atas kebenaran hadis-hadis yang diperoleh melalui proses itu, dan memang itulah yang dilakukan para sahabat r.a.
Praktik
Cara ketiga untuk memelihara Sunnah ialah dengan mempraktikkannya. Pengetahuan tentang Sunnah bukanlah sekadar pemahaman teoretis, bukan pula sekadar ajaran-ajaran seperti watak filsafat, melainkan ajaran-ajaran yang benar-benar berkaitan dengan urusan kehidupan manusia. Rasulullah saw. tidak membatasi diri sekadar memberikan pelajaran dan ceramah. Beliau juga membina para sahabat untuk langsung mempraktikkannya. Setiap kali mendapat ilmu dari Rasulullah saw, para sahabat langsung mempraktikkannya.
Demikianlah, suasana pada saat itu dipenuhi oleh antusiasme yang sangat tinggi untuk selalu mengikuti Sunnah Rasulullah saw. Sunnah bukanlah sekadar laporan lisan, melainkan sebuah praktik nyata, suatu perilaku, serta menjadi mode yang terwujud di seluruh masyarakat dan dalam seluruh aspek kehidupan mereka sehari-hari.
Karena itulah, praktik yang terus-menerus yang sesuai dengan perintah Sunnah adalah faktor utama lain yang memperkuat pemeliharaan dan pelestarian Sunnah.
Tulisan
Cara keempat untuk memelihara Sunnah adalah melalui tulisan. Cukup banyak sahabat r.a. yang langsung menuliskan hadis segera setelah menyimaknya dari Nabi Muhammad saw.
Memang benar, pada awalnya Nabi saw. melarang para sahabat untuk menuliskan segala sesuatu selain ayat-ayat al-Quran. Akan tetapi, larangan itu bukan karena hadis dipandang sebelah mata. Hal itu karena pada saat yang sama Nabi Muhammad saw. telah memerintahkan para sahabat untuk meriwayatkan hadis-hadis beliau. Bunyi teks hadis itu lengkapnya adalah sebagai berikut.
Janganlah kalian tulis sesuatu yang kalian terima dariku, dan siapa pun yang telah menulis sesuatu yang diterima dariku, dia harus menghapusnya. Riwayatkanlah kepada orang lain sesuatu yang kalian terima dariku; dan barang siapa yang sengaja berdusta dengan mengatasnamakan aku, bersiap-siaplah menduduki tempat duduknya di neraka. (HR Muslim)
Kalimat yang digarisbawahi menunjukkan bahwa larangan untuk menuliskan hadis tidak berhubungan dengan penegasian kedudukan hadis itu, tetapi semata-mata agar tidak tercampur-baur dengan al-Quran.
Namun, larangan itu hanya terjadi pada awal masa kenabian Muhammad saw. Sikap kehati-hatian itu kemudian dihilangkan, karena potensi bahaya tercampurnya al-Quran dan hadis juga hilang (dengan semakin banyaknya sahabat yang telah hapal al-Quran).
Pada saat itulah, Rasulullah saw. sendiri langsung memerintahkan para sahabat untuk menulis hadis. Berikut adalah sebagian dari perintah itu beliau.
a. Salah seorang sahabat dari Anshar mengeluh kepada Rasulullah saw. bahwa dia pernah mendengar sejumlah hadis dari beliau, tapi terkadang dia lupa hadis-hadis itu. Rasulullah saw. berkata, “Mintalah bantuan dari tangan kananmu dan tuliskanlah”. (HR Tirmidzi)
b. Rafi’ bin Khadij r.a. mengatakan, “Aku katakan kepada Rasulullah saw. bahwa kami mendengar banyak hal darimu, haruskah kami menuliskannya?” Beliau menjawab, “Kalian boleh menuliskannya. Itu tidak berbahaya”. (Tadrib al-Rarawi)
c. Abdullah bin Amr bin ‘Ash meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. berkata kepadanya, “Peliharalah ilmu!” Abdullah bertanya, “Lalu, bagaimana cara memeliharanya?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Tuliskanlah!”
Dalam riwayat lain dia mengatakan, “Aku datang menemui Nabi Muhammad saw. dan berkata kepadanya, ‘Aku ingin meriwayatkan hadis-hadismu. Jadi, aku ingin menuliskannya untuk membantu hapalanku. Menurut Engkau, cocokkah itu bagiku?’ Nabi Muhammad saw. menjawab, ‘Jika itu hadisku, kau boleh menuliskannya untuk membantu hapalanmu”. (HR ad-Darimi)
Karena alasan itulah Abdullah sering menulis hadis. Dia sendiri mengatakan, “Aku terbiasa menuliskan segala sesuatu yang kudengar dari Nabi saw. dan aku ingin menghapalnya. Sebagian orang Quraisy melarangku dan berkata, ‘Apakah kautuliskan segala sesuatu yang kaudengar dari Nabi Muhammad saw., padahal dia adalah seorang manusia biasa dan bisa jadi kadang marah sebagaimana manusia pada umumnya?” (HR Abu Dawud)
Maksudnya, mungkin saja Nabi Muhammad saw. mengatakan sesuatu dalam keadaan marah sehingga tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Jadi, setiap orang harus selektif dalam menuliskan hadis. Abdullah ibn Amr menyampaikan pendapat mereka itu kepada Rasulullah saw. Sebagai jawabannya, Rasulullah saw. menunjuk bibirnya sendiri dan berkata, “Aku bersumpah demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dari mulut ini kecuali kebenaran. Jadi, tuliskanlah!” (HR Abu Dawud)
Mendengar perintah itu, Abdullah ibn Amr menulis banyak hadis dan mengumpulkannya dalam sebuah buku yang dinamainya ash-Shahifah ash-Shadiqah (= perkataan yang benar).
Contoh-contoh di atas lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa penulisan hadis tidak saja dibolehkan malah justru diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan bahwa larangan yang sebelumnya terjadi itu hanya merupakan masa transisi untuk menghindari ketercampuran antara ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis. Setelah masa transisi itu, kekhawatiran akan ketercampuran itu hilang, larangan itu dicabut, dan para sahabat diminta memelihara hadis dengan cara menuliskannya.
Ketika kita mempelajari usaha-usaha individual para sahabat dalam mengumpulkan hadis, akan didapati bahwa ribuan hadis ternyata telah ditulis pada masa Nabi Muhammad saw. dan Khulafaur Rasyidin.
Berikut paparan singkat tentang sejumlah kumpulan hadis terkenal pada periode awal tersebut. Hal ini setidaknya akan membantah salah kaprah yang terjadi bahwa hadis tidak dikumpulkan selama tiga abad pertama hijriah!
Kumpulan Hadis Shadaqah oleh Abdullah bin Amr bin ‘Ash
Nabi Muhammad saw. telah mendiktekan sejumlah dokumen terperinci yang berisi hukum-hukum syara’ tentang cara pengambilan zakat, serta menentukan jumlah dan nilai zakat sehubungan dengan jumlah kekayaan pihak yang terkena wajib zakat. Dokumen ini diberi nama Ash-Shahifah ash-Shadiqah.
Abdullah bin Umar r.a. mengatakan, “Nabi saw. mendiktekan naskah Shadaqah dan diberikan kepada para gubernurnya setelah beliau wafat. Beliau menyatukan naskah itu pada pedangnya. Saat beliau wafat, Abu Bakar r.a. bertindak berdasarkan naskah itu hingga beliau meninggal. Selanjutnya Umar r.a. juga bertindak berdasarkan naskah itu hingga meninggal” (HR Tirmidzi)
Isi teks naskah tersebut terdapat dalam sejumlah buku hadis seperti Sunan-nya Abu Dawud. Imam Zuhri, seorang ulama hadis terkemuka mengajarkan naskah itu kepada para muridnya. Ia pernah berkata, “Ini adalah teks naskah yang didiktekan oleh Nabi Muhammad saw. tentang tata aturan sedekah (zakat). Manuskrip yang asli berada di tangan anak-anak Sayidina Umar r.a. Salim, cucu dari Umar, mengajarkannya kepadaku. Aku pun menghapalnya di luar kepala. Umar bin Abdul Aziz telah mendapatkan salinan dari teks itu dari Salim dan Abdullah, dua cucu Umar. Aku pun memiliki salinan itu”. (HR Abu Dawud)
Kumpulan Hadis Amr bin Hazm
Pada tahun 10 Hijriah, ketika Najran dibebaskan oleh kaum Muslim, Rasulullah saw. menunjuk salah seorang sahabat, Amr bin Hazm r.a., menjadi gubernur di provinsi Yaman. Ketika itu, Rasulullah saw. mendiktekan sebuah naskah terperinci kepada Ubay bin Ka’ab dan menyerahkannya kepada Amr bin Hazm r.a.
Naskah tersebut, selain berisi nasihat-nasihat bersifat umum, juga memuat aturan-aturan syariat perihal bersuci, shalat, zakat, usyr, haji, umrah, jihad, ghanimah, jizyah, diyat, administrasi, pendidikan, dan lain-lain.
Sayidina Amr bin Hazm r.a. menjalankan perannya sebagai gubernur Yaman dengan berpedoman pada naskah tersebut. Setelah kematiannya, naskah itu berada di tangan cucunya, Abu Bakar, dan dari dialah Imam Zuhri mempelajari dan menyalinnya. Dia pun mengajarkannya kepada murid-muridnya (al-Wathaiq as-Siyasiyyah, Dr. Hamidullah).
Kumpulan Hadis Abu Hurairah r.a.
Abu Hurairah r.a. dikenal luas sebagai seorang sahabat yang meriwayatkan lebih banyak hadis dibandingkan sahabat Rasulullah saw. yang lain. Jumlah hadis yang diriwayatkannya tercatat sebanyak 5.374. Alasan di balik itu adalah bahwa setelah masuk Islam, beliau mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk menghapal dan mencatat hadis-hadis Rasulullah saw.
Ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa beliau telah memelihara hadis dalam bentuk tertulis. Salah seorang muridnya, Hasan bin Amr, menceritakan bahwa suatu ketika Abu Hurairah r.a. membawa dia ke rumahnya dan menunjukkan banyak buku yang memuat hadis-hadis Rasulullah saw. (Jami’ ul-Bayan al-Ilm dan Fathul Bari’).
Itu menunjukkan bahwa Abu Hurairah r.a. memiliki banyak naskah kumpulan hadis. Juga dikatakan bahwa sejumlah muridnya telah menyiapkan beberapa naskah hadis yang diriwayatkannya.
Kumpulan Hadis Anas
Anas bin Malik r.a. adalah salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang memiliki kemampuan menulis. Ibunya membawanya kepada Rasulullah saw. di usianya yang masih sepuluh tahun. Beliau tetap bersama Rasulullah saw. selama sepuluh tahun kemudian. Selama itulah, beliau menyimak dan menuliskan banyak sekali hadis Rasulullah saw. Sa’id bin Hilal, salah seorang muridnya, mengatakan, “Ketika kami bertanya kepada Anas, beliau membawakan beberapa buku catatan dan berkata, ‘Ini adalah segala sesuatu yang kudengar dan kutulis dari Rasulullah saw. dan pernah kutunjukkan kepada beliau untuk minta konfirmasi”. (Mustadrak al-Hakim)
Ini menunjukkan bahwa Anas r.a. tidak hanya menulis sejumlah banyak hadis dalam beberapa buku catatannya, tapi juga telah menunjukkannya kepada Rasulullah saw. yang telah memberikan penegasannya.
Kumpulan Hadis Ali karamallahu wajhah
Ali karamallahu wajhah dikenal sebagai sahabat Rasulullah saw. yang memiliki kumpulan hadis. Beliau berkata, “Aku tidak pernah menulis apa pun dari Rasulullah saw. kecuali al-Quran dan apa-apa yang terkandung dalam naskah ini.” (HR Bukhari)
Imam Bukhari telah menyebut-nyebut naskah tersebut di enam tempat berbeda di dalam Shahih-nya. Setelah keenamnya dipelajari, ternyata naskah itu memuat hadis yang sangat banyak dan mengandung hadis-hadis perihal qishash, diyat, fidyah, hak ahlul dzimmah (non-Mulsim yang menjadi warga Negara Islam), beberapa jenis warisan yang spesifik, aturan zakat menyangkut unta dengan ragam usia, dan aturan tentang kesucian kota Madinah.
Naskah itu ditulis oleh Ali karamallahu wajhah pada masa Rasulullah saw. masih hidup. Kemudian, selama masa awal kekhilafahan, Ali merasa bahwa hadis-hadis Rasulullah saw. harus disebarluaskan kepada orang-orang agar ilmu Islam tersebar luas.
Ibnu Sa’ad, seorang sejarawan terkenal, melaporkan bahwa suatu ketika Ali berada di masjid dan menyampaikan ceramah. Lalu, beliau bertanya kepada orang-orang, “Siapa yang mau membeli ‘ilmu’ seharga hanya satu dirham?” Yang dimaksudkannya adalah siapa pun yang ingin mempelajari hadis harus datang kepadanya dan membeli naskah kumpulan hadis Rasulullah saw. itu seharga satu dirham.
Kumpulan Hadis Ibnu Abbas r.a.
Abdullah bin Abbas r.a. adalah sepupu Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw. meninggal, Abdullah masih sangat muda. Untuk menjaga dan memelihara hadis-hadis Nabi Muhammad saw., Ibnu Abbas mulai mengumpulkan hadis-hadis yang didengarnya langsung dari Rasulullah saw. dan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat r.a. Setiap kali ada seorang sahabat yang mengetahui hadis Rasulullah saw., dia datang kepada sahabat itu dan menyimak hadis-hadis darinya. Hadis-hadis itu kemudian, dikumpulkan dalam beberapa naskah. Naskah-naskah itu begitu banyaknya sehingga sampai harus diangkut oleh seekor unta. Naskah-naskah itu kemudian dipelihara oleh muridnya, Kuraib. Musa bin Uqbah, seorang pakar sejarah terkenal, mengatakan, “Kuraib pergi bersama seekor unta yang mengangkut buku-buku milik Ibnu Abbas. Ketika Ali bin Abdullah bin Abbas memerlukan salah satu buku itu, dia menulis surat kepada Kuraib, minta dikirimi buku anu dan anu. Kuraib kemudian mengirimkan salah satu salinan buku yang diminta”. (Thabaqat Ibnu Sa’ad)
Murid-murid Ibnu Abbas r.a. menyalin naskah-naskah itu dan membacakannya kepada Ibnu Abbas untuk memastikan kebenaran salinannya. (Tirmidzi)
Terkadang Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan hadis-hadis kepada murid-muridnya, sementara itu mereka mencatatnya (ad-Darimi).
Dengan demikian, semua itu menjadi bukti bagi kaum Muslim yang merasa inferior dan bagi mereka yang menyerang Akidah Islam dengan mengklaim bahwa hadis-hadis itu tidak otentik dan tidak sahih. Tulisan singkat ini membuktikan bahwa Sunnah Rasulullah saw. ternyata mendapat perhatian yang intens sejak beliau masih hidup.
Kesimpulannya, perlindungan Allah Swt. mencakup al-Quran dan Sunnah.
No comments:
Post a Comment