Monday, May 14, 2007

KEBUTUHAN AKAN HARTA UNTUK MENYAMBUNG HIDUP

Diantara sebab-sebab pemilikan yang lain adalah kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup. Sebab, hidup adalah hak setiap orang. Sehingga dia wajib untuk mendapatkan hidup ini sebagai haknya, bukan sebagai hadiah, maupun belas kasihan. Salah satu sebab yang bisa menjamin warga negara Islam untuk mendapatkan kekuatannya, adalah dengan bekerja. Apabila dia tidak mampu bekerja, maka negara wajib untuk mengusahakan pekerjaan untuknya. Karena negara adalah "pengembala" (ar ra'i) rakyat, serta bertanggungjawab terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Rasulullah SAW bersabda:

[1]"Imam yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) pengembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya."[1] (H.R. Imam Bukhari dari Abdullah Ibnu Umar)

Apabila orang tersebut tidak mampu membuka lapangan pekerjaan untuk dirinya, atau tidak kuasa bekerja, karena sakit, atau terlampau tua ataupun karena salah satu di antara sebab-sebab ketidakmampuannya, maka hidupnya wajib ditanggung oleh orang yang diwajibkan oleh syara' untuk menanggung nafkahnya. Apabila orang yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada, ataupun ada akan tetapi tidak mampu untuk menanggung nafkahnya, maka nafkah orang tersebut wajib ditanggung oleh baitul mal, atau negara. Disamping itu, dia juga mempunyai hak lain di baitul mal, yaitu zakat. Allah SWT berfirman:

[1]"Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)."[1] (Q.S. Al Ma'arij: 24-25)

Ini adalah hak yang wajib diberikan oleh orang-orang kaya kepada mereka. Allah SWT juga berfirman:

[1]"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin.."[1] (Q.S. At Taubah: 60)

[1]"sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah."[1] (Q.S. At Taubah: 60)

Maksudnya, adalah hak yang ditetapkan.
Apabila negara mengabaikan hal ini, termasuk lalai dalam melayani orang-orang yang membutuhkan tadi, kemudian sekelompok kaum muslimin juga tidak berusaha mengoreksi negara, padahal sekelompok kaum muslimin seharusnya tidak boleh melalaikannya, maka orang yang membutuhkan tadi boleh mengambil apa saja yang bisa dia pergunakan untuk menyambung hidupnya, di manapun dia temukan, baik hak milik pribadi (private propherty) ataupun hak milik negara (state propherty). Dan dalam keadaan semacam ini, orang yang kelaparan tadi tidak diperbolehkan makan daging bangkai, selama di sana masih terdapat makanan halal yang dimiliki oleh orang lain. Sebab orang tersebut belum terhitung terpaksa untuk makan bangkai, karena apa yang dia makan masih ada, meskipun ada pada orang lain. Apabila orang tersebut tidak mampu mendapatkan makanan halal tadi, maka baru dia diperbolehkan untuk makan daging bangkai, untuk menyelamatkan hidupnya.
Ketika hidup ini adalah salah satu sebab untuk mendapatkan harta, maka syara' tidak menganggap bahwa mengambil makanan --orang lain-- dalam kondisi kelaparan termasuk dalam katagori mencuri yang harus dipotong tangannya. Dari Abi Umamah dari Nabi SAW, bahwa beliau SAW bersabda:


[1]"Tidak (bisa diberlakukan hukuman) potong (tangan) pada masa-masa paceklik."[1]

Sebagaimana syara' juga telah menjamin hak seseorang untuk memiliki harta dalam rangka mempertahankan hidup dengan hukum syara', maka syara' memberikan hak tersebut dengan cara memberikan pembinaan. Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda:

[1]"Siapapun penghuni sebidang tanah yang membiarkan di antara mereka ada orang kelaparan, maka telah lepas dari mereka jaminan Allah Tabaraka Wa Ta'ala."[1]

[1]"Tidaklah beriman kepadaku, orang yang tetap kekenyangan, sedangkan tetangga sampingnya kelaparan, sementara dia mengetahuinya."[1] (H.R. Al Bazzar dari Anas Bin Malik)


No comments:

Post a Comment