Monday, May 14, 2007

KEDUDUKAN PARA SAHABAT

Sebagai bagian dari ketundukannya terhadap Islam, kaum Muslim harus tunduk sepenuhnya pada aturan-aturan Allah Swt. Allah Swt. berfirman dalam al-Quran:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS an-Nisaa’ [4]: 65)
Allah Swt. menurunkan kepada Nabi Muhammad saw. suatu sistem kehidupan yang sempurna untuk mengatur kehidupan manusia sesuai dengan Syariat-Nya, dan para sahabat mengorbankan jiwa dan harta mereka dalam memperjuangkan dan mempertahankan penerapan Syariat Islam dengan usaha-usaha mereka untuk mengangkat supremasi Islam, sebagaimana Allah Swt. perintahkan dalam al-Quran. Melihat kontribusi besar mereka terhadap Islam, banyak pemikir dan penulis Barat, bahkan sebagian Muslim, telah menjelek-jelekkan nama dan reputasi sebagian sahabat, dan menjadikan para sahabat itu sebagai sasaran cemoohan.
Banyak ayat al-Quran dan hadis Rasulullah saw. yang memberikan pujian terhadap para sahabat dan secara definitif menunjukkan reputasi mereka sebagai pencapaian tertinggi dari kebaikan dan kebenaran yang harus dijadikan contoh bagi umat Islam. Misalnya, dalam al-Quran Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS al-Fath [48]: 18)
Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS al-Hasyr [59]: 9)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Jangan hina para sahabatku! Aku bersumpah demi Allah, apabila salah seorang dari kalian memberikan emas sebesar Gunung Uhud untuk sedekah, hal itu tidak akan sampai setengahnya dari nilai kedudukan seorang sahabatku.”
Anas bin Malik mendengar Rasulullah saw. berkata, “Allah telah memilihku dan telah memilih sahabat-sahabatku. Dia telah menjadikan mereka sebagai saudaraku dan penolongku. Menjelang akhir zaman nanti, akan ada orang-orang yang mengolok-olok para sahabatku. Jangan biarkan anak-anak perempuanmu menikah dengan mereka dan jangan menikah dengan anak-anak perempuan mereka! Jangan juga shalat bersama mereka dan jangan berdoa untuk mereka, karena mereka terkutuk!” (Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam al-Awasiim min al-Qawasiim)
Ayat dan hadis yang disebutkan di atas dengan jelas melarang kaum Muslim menghina setiap sahabat Rasulullah saw. Para sahabat adalah orang-orang yang mendapatkan ajaran Islam langsung dari Rasulullah saw. dan menyampaikannya kepada dunia, termasuk kepada kita. Karena al-Quran dan Sunnah diriwayatkan melalui para sahabat, setiap keraguan terhadap para sahabat akan menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas sumber-sumber Islam secara keseluruhan.
Diriwayatkan bahwa Abu Zara’ah berkata, “Jika kalian melihat seseorang menghina salah seorang sahabat, katakan tepat ke mukanya: ‘Kamu orang yang zindiq (telah keluar dari Islam)!”
Setelah kematian Rasulullah saw., para sahabat sangat berjasa dalam mempertahankan integritas negara yang Rasulullah saw. tegakkan yang kemudian menjadi titik tolak ekspansi Islam ke seluruh penjuru dunia dan menjadi teladan bagi generasi masa kini dalam upaya mereka menegakkan kembali Negara Islam.
Kaum Muslim sempat merasa bahwa misi Rasulullah saw. telah berakhir ketika Allah Swt. menurunkan ayat:
Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu, Kucukupkan nikmat-Ku untukmu, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu. (QS al-Maa-idah [5]: 3)
Akan tetapi, para sahabat, serta setiap generasi Islam sesudah mereka, sadar bahwa Risalah Islam tidak akan pernah musnah, justru akan terus menyebar hingga mencapai tujuannya sebagaimana yang diterangkan Allah Swt:
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS at-Taubah [9]: 33)
Sebelum meninggal, Rasulullah saw. jatuh sakit dan terbujur di pembaringan. Selama itu, Abbas, salah seorang paman Rasulullah saw., dan Ali bin Abi Thalib datang menjenguk beliau. Karena merasa bahwa Rasulullah saw. akan segera meninggal, Abbas menyarankan kepada Ali, “Tanyakan kepada Muhammad tentang masalah itu (yaitu masalah suksesi, siapa yang menggantikan beliau untuk memimpin kaum Muslim)!” Ali menolak dengan berkata, “Demi Allah, jika kita tanyakan masalah itu dan beliau berkata tidak, maka orang-orang tidak akan pernah memberikan kepemimpinan kepada kita.”
Ali karamallahu wajhah memahami bahwa pemilihan Khalifah (penerus Rasulullah saw. dalam urusan pemerintahan) adalah hak prerogatif Allah Swt. Pemahaman tersebut berdasarkan peristiwa ketika suku Bani Amir mengajukan syarat untuk memberikan nusyrah (perlindungan dan dukungan fisik) kepada Rasulullah saw. bahwa kepemimpinan diberikan kepada mereka segera setelah Rasulullah saw. wafat. Rasulullah saw. menolak proposal itu dengan alasan bahwa hanya Allah Swt. yang berhak menentukan masalah suksesi itu.
Tanpa pemahaman yang jernih tentang syariat dan keteguhan untuk senantiasa terikat dengan al-Quran dan Sunnah seperti yang ditunjukkan Ali r.a., kaum Muslim akan terjebak dalam masalah penting seperti pemilihan Khalifah berikutnya; dengan begitu akan memicu kemunduran dalam penerapan syariat.
Ketika Rasulullah saw. meninggal, perasaan kaum Muslim sangat terguncang. Seandainya para sahabat tidak memiliki pemahaman keislaman yang jernih dan ketajaman analisis politik, kesatuan umat tentunya akan terpecah karena keguncangan emosi akibat meninggalnya Rasulullah saw.
Suasana emosional itu begitu terasa sampai-sampai para sahabat untuk sesaat tidak bisa menerima kematian Rasulullah saw. Umar r.a. bahkan berkata, “Siapa pun yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. telah meninggal, akan kupotong tangan dan kakinya. Beliau tidak mati, beliau sedang mengunjungi Allah Swt., persis seperti yang Musa a.s. lakukan selama 40 hari.” Dengan perasaan buta yang timbul akibat kematian Rasulullah saw., kaum Muslim berada pada tepi jurang kehancuran dan hal itu mengancam agenda perjuangan mereka dan memalingkan mereka dari tujuan mereka.
Abu Bakar r.a. menunjukkan pemahaman yang tajam dan penting hasil binaan Nabi Muhammad saw. yang akhirnya menyelamatkan kaum Muslim dari kekisruhan yang melanda mereka ketika beliau naik ke podium masjid, lalu berkata kepada orang-orang,
“Jika kalian menyembah Nabi Muhammad saw., dia telah mati. Apabila kalian menyembah Allah Swt., Dia tidak akan pernah mati!” Lalu, beliau membacakan ayat:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka dia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS Ali ‘Imran [3]: 144)
Para sahabat, sebagai manusia biasa, bisa dengan mudah dikuasai emosi atau kembali kepada ikatan mereka sebelumnya seperti pada masa jahiliah, tapi karena mereka telah dibina oleh Rasulullah saw., konsep-konsep Islam yang diajarkan Rasulullah saw. menancap begitu kuatnya di dalam pikiran dan perasaan mereka. Banyak peristiwa yang sebenarnya berpotensi membuat para sahabat memperturutkan naluri dan bertindak atas dasar kecenderungan semata. Di Saqifah Bani Sa’idah, ketika Abu Bakar bersama-sama kaum Anshar hendak memilih Khalifah sepeninggal Rasulullah saw., dan Hubab bin Mundzir mengusulkan, “Kita harus punya seorang pemimpin dari golongan kami (Anshar) dan seorang pemimpin dari golongan kalian (Muhajirin).” Umar langsung menolak usul tersebut berdasarkan pemahamannya terhadap sejumlah hadis Rasulullah saw. yang menyebutkan bahwa hanya boleh ada satu Khalifah.
Setiap perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat dan setiap masalah yang mereka coba selesaikan selalu dilandaskan pada syariat. Ketika Rasulullah saw. meninggal, mereka bisa saja segera meninggalkan kesibukan yang lain dan segera mempersiapkan penguburan Rasulullah saw., tapi mereka memahami ucapan dan perbuatan Rasulullah saw. tentang betapa pentingnya untuk memilih Khalifah yang akan mengisi posisi kepala negara yang bahkan sampai mengalahkan urgensitas penguburan Rasulullah saw. Setiap kelompok atau partai yang berada dalam keadaan seperti saat Rasulullah saw. meninggal itu, sangat mungkin akan segera mengabaikan segala prioritas mereka dan segera berusaha mengatasi ketegangan yang terjadi. Namun, keyakinan yang kokoh dan keterikatan mereka terhadap syariat, dengan kesadaran bahwa Allah Swt. telah menentukan tujuan-tujuan mereka dan menentukan prioritas-prioritas mereka, membuat mereka mampu mempertahankan integritas umat dan melindungi kaum Muslim dari kemungkinan penyimpangan dari tujuan semula.
Dalam sejarah Islam, tidak pernah ada ketegangan politik, kejelasan pemahaman, dan kekuatan dalam keyakinan berpadu menjadi satu selain selama masa Khalifah Abu Bakar. Segera setelah meninggalnya Rasulullah saw., terjadi pemberontakan hampir di seluruh Jazirah Arab. Para pemberontak itu menolak membayar zakat dan memisahkan diri dari Negara. Mereka menjustifikasi pemberontakannya itu dengan sejumlah dalih, salah satu dan paling menentukan adalah keuntungan materi yang didapat dari penolakan membayar zakat. Suku-suku yang memberontak itu juga menjustifikasi tindakannya itu dengan ayat al-Quran yang menyatakan:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS at-Taubah [9]: 103)
Untuk membenarkan tindakannya, mereka menginterpretasikan ayat itu secara keliru bahwa pembayaran zakat memerlukan doa Rasulullah saw. dan karena beliau sudah meninggal maka tidak mungkin ada doa beliau, padahal itulah syarat dibayarnya zakat.
Sebagian sahabat di Madinah meminta waktu kepada Abu Bakar untuk memperkuat iman suku-suku itu. Akan tetapi, Abu Bakar tetap terikat pada syariat dan menunjukkan pemahaman Islam yang dalam dan ketegasan dalam masalah syariat, sehingga ketika Umar mengutip hadis Rasulullah saw. yang menyatakan, “Kalian tidak berhak memerangi orang-orang yang mengatakan Laa ilaaha illa Allah, Muhammad ar-Rasul Allah. Leher mereka aman selama mereka melaksanakan apa yang diperintahkan, yaitu menerima Islam secara keseluruhan”, Abu Bakar segera menukas, “Bukankah orang-orang yang mengucapkan syahadat itu wajib membayar zakat (untuk mempraktikkan Islam secara paripurna)? Aku akan perangi suku-suku yang memberontak itu, meskipun aku harus memerangi mereka sendirian!” Abu Bakar memandang para pemberontak itu sebagai orang-orang yang murtad (keluar dari Islam) dan menyatakan perang atas mereka.
Sebagian dari orang-orang yang murtad itu bahkan berani melangkah lebih jauh dan memanfaatkan kesempatan itu untuk menghancurkan Negara Islam dengan cara menyerangnya. Meskipun ada ancaman seperti itu, Abu Bakar justru mengirim pasukan Usamah, yang telah Rasulullah saw. siapkan sebelum beliau wafat, untuk memerangi pasukan Romawi yang menyerang perbatasan Negara Islam. Para sahabat di Madinah bertanya mengapa Abu Bakar malah mengirim pasukan untuk menghadapi pasukan asing yang masih berjarak beberapa minggu, padahal negara sedang menghadapi ancaman keamanan internal. Umar berkata, “Pasukan Romawi setidaknya masih berjarak sebulan jauhnya. Mereka tidak memberikan ancaman langsung terhadap orang-orang Madinah. Bahaya justru ada di Madinah sini, jadi kita harusnya mempertahankan pasukan Usamah itu untuk memerangi orang-orang murtad.”
Abu Bakar, yang paham betul bahwa Rasulullah saw. telah membentuk dan menugasi pasukan Usamah misi khusus dan bahwa jihad harus terus berjalan meskipun ada ketegangan di dalam negeri, menarik janggut Umar dan berkata, “Hai Umar, apa yang terjadi padamu? Tidakkah kauingin aku melakukan sesuatu yang Rasulullah saw. perintahkan? Demi Allah, sekalipun tubuhku diseret singa-singa, aku tidak akan berhenti menghentikan misi pasukan Usamah!” Dalam riwayat lain dikatakan, “Sekalipun aku melihat singa-singa menyeret tubuh istri-istri Rasulullah saw., aku tidak akan menghentikan pasukan Usamah, yang telah mendapat perintah dari Rasulullah saw!”
Umar berhasil diyakinkan oleh Abu Bakar dan akhirnya dia pun menyatakan siap pergi dan berperang. Ketika Umar keluar dari pertemuannya dengan Abu Bakar, orang-orang lagi-lagi memintanya untuk kembali dan berbicara kepada Abu Bakar sekali lagi. Umar lantas berkata, “Aku telah dua kali terlibat masalah. Aku tidak ingin terlibat masalah lagi yang ketiga kalinya dengan Abdullah bin Abi Kahafah (alias Abu Bakar).”
Dalam masa kepemimpinannya yang hanya sebentar, Abu Bakar berhasil menundukkan pemberontakan orang-orang murtad dan menyatukan kembali Jazirah Arab dan melenyapkan kekuasaan Romawi di wilayah yang kini menjadi Yordania. Beliau segera mengirim enam pasukan ke Syam dan Kekaisaran Persia, semuanya berakhir dengan kemenangan. Pada tahun 15 Hijriah, dua tahun setelah kematian Abu Bakar, Negara Islam telah meliputi seluruh wilayah Timur Tengah, Mesir, Yordania, Suriah, Palestina, Irak, dan sebagian Iran.
Abu Bakar menunjukkan ketajaman dalam manuver dan manajemen politik, keyakinan yang kokoh, dan pemahaman yang jernih hasil dari pembinaan Rasulullah saw. Banyak khalifah yang akan datang dan ulama dan pemikir juga menunjukkan kualitas yang para sahabat tinggalkan sebagai warisan yang akan menjadi contoh sempurna bagi generasi sesudahnya bahwa tidak seorang Muslim pun yang sedang memperjuangkan kebangkitan umat layak dilecehkan.

No comments:

Post a Comment