Pada bagian pertama, sebagaimana diketahui, telah dipaparkan bahwa sistem keuangan dan interaksi ekonomi yang berbasiskan emas terbukti mampu menciptakan perekonomian dunia yang relatif stabil dan mapan. Sebaliknya, manakala sistem pertukaran yang berbasiskan emas lenyap, kekacauan sistem keuangan mulai terjadi yang secara langsung ataupun tidak turut memberikan sumbangsih bagi krisis demi krisis ekonomi yang terjadi. Dalam konteks moneter, pasca lenyapnya sistem emas, krisis secara langsung dapat dirasakan pada: (1) sistem pertukaran emas; (2) sistem uang kertas (fiat money). Poin pertama telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, sementara poin kedua akan dipaparkan pada bagian ini. Berikut ini adalah penjelasnnya. 2. Krisis pada sistem uang kertas (fiat money). Krisis yang terjadi pada sistem keuangan dunia ini semakin bertambah cepat karena masing-masing negara berlomba secara politik dan ekonomi serta saling mengguncangkan pasar khusus. Masing-masing negara merasa perlu untuk melepas atau mengekspor barang ke negara lain; juga karena adanya keperluan atas utang atau yang lainnya. Semua itu berpengaruh besar terhadap naik-turunnya nilai mata uang. Hal itu menjadikan kestabilan harga dan kesepakatan interaksi ekonomi menjadi sangat sulit, kalau tidak dikatakan nihil, sebagaimana yang terjadi sekarang dalam interaksi ekonomi regional maupun internasional. Dalam sistem uang kertas (fiat money) ini, negara-negara di dunia harus menyandarkan cadangan devisanya pada mata uang negara yang berpengaruh secara ekonomi dan politik karena keperluannya atas negara besar tersebut. Perubahan politik dan ekonomi negara berpengaruh akan memperngaruhi bentuk krisis mata uang negara-negara lain dan ekonomi negara lain. Negara yang mengikatkan mata uangnya pada dolar AS, misalnya, akhirnya merasa penting untuk menjaga kestabilan dolar demi menjaga cadangan devisanya. Jika permintaan terhadap mata uang regional bertambah sehingga mengakibatkan naiknya nilai kurs mata uang tersebut terhadap dolar, negara tersebut akan melepaskan sejumlah mata uangnya ke pasar dan mempertukarkannya (menjualnya) dengan dolar. Jika terjadi sebaliknya, yaitu masyarakat tidak membutuhkan mata uang negara itu (kelebihan penawaran/over supply), negara tersebut akan menarik kelebihan penawaran mata uangnya dengan cara membeli mata uangnya itu dari pasar dengan dolar (melepas dolar dari cadangan devisanya ke pasar) atau membanjiri pasar dengan dolar yang berasal dari cadangannya sehingga cadangannya kembali diisi dengan mata uangnya sendiri. Dengan demikian, setiap negara yang mata uangnya terikat dengan dolar terbebani untuk menjaga mata uangnya dan menjaga nilai dolar. Negara melakukan kebodohan ini sampai pada tingkat yang lebih besar dan memberatkan dirinya. Sebaliknya, dengan itu, negara tersebut malah memberikan keuntungan pada negara pemilik mata uang dolar itu. Negara mengerahkan kesungguhannya dan melakukan kebodohan ini demi menjaga cadangan devisanya yang berbentuk mata uang asing—biasanya dalam dolar AS—karena penurunannya dipengaruhi jumlah persediaannya di pasar. Contohnya adalah sebagai berikut: Berkaitan dengan pengaruh langsung mata uang asing terhadap uang negara yang di-back up dengan mata uang asing di kas cadangan negara, maka mata uang kertas (fiat money) mempunyai pengaruh yang cepat terhadap kondisi ekonomi regional maupun internasional. Dengan demikian, fiat money memicu inflasi lebih banyak dibandingkan dengan sistem-sistem sebelumnya. Dalam sistem pertukaran uang berbasis emas, uang disandarkan pada emas dan uang kertas yang dijamin dengan emas terdapat kestabilan parsial nilai uang, kecuali jika cadangan emas lebih kecil daripada total uang yang beredar. Akibatnya, tidak semua uang yang dikeluarkan dapat dipertukarkan dengan emas, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. Dalam kondisi demikian, tatkala nilai mata uang tersebut menurun, maka nilai mata uang asing juga menurun. Ini berbeda jauh dengan sistem uang fiat money yang akan mendorong inflasi di antara sejumlah kondisi. Hal ini karena politik ekonomi negara, baik secara regional maupun internasional, yang menjamin (menentukan) nilainya. Politik ekonomi negara ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga kestabilan harga tukar (kurs) uang sulit dijaga. Atas dasar itu, penurunan nilai mata uang sangat mungkin terjadi pada tingkatan yang lebih besar dibandingkan pada dua sistem terdahulu. Tidak perlu kupasan yang mendalam, bahwa nilai mata uang seluruh negara—tanpa kecuali, sekalipun negara yang perekonomiannya maju—sering berubah-ubah dan tidak stabil. Baik dolar (AS), mark (Jerman), yen (Jepang), (frank) maupun poundsterling (Inggris) sering menurun nilainya. Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa kelebihan jumlah penerbitan uang akan mengakibatkan harga menjadi mahal karena menurunnya dayabeli uang. Hal ini akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi. Pengaruh ini akan besar dampaknya jika berlanjut dalam jangka waktu yang saling berdekatan. Karena uang yang ada tidak disandarkan pada satuan yang tetap, sistem uang fiat money dapat dijadikan jalan persekongkolan ataupun pertentangan antar negara. Nilai uang mereka dapat menurun karena pertambahan penawaran uangnya. Hal itu dapat terjadi dengan cara meningkatkan suku bunga deposito mata uang. Peningkatan suku bunga deposito itu bertujuan untuk meningkatkan jumlah tabungan dan menarik pemodal (investor) asing. Berubah-ubahnya nilai uang jelas akan mempengaruhi aktivitas perdagangan. Jika suku bunga mata uang tertentu meningkat atau kondisi ekonomi negara tersebut membaik, masyarakat tidak akan berpaling dari investasi perdagangan ke investai berupa tabungan dalam mata uang yang memiliki suku bunga yang kuat di bank sebagaimana terjadi tatkala lantai bursa Wall Street melemah pada tanggal 19 Oktober 1978 akibat melemahnya harga saham lebih dari 20 persen. Para pengamat ekonomi berbeda pendapat mengenai kejadian itu. Namun demikian, yang pasti, kejadian itu didorong oleh keinginan Amerika untuk menaikkan suku bunga dolar secara signifikan. Media-media Amerika menyiarkan berbagai berita mengenai perselisihan pandangan antara menteri keuangan Amerika dan menteri keuangan Jerman. Itu terjadi tatkala Amerika menaikkan suku bunga dolar AS karena menteri Jerman menaikkan suku bunga atas mark Jerman yang mendorong para pemilik saham bersegera menjual sahamnya sebagai upaya memperoleh laba yang lebih mudah dan lebih banyak dibandingkan dengan hasil investasi tabungan. Hal itu merupakan upaya memanfaatkan kesempatan yang ada sebelum kondisinya berubah. Inilah yang dijelaskan oleh menteri keuangan Prancis tentang sebab krisis. Setelah krisis tersebut, muncul usulan di kalangan sebagian menteri keuangan negara-negara Barat untuk mengaitkan kurs pertukaran mata uang utama mereka dengan harga barang lepas di antara mereka dengan emas; sesuatu yang memungkinkan dilaksanakannya kembali sistem Breeton Wood. Namun demikian, terjadinya semua itu tidak membuat dunia melepaskan interaksi menggunakan uang kertas (fiat money). Hal itu disebabkan oleh sikap beberapa negara besar yang diuntungkan dibandingkan dengan nasib sebagian besar negara yang dirugikan dengan sistem tersebut. Dengan sistem tersebut, mereka dapat melanggengkan pengaruh ekonomi dan politiknya terhadap negara-negara lain, karena mata uang mereka menjadi cadangan di bank-bank sentral negara-negara tersebut. Konsekuenasinya, kebijakan politik dan ekonomi mereka dapat mempengaruhi jalannya negara-negara tersebut. Negara-negara terseebut pada akhirnya menghentikan pandangannya di seputar perlunya perubahan atas sistem fiat money karena mereka tidak memiliki cadangan (back up) emas yang mencukupi terhadap jumlah uang mereka yang beredar. Akibat terus berlangsungnya sistem fiat money ini, dunia akan tetap sengsara karena krisis tersebut akan berulang selama tidak diselesaikan dengan penyelesaian yang benar. Setelah kami menjelaskan realitas terjadinya krisis ekonomi di atas, kami akan menjelaskan solusi jitu bagi krisis tersebut. 1. Solusi atas krisis akibat sistem mata uang. Kami telah memaparkan di muka, sistem keuangan dan pertukaran uang kertas (fiat money) sangat rentan terhadap krisis. Sebagai solusinya, mau tidak mau, setiap negara harus merujuk kembali pada sistem keuangan dan pertukaran uang berbasis emas; baik dengan menggunakan mata uang logam emas itu sendiri maupun menggunakan mata uang kertas substitusi yang di-back up (dapat dipertukarkan) dengan emas di bank sentral tanpa persyaratan dan batasan. Sebetulnya sudah banyak ekonom yang memperhatikan hal itu. Akan tetapi, sejumlah negara besar di dunia yang saling berhubungan, khususnya Amerika, menentang upaya kembali pada sistem keuangan dan pertukaran berbasis emas. Pasalnya, mereka takut kehilangan hegemoni dan pengaruhnya, baik secara politik maupun ekonomi, atas negera-negara lain. Ketakutan mereka muncul karena sistem berbasis emas akan menjamin kestabilan, mengantarkan pada bersinarnya pertumbuhan ekonomi, serta menghilangkan hegemoni satu negara atas negara lain. Dalam sistem berbasis emas uang distandarkan pada satuan yang kestabilan dan ketetapan harganya dikenal luas. Dalam sistem ini, suatu negara tidak dapat memperbesar (menambah) jumlah uang dengan seenaknya. Sebab, untuk mengeluarkan atau mencetak uang dengan jumlah tertentu yang dikehendaki akan dibatasi oleh cadangan emas yang dimiliki. Hal itu berkebalikan dengan sistem uang kertas (fiat money) yang memungkinkan suatu negara dapat dengan mudah mengeluarkan (mencetak) sejumlah uang sesuai yang dikehendaki ketika dibutuhkan untuk memenuhi keuntungannya sendiri; sesuatu yang secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya kelebihan jumlah uang dan melemahnya kepercayaan terhadap satuan mata uang tertentu. Penerapan sistem mata uang dan sistem pertukaran berbasis emas tersebut haruslah memenuhi beberapa syarat berikut: Hal ini jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi semata. Sementara itu, dari sudut pandang Islam, mata unag tidak boleh dibuat kecuali dari emas dan perak sesuai dengan dalil-dalil berikut: Pertama, persetujuan Rasulullah saw. untuk menggunakan emas dan perak sebagai mata uang Daulah Islamiyah. Rasulullah saw. menyetujui timbangan Quraisy sebagai standar timbangan dinar dan dirham. Dalam riwayat Thawus yang bersumber dari Ibn 'Umar disebutkan bahwa: Rasulullah saw. bersabda, 典imbangan itu adalah timbangan penduduk Makkah, yaitu berat sepuluh dirham sama dengan tujuh mitsqal, dan sesuai dengan timbangan kita sekarang, yaitu satu dinar sama dengan 4,25 gram emas dan satu dirham sama dengan 2,975 gram perak._ (HR). Kedua, Islam menghubungkan beberapa hukum syariat dengan emas dan perak, di antaranya : )وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ( Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah Swt. maka beritahukanlah kepada mereka azab yang pedih. »كَانَ يَأْخُذُ مِنْ كُلِّ عِشْرِينَ دِينَارًا فَصَاعِدًا نِصْفَ دِينَارٍ« »وَعَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفُ دِينَارٍ« Bagi penimbun emas (batas kena dendanya) adalah sebesar seribu dinar. (HR an-Nasa'i). Tangan (yang mencuri) dipotong pada (kasus pencurian) seperempat dinar atau lebih. (HR al-Bukhari dan Muslim). Ketiga, ketika Islam menetapkan hukum-hukum pertukaran dalam muamalah, emas dan perak dijadikan sebagai tolok-ukurnya. Rasulullah saw. melarang pertukaran perak dengan perak atau emas dengan emas kecuali sama nilainya. Beliau memerintahkan untuk memperjualbelikan emas dengan perak sesuai yang diinginkan. Atas dasar semua itu, jelas bahwa sesungguhnya mata uang Daulah Islamiyah adalah emas dan perak. Dengan demikian, untuk menyelesaikan krisis keuangan (mata uang) setiap negara harus merujuk kembali atau kembali pada sistem mata uang berbasis emas, baik emas saja atau emas dan perak. Hanya saja, hal itu tidak akan terlepas dari sejumlah problem akibat penimbunan internasional, adanya hambatan perbatasan (cukai), serta terkonsentrasinya emas dan perak dalam jumlah besar di kas-kas simpanan beberapa negara besar. Negara-negara tersebut rata-rata mempunyai kemampuan produksi yang besar, memiliki kemampuan yang baik dalam kompetisi perdagangan internasional, dan mempunyai keunggulan lainnya. Di samping itu, tentu saja adalah pengadopsian sistem mata uang kertas (fiat money) oleh sebagian negara-negara di dunia yang menggantikan sistem mata uang emas dan perak. Untuk menyelesaikan hambatan itu, negara yang kembali ke sistem emas dan perak harus: melaksanakan politik swasembada; mengurangi (meminimkan) impor; menerapkan strategi substitusi terhadap barang-barang impor dengan barang-barang yang tersedia di dalam negeri; serta menggenjot ekspor atas komoditas yang diproduksi di dalam negeri dengan komoditas yang diperlukan di dalam negeri ataupun menjualnya dengan pembayaran dalam bentuk emas dan perak atau dengan mata uang asing yang diperlukan untuk mengimpor barang-barang dan jasa yang dibutuhkan. Strategi tersebut dapat diterapkan oleh suatu negara. Sementara itu, berkaitan dengan Daulah Khilafah Islam—yang tidak lama lagi dengan izin Allah Swt. akan tegak kembali—maka perkara itu adalah perkara yang gampang, karena emas dan perak yang ada di negeri-negeri Islam dan yang ditimbun di bank-bank dan kas-kas yang ada jumlahnya mencukupi bagi kemungkinan Daulah untuk kembali pada sistem emas. Jumlah emas yang ada di negeri-negri Islam—yang akan menjadi satuan mata uang Daulah Khilafah Islamiyah bersama satuan emas, karena Daulah Khilafah Islamiyah akan menggunakan sistem emas dan perak dan menggunakan sistem dua logam (bimetal) dalam mata uangnya—juga tersedia dalam jumlah yang besar. Semua itu memudahkan Daulah Khilafah Islamiyah untuk kembali pada sistem emas dan perak. Di negeri-negeri Islam melimpah berbagai komoditas pokok yang membuat umat tidak membutuhkan komoditas lain sebagai kebutuhan dasar atau kebutuhan pokoknya. Dengan begitu, Daulah Khilafah Islamiyah tidak perlu mengimpor barang dari luar negeri yang bisa mengakibatkan mengalirnya emas ke luar Daulah. Lebih dari itu, negeri-negeri Islam memiliki barang-barang penting (strategis) seperti minyak yang dibutuhkan oleh seluruh negara di dunia sehingga Daulah Khilafah Islamiyah dapat menjualnya dengan pembayaran emas, atau dengan pembayaran berupa barang yang dibutuhkan di dalam negeri, atau dengan mata uang yang diperlukan untuk mengimpor barang dan jasa yang penting; sebagaimana negara juga dapat melarang mengekspornya kecuali jika dibayar dengan emas sehingga membuat cadangan emas yang dimiliki Daulah melimpah. Dengan kembali pada sistem emas, niscaya akan terwujud kestabilan ekonomi, hilangnya krisis yang terjadi, dan lenyapnya hegemoni uang suatu negara atas negara lain. Semua hal di atas adalah solusi yang jitu, jernih, dan mencukupi atas krisis keuangan yang terjadi selama ini. Wall禀u a'lam bi ash-shaw稈. (Habis) []Solusi Jitu atas Krisis Ekonomi yang Terjadi
(QS at-Taubah [9]: 34).
Rasulullah saw. memungut zakat untuk setiap 20 dinar atau lebih sebesar setengah dinar.
(HR Ibn Majah).
»تُقْطَعُ الْيَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا«
Saturday, January 12, 2008
MEMAHAMI KRISIS EKONOMI(MELALUI PENDEKATAN MONETER)Bagian Kedua
Posted by Harist al Jawi at 12:12 AM 1 comments
Labels: Artikel Ekonomi
CITRA POLITIK DI INDONESIA
Oleh : Lathifah Musa Partisipasi Politik Masyarakat Indonesia Berbicara soal politik, maka konotasi yang umum berkembang di masyarakat saat ini selalu berkaitan dengan kekuasaan atau atau dengan kata lain penentuan kebijakan dalam sebuah sistem. Suasana di masyarakat yang sering disebut sebagai suhu politik berubah, suhu politik menghangat, memanas dan lain-lain adalah ketika muncul suara-suara yang bersifat kritik terhadap kebijakan. Baik kritik tersebut hanya bersifat serangan-serangan saja sampai yang mulai menyodorkan solusi alternatif dalam rangka memperbaiki kondisi. Kacung Marijan, Staf Pengajar FISIP Unair, Surabaya, dalam artikelnya di Media Indonesia (05/08/96) menilai bahwa seiring denan meningkatnya kesejahteraan rakyat, mulai muncul kelompok masyarakat yang sering disebut ' the middle class'. Menurutnya, kelompok yang mulai mandiri secara ekonomi dan polotik ini tidak segan-segan melakukan tuntutan dan berpikiran kritis terhadap hal-hal yang menurut mereka menyimpang. Mereka tidak tahan untuk tetap diam terhadap berbagai kekurangan yang menyelimuti pemerintahan orde baru. Realitas macam ini konon kabarnya memaksa penguasa untuk melunakkan kebijakan-kebijakan politiknya. Hal ini terlihat, misalnya, dari mulai jarangnya penangkapan-penangkapan para aktivis politik yang bersebrangan dengan pemerintah, sebagaimana yang sering dilakukan sampai pada pertengahan tahun 1980-an. Menurut Kacung, kalau saja sikap pemerintah tidak mengalami perubahan, bisa dibayangkan betapa seringnya proses pengadilan politik, mengingat orang-orang yang bersebrangan dengan pemerintah kian vokal dan jelas. Sekalipun belum bisa dikatakan bahwa kran politik sistem telah terbuka lebar, namun kita bisa melihat masyarakat mulai kreatif menyuarakan aspirasinya. Kreativitas dan partisipasi politik rakyat ini hendaknya tidak dimatikan, demikian komentar kalangan pakar politik di Indonesia dalam sebuah Dialog Nasional " Indonesia dalam Dinamika Perubahan: Kebebasan, Stabilitas dan Pembangunan " yang diselenggarakan oleh CIDES (Center for Information and Development Studies) di Auditorium YTKI. Jakarta 26 Agustus 1996. Hal ini akan mengakibatkan penurunan yang tajam dari partisipasi politik masyarakat. Tampaknya kreativitas masyarakat ini belum mendapat dukungan. Menurut Arbi Sanit—seorang pengamat politik yang saat itu hadir sebagai pembicara—merosotnya partisipasi politik rakyat ini disebabkan oleh ketidakberdayaan kekuatan politik masyarakat. "Keberanian politik dari masyarakat sudah tidak ada lagi," tegas Arbi. Staf pengajar Fisip UI ini berpendapat, untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan reformasi politik secara menyeluruh dan secepat mungkin. Dalam kesempatan lain – masih masalah kualitas partisipasi politik rakyat – Jendral (Purn) A.H. Nasution dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Kelompok Kerja Petisi 50 di Jakarta, menyetujui bila dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mengalami 'lesu politik'. Menurut Pak Nas, lesu politik ini disebabkan oleh sistem yang ada kini justru lebih 'membirokratisasikan politik'. Dalam mengomentari pendapat Pak Nas, Dr. Loekman Soetrisno dari UGM Yogyakarta dan Drs. Hotman Siahaan dari Universitas Airlangga Surabaya – seperti dikutip kompas—berpendapat, kelesuan politik disebabkan oleh hegemoni politik negara. Selain itu juga karena akumulasi krisis politik rakyat (Ummat, 10/06/96). Di Indonesia, setiap menjelang pemilu, kegiatan-kegiatan politik disebutkan 'selalu meningkat'. Namun nilai peningkatan ini hanya dipandang bahwa saat itu rakyat mulai ambil bagian dengan keikutsertaannya dalam pemilu. Novel Ali, dosen FISIP Undip, Semarang, dalam artikelnya "Citra Politik Kita" (Media Indonesia, 06/06/96), mengemukakan bahwa latar belakang masyarakat Indonesia masih memiliki kecenderungan yang kuat dari lapisan menengah kebawah, untuk menyerahkan diri kepada lapisan atas. Partisipasi politik hanyalah dengan mempercayakan kepentingannya pada pimpinan organisasi yang diakui keberadaannya di era ini. Potret masyarakat Indonesia mengenai partisipasinya dalam politik dalam sebuah jajak pendapat yang di lakukan oleh LP3ES atas 750 penduduk pria dan wanita di Jakarta (Ummat, 2/9/96) secara umum menunjukkan tingkat buta politik masyarakat masih tinggi. Sekalipun hasil survei ini belum bisa dijadikan standar untuk menilai tingkat kesadaran politik, namun menurut beberapa pengamat, setidaknya bisa dijadikan indikator awal untuk mulai mengungkap gambaran umum masyarakat. "Salah satu yang bisa dipetik dari sini adalah, mayoritas masyarakat masih kekurangan pendidikan politik", demikian komentar Rustam Ibrahim, direktuur LP3ES. Dalam memandang partisipasi politik rakyat ini, kita pun perlu mempertanyakan tidak hanya dari sisi kenyataan yang dihadapi oleh para pengamat politik ini dilapangan, namun termasuk juga standar penilaian apa yang layak untuk digunakan. Bila dalam menilai bentuk partisipasi ini hanya dibatasi pada peran serta mereka dipemilu serta pandangan mereka terhadap peran tersebut, berupa hak atau kewajiban, maka penilaian ini belum bisa mewakili target kesadaran politik yang sesungguhnya. Dengan demikian perlu pula kita mengetahui lebih jelas lagi, bagaimana "Visi" kesadaran politik yang benar dari pihak rakyat, termasuk para pengamat politik saat ini. Kesadaran Politik Rakyat Rendah Benarkah kesadaran politik, rakyat Indonesia masih rendah? Mungkin saja! Sekalipun bisa dikatakan masyatakat mulai 'melek' politik, namun secara umum tingkat kesadarannya masih rendah. Sehingga masih muncul istilah 'secara umum masih buta' sebagaimana penelitian LP3ES di Jakarta. Kenyataan apa yang dipahami oleh masyarakat saat ini tentang aktivitas politik sampai saat ini hanyalah sekedar arahan tentang keterlibatan mereka dalam pemilu. Bila dicermati lebih jauh lagi proses 'penyambungan suara' itu pun hanya berhenti pada sekedar memilih warna /gambar secara umum rakyat tidak bisa mengetahui, menyadari dan memahami siapa wakil mereka, sejauh mana konsistensi pelaksanaan tugasnya, bahkan lebih jauh lagi mereka tidak/belum pernah mengenal individunya. Ketika dalam prakteknya para wakil yang telah dipilih rakyat ini telah menyuarakan pendapatnya di parlemen, sebenarnya mereka tidaklah mewakili rakyat diparlemen lebih banyak mewakili pribadinya sendiri. Sampai disini, keberadaan 'wakil-wakil rakyat' bagi rakyat yang memilihnya bagaikan tak ada arti. Keberadaan partai yang seharusnya sebagai kontrol berjalannya kebijaksanaan sistem, kenyataannya di Indonesia tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Suara-suara vokal yang mengkritik kebijaksanaan hanyalah sebatas suara individu, termasuk bagi mereka yang berada di parlemen. Kondisi pemilu di Indonesia tampaknya baru sampai pada target 'berjalannya aktivitas tersebut tanpa kendala yang berarti'. Sangat jauh bila kita fahami bahwa hakekat peran serta rakyat yang benar adalah 'mewujudkan agar urusan umat berjalan seperti yang seharusnya'. Tidak salah bila secara umum kondisi ini mengakibatkan para pengamat menilai bahwa partisipasi politik masyarakat mengalami penurunan yang sangat 'tajam' (Media Indonesia, 27/08/96). Dari pihak rakyat lebih tepat lagi bila dikatakan 'kesadaran politik rakyat' masih rendah. Konsekuensinya makna politik pun difahami secara dangkal. Bila kita mengamati gejolak politik yang kian memanas akhir-akhir ini di Indonesia, tampaknya masyarakat dalam mengungkapkan suara-suara proter terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak penguasa, mulai menjurus pada tindakan kebrutalan. Tercatat peristiwa kerusuhan di Purwakarta dan Pekalongan yang berbau rasial terhadap komunitas Cina, Peristiwa Situbondo ketika seorang tokoh agama dihina, Peristiwa Tasikmalaya yang diawali ketika sejumlah polisi menyiksa seorang ustadz dan santrinya serta beberapa catatan kerusuhan lain yang menambah suramnya agenda 1996. Para pengamat politik mulai memperdebatkan mengapa semua ini bisa terjadi. Namun secara umum semua tidak mengelak bila dikatakan bahwa akar persoalannya adalah ketidakpuasan rakyat terhadap realita kehidupan yang mereka hadapi. Menurut Pak Nas (Republika, 6/01/97) penyebabnya sangat 'complicated'. Berbagai persoalan yang muncul, katanya, dipicu oleh adanya ketidak adilan di masyarakat, tidak tegaknya hukum, adanya arogansi kekuasaan dari oknum aparat, tersumbatnya aspirasi masyarakat, serta jurang antara si kaya dan si miskin yang semakin melebar. "Pokoknya peristiwa yang terjadi itu satu sama lain bertali temali ibarat benang kusut", katanya. Dr. Afan Gaffar, dosen pasca sarjana UGM dan pengamat politik dalam Media Dakwah (Maret, 1996) berpendapat bahwa rakyat berada pada posisi yang sangat lemah bila berhadapan dengan pemerintah. Dalam pembentukan kebijakan publik, rakyat mengalami proses alienasi, karena kebijakan publik merupakan dominasi dari sekelompok elit politik yang berkuasa. Sementara itu rakyat diwajibkan untuk menyukseskan implementasi politik tanpa pernah terlibat merumuskannya. Kasus pembebasan tanah, penggusuran dan pada umumnya pembentukan kebijakan nasional merupakan sesuatu yang riil dalam kehidupan politik kita, yang memperlihatkan kebenaran dugaan bahwa rakyat mengalami alienasi. Bila dilihat dari proses sosialisasi politik, individu tidak terbiasa untuk membentuk jati dirinya yang bersifat mandiri. Menurut Hildred Greetz, anak-anak dalam keluarga Indonesia seringkali mengalami alienasi politik, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial setelah mereka dewasa. Dalam kondisi seperti ini, wajar bila rakyat mudah diperalat untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok tanpa mereka memahami hakikat persoalanya . Meminjam komentar Amin Rais dalam Republika (6/01/97), bahwa masyarakat Indonesia itu seperti rumput kering yang mudah terbakar. Boleh pula kita katakan bahwa situasi di masyarakat bagaikan bara yang tertutupi sekam. Setiap saat bisa berkobar! Menanggapi persoalan ini, yang harus kita perhatikan dalam rangka memperbaiki kesadaran politik rakyat antara lain : negara harus membiarkan rakyat mengenal dan memahami makna politik yang sebenarnya. Atau dengan arti lain rakyat memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan politik. Terlebih lagi bila kita pandang dalam kapasitas mereka sebagai seorang muslim, karena mayoritas penduduk di Indonesia adalah kaum muslimin. Sehingga apabila muncul ketidakpuasan di kalangan rakyat, akan disertai pula dengan cara pandang ('visi') yang sebenarnya dalam rangka memperbaiki kondisi tersebut secara benar dan tepat. Dengan demikian peran aktif rakyat yang sesungguhnya dalam politik akan tergambar. Politik dan Ideologi AM. Saepudin, Ph.D, anggota komisi X FPP DPR-RI, anggota Dewan pakar ICMI Pusat, dalam Media Indonesia (23/08/96) Mengemukakan bahwa politik dianut oleh suatu bangsa sebagi suatu sistem kenegaraan dalam bentuk apapun, yang menyangkut hubungan kemanusiaan secara universal dengan bangsa lain . Bila kita lihat dalam bangsa Indonesia , maka politik bisa berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, strategi, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara atau negara lain. Politik dalam bahasa Arab biasa disamakan dengan kata siyasah. Ahmad 'Athiyah dalam 'Kamus Politik'-nya halaman 320 menyatakan bahwa politik bermakna memelihara dan memperlihatkan urusan rakyat. Lebih tepat dan mendasar mengenai makna ini juga dikemukakan oleh Syeikh Taqiyudin An Nabahani dalam kitab "Mafaahim As-siyasah" . Beliau mendefinisikan politik (as siyaasah), yang menyangkut aspek umat dan negara sebagai : Pemeliharaan Dalam upaya mengatur dan memelihara urusan umat secara umum dii berbagai sistem manapun akan ada kebijakan-kebijakan atau aturan (rules). Kebijakan atau aturan ini ditegakkan dalam rangka mengatur seluruh urusan masyarakat. Proses penetapan kebijakan bisa berlangsung berbeda-beda antar sistem politik. Bila dikatakan orientasi nilai adalah salah satu unsur dalam sistem politik (Samodra Wibawa, 1994). Maka perbedaan unsur ini akan melahirkan kebijakan politik yang tidak sama. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa sebuah ideologi secara pasti akan melahirkan warna kebijakan tertentu. Dengan demikian wajar bila konsep politik yang muncul dari sistem dengan landasan ideologi Islam akan berbeda dengan konsep politik yang disampaikan oleh penganut ideologi lain. Kebijakan politik yang bersandarkan pada Islam, tidak akan sama dengan kebijakan kebijakan yang terlahir dari konsep politik sosialis ataupun kapitalis. Salah satu hal yang bisa kita pelajari dalam rangka mencari akar sebuah strategi adalah konsep 'politik kontekstual' seperti yang dikemukakan oleh Ipong S. Azhar, dosen FISIP- USU, medan, dalam Media Indonesia (12/08/96). Sebagaimana teori-teori sosial (versi sosialis) yang difahaminya, berpolitik praktis juga perlu disesuaikan dengan konteks sistem politik yang berlaku dan permasalahan yang tengah dihadapi. Maka berpolitik yang efektif menurutnya adalah mengikuti irama sistem. Merujuk pada pendapat Max Weber, Ipong berpendapat bahwa dunia politik praktis adalah dunia profesi sebagaimana dunia kedokteran, kehakiman, perdagangan ataupun olah raga. Karena itu politisi menurutnya adalah seorang profesional sebagaimana hakim, pengacara, usahawan, atau pemain tinju. Bila masyarakat bertumpu pada aksioma yang mengatakan bahwa setiap profesi memiliki kode etik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, maka seorang politisi tidak akan bisa berperilaku seperti rohaniawan atau hakim dan mereka juga tidak akan dapat dicela apabila perilakunya tidak sama dengan rohaniawan atau hakim. Perkembangan teori ini mengarah pada 'politisi memiliki kode etik dan rohaniawan serta hakim pun memiliki kode etik tersendiri'. Selanjutnya akan timbul pertanyaan bagaimana kode etik seorang politisi? Bagi Ipong, politik itu sendiri adalah segala hal yang berkenaan dengan kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk mengelola (mengendalikan, mengatur dan mendistribusikan) kebutuhan orang banyak agar semua bisa mendapat bagian dan merasa terpuaskan. Karena berkenaan dengan kepentingan orang banyak, maka kode etik yang berlaku di dunia politik adalah paradigma (yaitu cara berfikir, bersikap dan bertindak) yang berorientasi kepada kepentingan orang banyak,dengan jalan mendahulukan kepentingan orang banyak ini daripada kepentingan pribadinya. Berpijak pada teori ini tanpa adanya standar yang senantiasa tetap dan pasti dalam memandang persoalan umat maka kebijakan akan senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan dan pergeseran nilai yang ada ditengah masyarakat. Perspektif politik ini tidak layak diterapkan pada masyarakat yang senantiasa harus berpegang pada suatu standar yang baku, seperti kaum muslimin. Islam sendiri adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk negara dan politik. Islam adalah aqidah ruhiyah (yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak dapat dilepaskan dari aturan yang diberlakukan untuk mengatur urusan masyarakat dan negara. Bagi kaum muslimin cara pandang inilah yang harus senantiasa digunakannya. Sampai saat ini umat Islam (termasuk di Indonesia) masih teramat asing dengan aturannya sendiri. Maka politik pun berkembang sebagaimana kondisi yang mereka alami. Demikian pula dengan berbagai kebijakan, yang terlahir dari konsep politik dan nilai-nilai sesuai yang ditetapkan oleh penentu kebijakan (penguasa). Nilai-nilai ini bisa bersifat nilai pribadi, kepentingan kelompok tertentu, nilai moral, kebebasan, sosial dan lain-lain yang masih sangat mudah bergeser sesuai dengan pergeseran nilai-nilai tersebut di masyarakat. Umat Islam Harus Sadar Politik Untuk mengatur seluruh urusannya (baik sebagai individu, masyarakat ataupun negara), 'mau tidak mau' rakyat harus memahami strategi pengaturan urusan ini. Kesadaran ini haruslah dalam bentuk yang universal (mencakup dunia internasional) dengan suatu sudut pandang yang khas. Sudut pandang umat sebagai kaum muslimin adalah bagaimana mereka memandang dalam kerangka kesadaran Islam tentang kehidupan, dimana pun mereka berada. Sesuai dengan makna politik, maka kesadaran ini berarti memelihara dan mengatur urusan umat atas dasar kesadaran itu. (Muhamad Isma'il, 1995) Dewasa ini istilah 'melek politik' yang berkembang di tengah masyarakat (Ummat, 02/09/96), baru diartikan dengan 'ketidaksudian' rakyat dijadikan sebatas sarana untuk kepentingan gemerlapnya kelompok dan golongan minoritas saja. Belum dalam pengertian kesadaran umat akan makna dan kepentingan politik yang sesungguhnya. Dalam kapasitas umat sebagai kaum muslimin, tampaknya kesadaran ini belum lagi tumbuh. Kaum muslimin di Indonesia masih merasa asing bila dikatakan bahwa Islam memiliki konsep politik yang dibangun diatas aqidah Islamiyah yang berbeda dengan konsep dari ideologi manapun. Bahwa Islam pun telah menetapkan peran dan tanggung jawab berpolitik pada seluruh kaum muslimin, itu pun belum mereka ketahui. Bahkan Islam mewajibkan berdirinya partai politik yang berjuang untuk Islam, dengan tugas menyebarkan dakwah Islam kepada orang-orang kafir di seluruh dunia, termasuk kepada penguasa, itu masih asing dalam benak mereka. Padahal telah jelas Firman Allah SWT : "Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al khair (dinul Islam) menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar" (QS. Ali Imran :104). Allah SWT dalam ayat tersebut telah menjelaskan metode yang semestinya dilakukan oleh kaum muslimin dalam mengemban dakwah Islam yaitu amar ma'ruf nahi mungkar. Fakta lain yang banyak terjadi sekarang adalah masalah politik yang hanya menjadi obyek perbincangan kalangan tertentu, bukan kebanyakan orang. Selain masih ada yang menganggap bahwa Islam tidak mengatur persoalan politik, ada pula yang menganggap bahwa perbincangan masalah politik hanya akan mempersempit ruang gerak umat islam, lalu akan melalaikannya dari selain politik, seperti masalah ibadah, aqidah dan lain-lain. Kesalahfahaman tentang makna politik ini akan bisa disadari bila umat Islam (termasuk kaum muslimin di Indonesia) menengok kembali praktek kehidupan kaum muslimin terdahulu ( mulai dari tegaknya Daulah Khilafah di Madinah sampai masa berakhirnya Kekhilafahan Islamiyah di Turki Tahun 1024). Kurangnya kesadaran umat akan politik akan bisa diatasi bila kaum muslimin mau menerima konsep politik yang shahih, yang telah ditetapkan Islam. Bagaimana dengan kaum muslimin di Indonesia?
urusan umat dalam dan luar negeri
Posted by Harist al Jawi at 12:10 AM 0 comments
Labels: Artikel Politik
Cara Pandang Ideologis Berbicara mengenai cara pandang manusia tentang kehidupan, sama artinya dengan membicarakan hakikat kehidupan ini, apa yang ada dibalik kehidupan ini, dari mana asal kehidupan ini, untuk apa kehidupan ini ada, dan akan kemana setelah kehidupan ini berakhir. Di dunia tempat kita berdiam sekarang, dikenal ada tiga kategori cara pandang (yang populer) terhadap kehidupan ini, yaitu sosialisme, kapitalisme-sekularisme, dan Islam. Kelompok penganut cara pandang sosialisme menyandarkan anggapannya bahwa awal dan akhir kehidupan mereka adalah materi. Menurut mereka manusia bebas menentukan apapun kehendaknya. Orang-orang kapitalis-sekularis, sekali pun mereka mengakui bahwa kehidupan ini ada karena ada Tuhan yang menciptakan serta mengakui bahwa setelah kehidupan ini berakhir mereka akan kembali kepada Tuhan, namun mereka beranggapan bahwa Tuhan ibarat seorang pembuat jam yang hanya sekedar membuat, sementara membiarkan jam tersebut bergerak sendiri. Dalam hal ini cara pandang kapitalis-sekularis tidak berbeda jauh dengan cara pandang sosialis, yaitu sama-sama menganggap manusia bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya dalam kehidupan ini. Pada dasarnya apa yang mereka lakukan adalah untuk mengejar materi yang setinggi-tingginya. Kesamaan pandangan keduanya dalam memandang kebebasan manusia mengantarkan kedua kelompok manusia ini menjadi kelompok yang meyakini kebebasan sekaligus menyerukannya di tengah-tengah kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan Islam. Islam adalah sebuah cara pandang yang disandarkan pada sebuah keyakinan bahwa hidup ini ada karena ada Pencipta yang menciptakannya. Sang Pencipta berperan mengatur kehidupan manusia di dunia ini serta berhak menghisap manusia dan menggolongkan mereka sebagai orang-orang yang taat dan orang-orang yang durhaka. Kepada kedua golongan manusia ini disediakan tempat kembali yang berbeda. Jannah yang penuh kenikmatan bagi orang-orang yang taat dan An-Naar yang penuh dengan adzab bagi orang-orang yang durhaka. Sang Pencipta tersebut adalah Allah SWT penguasa langit, bumi, serta tidak ada sekutu baginya. Adanya cara pandang yang berbeda tadi menjadi penyebab berbedanya Islam dengan yang lain. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan dalam mengambil standar peraturan, tolak ukur perbuatan, tujuan hidup dan dalam menentukan strategi meraih tujuan hidup tersebut. Perbedaan mendasar antara sosialis, kapitalis dan Islam terletak pada "sesuatu" yang menjadi sandaran bagi sumber peraturan, standar hidup, tujuan hidup dan strategi kehidupan yang diambil. Kelompok sosialis dan kapitalis-sekularis menjadikan manusia sebagai sumber peraturan, sebagai penentu tolak ukur perbuatan, sebagai penentu tujuan hidupnya sendiri serta membiarkan manusia menentukan strateginya dalam meraih tujuan hidup tersebut. Berbeda-bahkan bisa dikatakan sangat bertentangan- dengan Islam yang menjadikan seluruh ketentuan tersebut bersandar hanya kepada Allah Ta'ala. Cara Pandang Idealis Versus Akomodatif Perbedaan cara pandang menyebabkan perbedaan metode, strategi, sekaligus cara memecahkan persoalan kehidupan. Ketika sebuah cara pandang mendasarkan idenya di atas asas manfaat (mashlahat), maka nilai inilah yang menjadi tolak ukur dalam menentukan sebuah metode, strategi ataupun cara. Segala bentuk-bentuk pertimbangan dikembalikan pada; apakah hal tersebut bermanfaat bagi manusia atau tidak, atau apakah manusia mampu, layak dan tepat mengambil strategi tersebut (dengan perhitungan menfaat) ataukah tidak. Ketika seorang manusia memiliki cara pandang yang dibangun di atas asas manfaat, kemudian ia berhadapan dengan persoalan-persoalan ekonomi yang harus diselesaikannya, maka ia akan memperhitungan apakah cara-cara yang diambilnya dapat mendatangkan manfaat atau tidak, tanpa ada pertimbangan ataupun perhitungan lain. Kemudian, ketika ia menjalani kehidupan sosial dengan individu-individu yang lain, maka ia akan mempertimbangkan, apakah tatanan kehidupan sosial yang dipilihnya sesuai dan memberikan manfaat bagi dirinya baik secara individu atau bersama-sama individu lain. Demikian halnya dengan berbagai aspek kehidupannya yang lain. Sampai-sampai dalam urusan beragama pun ia akan memperhitungkan apakah urusan beragama yang diterjuninya bertentangan dengan ukuran kemanfaatan hidupnya atau tidak. Cara pandang sosialis dan kapitalis-sekularis memungkinkan 'penganutnya' melakukan akomodasi terhadap berbagi macam nilai dengan alasan 'sesuai dengan nilai kemanfaatan', sekalipun masing-masing memiliki cara tersendiri dari sisi penerapannya. Para sosialis memfokuskannya pada kemanfaatan bagi komuni (kumpulan individu) melalui negara sedangkan kapitalis-sekularis mamfokuskannya pada individu. Contoh terdekat mengenai hal ini, adalah ketika sebuah negara kapitalis-sekularis melalui penguasanya menerapkan peraturan jaminan sosial,Upah Minumum Regional (UMR) dan lain-lain. Bila kita cermati, peraturan-peraturan ini merupakan bentuk campur tangan negara terhadap persoalan kesenjangan kepemilikan kapital akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Dengan demikian bebrapa praktek tersebut-yang pada awalnya adalah ide sosialisme- diadopsi oleh negara-negara penganut sistem kapitalisme guna menutupi kelemahannya. Apakah strategi tersebut melanggar ideologi kapitalis-sekularismenya ? Dalam hal ini tidak, karena akomodasi dilakukan atas alasan manfaat. Dalam sistem kapitalisme, kebebasan kepemilikan yang dianutnya telah menimbulkan kesenjangan yang besar dalam masyarakat antara orang-orang yang memiliki kapital dengan yang tidak. Kondisi ini mampu memicu konflik yang akan mengancam kepentingan manfaat dalam sisitem kapitalisme (yang dikuasai oleh para pemilik kapital) itu sendiri. Akomodasi juga dilakukan oleh penganut sosialis baik dari sisi negara menetapkan sebagian konsep kapitalisme dalam perekonomiannya atau berbagai keterbukaan (kebebasan) lain bagi rakyatnya, sekalipun sosialisme tetap mejadi ide dasarnya. Cara pandang adalah kerangka ketika seseorang berfikir. Mereka yang terpengaruh oleh cara pandang sosialisme dan kapitalisme dengan alasan manfaat akan mengakomodasi nilai-nilai sebuah agama, ketika dipandang hal tersebut memang perlu. Cara pandang kedua ideologi ini akan mewarnai perspektif yang digunakannya untuk menilai berbagai hal tentang persoalan-persoalan keagamaannya. Beberapa kaidah yang terkandung dalam kedua cara pandang tersebut akan menyusun kerangka berpikirnya, ketika ia menilai berbagai persoalan kehidupan. Perilakunya akan menjadi bukti cara pandang yang telah ia gunakan. Sebagai contoh, seorang muslim yang mengaku menganut aqidah Islamiyah namun tidak menggunakan aqidah tersebut sebagai asas cara pandangnya sehingga seluruh perilakunya sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka cara pandang seorang muslim ini akan mudah terwarnai oleh cara pandang lain ( di luar aqidah Islamiyah). Manfaat adalah asas yang paling dominan bagi cara pandang selain Islam. Muslim ini pun akan mangambil nilai-nilai Islam yang menurutnya sesuai kondisi (kemanfaatan) yang dialaminya, atau ia akan mengakomodasi nilai-nilai Islam sebagian saja tanpa mengambil keseluruhan nilai dan penerapannya. Dalam masyarakat yang mayoritas menganut cara pandang sosialis dan kapitalis-sekularis, Isalm hanya diakomodasi sebagai aturan ruhiyah semata, sehingga naluri beragama seorang muslim seolah-olah terpelihara dengan baik. Dalam hal ini kebutuhan beragama seseorang seolah telah terpenuhi, maka tercapailah sebuah manfaat tanpa perlu menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem kehidupan. Inilah yang bisa kita katakan sebagai seorang muslim yang memiliki cara pandang dan perilaku kapitalis-sekularis, karena dalam hal ini hanya nilai-nilai Islam yang mendatangkan manfaat saja yang akan diambilnya, sedangkan yang tidak, akan ditinggalkannya. Dengan demikian tolak ukur bagi seluruh aspek kehidupannya disandarkan pada nilai kemanfaatan. Terlalu dini untuk menilai apakah muslim ini akan terseret pada kekufuran atau tidak. Yang jelas bila ia menyadari sepenuhnya bahwa agama Islam baginya sekedar manfaat belaka, bukan tidak mungkin ke-Islamannya akan terlempar jauh ketika suatu saat nilai kemanfaatan ini hilang dari hadapannya. Peristiwa yang teramat tragis bagi seorang muslim. Bagaimana dengan cara pandang Islam? Mungkinkah cara pandang ini mengakomodasi nilai-nilai ideologi lain? Bila dipahami secara mendalam mengenai hakikat aqidah Islamiyah, maka cara pandang Islam adalah sebuah cara pandang yang khas, didasari oleh wahyu Allah SWT yang akan membentuk mode masyarakat yang bercorak khusus. Kehidupan masyarakat, sumber peraturan yang digunakan, standar hidup, tujuan hidup dan strategi yang digunakannya pun bersifat khas pula, sesuai tuntunan Al wahyu. Cara pandang Islam bersifat universal, dalam arti mampu memecahkan seluruh persoalan kehidupan manusia di seluruh waktu dan tempat, baik menyangkut peraturan perekonomian, pemerintahan, tata pergaulan (sosial), pendidikan, pidana, sangsi dan pelanggaran lain-lain. Dengan demikian Islam adalah sebuah cara pandang ideologis dan sistem hidup yang sempurna bagi manusia karena berasal dari pencipta manusia itu sendiri. Akomodasi terhadap nilai-nilai ideologi lain tidak perlu dilakukan, karena bukankah Islam telah sempurna? Terlebih lagi bentuk akomodasi itu sendiri bertentangan dengan cara pandang Islam. Khatimah Dari uraian ini, kita dapati bahwa cara pandang Islam bersifat idealis yang tidak akan pernah menerima bentuk akomodatoif terhadap cara pandang lain. Jelaslah bahwa Islam adalah cara pandang mendasar yang memilki konsep sistem kehidupan yang sempurna. Namun masalahnya, cara pandang dan konsep kehidupan ini masih dirasakan asing oleh mayoritas kaum muslimin. Sekiranya ada yang telah memahami cara panadang dan konsep ini, sifatnya masih terbatas pada individu-individu muslim. Bisa kita cermati hal ini dari kondisi mayoritas negeri-negeri muslim dengan mayoritas kaum musliminnya yang masih menerapkan sistem sosialis, kapitalis-sekularis atau keduanya sekaligus dalam bentuk kompromi nilai-nilai. PUSTAKA Muhammad. Muhammad Isma'il. Al Fikrul al Islamiy. Maktabah Al Wa'iy. Cetakan ke-1. April 1992.CARA PANDANG IDEALIS VERSUS AKOMODATIF
Posted by Harist al Jawi at 12:07 AM 0 comments
Labels: Artikel Politik
Sunday, December 9, 2007
FAQ Hizbut Tahrir
Siapakah Hizbut Tahrir?
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan. Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya. Hizbut Tahrir memulai aktivitasnya di Al Quds (
Apakah Tujuan dari Hizbut Tahrir?
Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum muslimin kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Di mana seluruh kegiatan kehidupannya diatur sesuai dengan hukum-hukum syara’. Pandangan hidup yang akan menjadi pedoman adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islamiyah, yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat dan dibai’at oleh kaum muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Di samping itu Hizbut Tahrir bertujuan membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang cemerlang. Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini. Dan negara Khilafah akan kembali menjadi negara nomor satu di dunia—sebagaimana yang terjadi pada masa silam—yakni memimpin dunia sesuai dengan hukum-hukum Islam. Hizbut Tahrir bertujuan pula untuk menyampaikan hidayah (petunjuk syari’at) bagi umat manusia, memimpin umat Islam untuk menentang kekufuran beserta segala ide dan peraturan kufur, sehingga Islam dapat menyelimuti bumi.
Bagaimanakah Hizbut Tahrir berusaha untuk mencapai tujuannya?
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologikan Islam. Aktivitas partai meliputi seluruh dunia Islam untuk mengembalikan Islam sebagai pandangan hidup dengan menegakkan kembali Khilafah Islam. Hizbut Tahrir senantiasa mengacu kepada Syariat Islam dalam setiap aspek aktivitasnya, dan mengambil metodologinya dari Rasulullah saw. Yang telah berhasil mendirikan Negara Islam pertama di Madinah. Nabi Muhammad membatasi perjuangannya untuk mendirikan Negara Islam dengan menggunakan jalur politik dan intelektual. Karenanya Hizbut Tahrir menolak penggunaan kekuatan fisik untuk berjuang dan melawan rezim yang zalim.
Hizbut Tahrir menantang secara terbuka dan terang – terangan, dalam menyebarkan ide – idenya dan dalam berkonfrontasi melawan ide yang salah serta partai politik yang sekuler. Baik hal itu dilakukan dalam berjuang melawan kolonialis maupun dalam perjuangannya dalam melawan penguasa Muslim yang korup. Hal ini telah membawa sejumlah akibat buruk bagi para syababnya yang disebabkan oleh siksaan yang ditimpakan oleh penguasa – penguasa zalim tersebut. Diantara akibat – akibat buruk yang ditimpakan itu adalah penjara, siksaan, deportasi, pengejaran, memutus mata pencaharian, merusak citra Hizb, sampai dengan pembunuhan anggota – anggotanya. Meskipun Hizbut Tahrir berkomitmen untuk secara terbuka dan terang – terangan menantang pemikiran kufur, tetapi tetap tidak boleh untuk melakukan perjuangan politiknya sendirian dan tidak mengambil aktivitas yang berorientasi pada perolehan materi sedikitpun ketika menentang penguasa atau ketika menentang orang – orang yang bertolak belakang dengan Hizb. Hal ini sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw yang dilarang oleh Allah swt. untuk tidak memenuhi tawaran – tawaran yang bersifat duniawi dan melakukan aktivitas – aktivitas jamaah yang berorientasi pada perolehan materi semata hingga beliau hijrah ke Madinah.
Seluruh penjuru dunia pada dasarnya adalah lokasi yang cocok untuk seruan kepada Islam. Akan tetapi selama orang – orang di negeri – negeri Muslim telah berada dalam pelukan Islam, maka akan sangat baik bila seruan itu dimulai di negeri – negeri tersebut. Negeri – negeri Arab adalah lokasi yang paling sesuai untuk memulai seruan karena negeri inilah yang telah menggunakan bahasa arab sebagai bahasa kesehariannya, dan bahasa arab itulah yang merupakan bahasa Al Quran dan As- Sunnah yang merupakan bagian paling penting dan merupakan elemen dasar dari kebudayaan Islam. Hizbut Tahrir memulai dan mengawali seruannya untuk kembali kepada Islam di beberapa negeri Arab. Kemudian hal ini terus meluas sampai seruan tersebut diterima dengan baik di negeri – negeri Muslim, baik itu di negeri Arab maupun non Arab. Hizbut Tahrir mencoba untuk mendirikan kembali khilafah Islam di seluruh penjuru dunia.
Apakah Hizbut Tahrir beraktivitas dibawah nama – nama lain?
Hizbut Tahrir tidak dikenali melalui nama – nama yang lain di seluruh penjuru dunia. Seluruh leaflet, buku, analisis politiknya dan publikasi – publikasi yang lain dikeluarkan atas nama Hizbut Tahrir semenjak pendiriannya di tahun 1953. Hizbut Tahrir tidak memiliki asosiasi dengan gerakan Islam ataupun gerakan non Islam yang lain, juga tidak dengan partai tertentu ataupun organisasi tertentu baik itu hanya sekedar nama ataupun hubungan secara resmi.
Apakah Khilafah itu (atau Khalifah)?
Khilafah adalah sebuah kepemimpinan umum bagi semua kaum muslimin di dunia. Khilafah berperan sebagai pelaksana hukum Islam atau syariat Islam dan untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Khilafah Islam bukanlah pemerintahan demokrasi, teokrasi ataupun monarki. Syariat yang digunakan untuk menetapkan aturan, ataupun mengurusi kepentingan masyarakat dalam negeri dan dasar kebijakan – kebijakan luar negerinya adalah berasal dari Allah swt. Bentuk khilafah adalah bentuk kesatuan bukan Negara serikat. Sistem pemerintahan dalam Islam, yang merupakan system Khilafah, adalah system kesatuan bukan system federal. Kaum muslimin di seluruh dunia tidak diperbolehkan memiliki lebih dari satu Negara Islam.
Apakah system khilafah Islam adalah system monarki?
System monarki bukanlah system Islam dan Islam tidak menyetujuinya. Hal ini karena dalam system monarki sang raja tidaklah memegang kekuasaan secara riil. Mereka hanyalah bertindak sebagai symbol Negara semata sebagaimana yang terjadi di Inggris dan Spanyol. Hal ini bertentangan dengan pengertian Khalifah yang bukanlah symbol Negara semata, melainkan seseorang yang menerapkan hukum Allah atas nama kaum muslimin. Begitupun juga dengan system monarki yang menjadikan rajanya sebagai symbol Negara termasuk penguasa yang menerapkan hukum – hukumnya seperti kasus
Apakah Khilafah Islam sebuah system Imperial?
Wilayah yang berada di bawah kekuasaan Islam-yang terdiri dari berbagai bangsa dan terhubung dalam satu tempat- tidak diatur berdasarkan system imperial tetapi dengan menggunakan system yang berbeda dengan system imperial. System imperial tidak memperlakukan bangsa – bangsa dengan perlakuan yang sama di wilayah kerajaan yang bervariasi, bahkan memberikan hak istimewa atas pengaturan, financial dan dalam bidang ekonomi kepada pusat kerajaan.
Jalan Islam dalam mengatur wilayah – wilayah tersebut adalah dengan jalan perlakuan yang sama. Islam menjamin non Muslim yang memiliki kewarganegaraan Khilafah mendapatkan hak dan kewajiban yang serupa dengan yang dimiliki oleh kaum muslimin. Mereka menikmati keadilan sebagaimana kaum muslimin mendapatkannya dan kewarganegaraan yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana layaknya seorang muslim. Lebih jauh lagi, setiap warga Negara, tanpa memperhatikan lagi agamanya, menikmati hak yang bahkan seorang muslim yang hidup di luar negeri tidak menikmatinya. Dengan persamaan ini, system Islam berbeda dengan system imperial. Khilafah Islam tidak menjadikan wilayah di bawah kekuasaannya sebagai koloni, area eksploitasi, ataupun sebagai sumber kekayaan yang akan menyalurkannya ke pusat kekuasaan untuk kepentingan pusat kekuasaan itu sendiri. Tidak peduli betapa jauhnya wilayah itu, dan tidak peduli betapa berbedanya bangsa di wilayah tersebut, Khilafah Islam akan tetap memperlakukannya dengan adil. Setiap wilayah dianggap sebagai bagian dari Negara dan masyarakatnya menikmati hak yang sama dengan yang didapat oleh masyarakat di wilayah pusat Negara. Hal ini juga membuat wewenang untuk mengatur, system yang diberlakukan serta legislasinya sama di semua wilayah Negara khilafah Islam.
Dimanakah Khilafah saat ini?
Saat ini khilafah tidak eksis di bagianmanapun di dunia ini. Khilafah Islam telah dihancurkan pasca perang dunia pertama di tangan seorang Mustafa Kemal yang berkebangsaan Turki. Mengomentari penghancuran khilafah ini, Lord Curzon, seorang sekretaris Urusan Luar Negeri Inggris, mengatakan di depan “House of Commons” (Gedung DPR Inggris) pada 24 Juli 1924 “… Turki (pusat khilafah) telah mati dan tidak akan bangkit lagi karena kita telah menghancurkan kekuatan moral mereka, yaitu Khilafah dan Islam.”
Bagaimana dengan Saudi Arabia, Iran,
Suatu kawasan atau Negara akan disebut sebagai sebuah Negara Islam bila setiap lembar konstitusi negaranya, setiap peraturan dan hukum – hukumnya berasal dari Syariat Islam. Dalam setiap contoh Negara yang disebutkan di atas, criteria – criteria agar dapat disebut sebagai Negara Islam tidak dipenuhi. Pada negeri – negeri tersebut, hukum Islam hanya terdapat pada tulisan yang terdapat pada legislasi Negara, dengan semua tipe dari legislasi sekuler dan adat istiadat di sandingkan dengannya, bahkan konstitusi memberi bobot yang lebih pada demokrasi, sosialisme, kapitalisme dan sejenisnya. Oleh karena itu kita sama sekali tidak dapat mengklaim bahwa negeri – negeri Islam yang sekarang itu adalah representative dari Islam dan system pemerintahan Islam yang disebut dengan Khilafah Islam.
Siapa yang akan menjadi penguasa di Khilafah Islam dan kepada siapa dia bertanggung jawab?
Seorang Khalifah memerintah Negara berdasarkan pada perintah Allah sebagaimana yang termaktub dalam al Quran dan juga suri tauladan yang terdapat pada Rasulullah saw. Masyarakat memilih dan mengangkat seorang khalifah. Sebagai seorang warga dari Negara Islam, baik laki – laki maupun perempuan, Muslim ataupun non Muslim, dapat bertemu ataupun mendekati Khalifah. Hal ini bisa jadi karena berbagai perkara misalnya saja untuk mendorongnya takut kepada Allah, mengadukan hak yang belum didapatkan dll. Masyarakat harus mengganti sang khalifah bila ia menerapkan hukum selain dengan hukum Islam.
Bagaimana khalifah memandang permasalahan sains dan teknologi?
Ketika Islam datang untuk pertama kali sebagai pandangan hidup, Muhammad saw. Mengirim kaum muslimin untuk misi – misi special ke as-Sham (saat ini adalah
Bagaimanakah wanita diperlakukan di Khilafah Islam?
Kaum laki – laki dan perempuan memiliki persamaan dilihat dari segi bahwa mereka adalah sama – sama manusia. Mereka memiliki pikiran, kemampuan untuk berargumentasi. Mereka juga memiliki perasaan, naluri, dan kebutuhan jasmani. Mereka juga harus bertanggungjawab kepada Allah swt. dalam upaya kontribusinya pada masyarakat Islam untuk menggapai ridha Allah swt. Jadi, Islam tidak membedakan seruan kepada laki – laki dan perempuan untuk menggunakan kemampuan berpikir mereka dalam rangka memahami dunia ini dan kenapa dunia ini diciptakan. Islam memerintahkan mereka untuk shalat, puasa, dan menunaikan ibadah haji. Islam juga tidak hanya berhenti sampai pada permasalahan keyakinan dan ibadah individual semata, karena Islam adalah sebuah pandangan hidup yang lengkap. Islam juga memerintahkan keduanya untuk berhubungan dalam sebuah urusan kemasyarakatan, seperti jual beli, sewa menyewa, pertanian, perdagangan, pernikahan, peradilan, penyediaan pengobatan medis, pemilihan dan permintaan pertanggungjawaban penguasa. Islam juga mewajibkan menuntut dan mengajarkan ilmu baik kepada laki – laki maupun perempuan.
Bagaimanakah minoritas non-Muslim diperlakukan dalam Khilafah Islam?
Tidak satupun orang yang menolak fakta bahwa dunia Islam pernah diperintah dan diatur oleh sebuah Negara Islam. Sangat banyak orang – orang non Muslim yang hidup di bawah bendera Islam selama 13 abad lebih. Selama periode tersebut non muslim memiliki standard hidup yang tinggi sebagaimana layaknya kaum muslimin. Mereka menikmati hak yang sama, kemakmuran, kebahagiaan, ketenangan, dan keamanan.
Kaum Muslimin hanya bermasalah dengan kaum non Muslim semenjak penghapusan Negara Islam dan hidup di bawah penguasaan kaum colonial.
Dengan menelusuri sejarah Islam secara keseluruhan jelas sekali bahwa kaum non Muslim hidup di antara kaum muslimin di bawah aturan Islam. Seorang ibu yang beragama Kristen akan menyusui anaknya yang Muslim, kaum laki – laki muslim juga boleh menikahi perempuan Kristen ataupun yahudi. Kaum muslimin akan membuat akad – akad tertentu berkaitan dengan urusan – urusan kehidupan umum. Kaum yahudi dan Kristen disebut dengan sebutan Ahlul Dzimma, yaitu orang yang telah terikat perjanjian. Rasulullah saw. Mengatakan, “Siapa saja yang menganiaya seorang kafir dzimmi maka aku akan menjadi musuhnya dan membantahnya di hari pembalasan.”
Imam Qarafi mengatakan, “Menjadi tanggung jawab kaum muslimin kepada ahlul dzimma untuk melindungi mereka karena kelemahan mereka, memenuhi kebutuhan mereka karena kemiskinannya, memberi makan karena laparnya mereka, menyediakan sandang bagi mereka, dan memperlakukan mereka secara sopan dan bahkan memaafkan kesalahan mereka jika mereka adalah tetangga kita, meskipun kita dapat membalasnya. Kaum muslimin juga harus menasehati mereka dengan tulus dan melindungi mereka melawan siapapun yang mencoba untuk menyakiti mereka atau keluarga mereka, mencuri harta mereka, ataupun melanggar hak – hak mereka.”
Bagaimana Islam memandang Kapitalisme?
Dasar dari keberadaan ideology kapitalisme adalah aqidah kapitalis itu sendiri yaitu pemisahan antara agama dari kehidupan. Aqidah ini tidak lahir dari proses rasional, ataupun dari proses logis, melainkan lahir dari kompromi antara dua ide yang kontradiksi. Seruan itu adalah seruan para pendeta untuk menyerahkan segala yang dimiliki dalam kehidupan ini ke “agama”, dengan ide – ide yang dicetuskan oleh para pemikir dan filosof yang disebut dengan penolakan akan eksistensi pencipta.
Maka pemisahan agama dari kehidupan adalah sebuah solusi kompromi antara dua sisi ini. Sebuah solusi kompromi dapat dipahami bila itu terjadi antara dua pandangan yang serupa dan di
Akan tetapi perkataan yang menyatakan bahwa tidak penting apakah sang Pencipta itu eksis ataukah tidak akan membawa pikiran kita kepada ketidakpuasan dan menyebabkan ketidaktentraman jiwa. Oleh karena itu fakta menunjukkan bahwa doktrin kapitalis adalah hasil dari kompromi antara ide yang mengakui keberadaan sang Pencipta dengan ide yang menolak keberadaan sang Pencipta ini. Akal akan membawa kita pada kesimpulan bahwa terdapat sang Pencipta yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Serta sang Pencipta tersebut telah menurunkan sebuah system untuk manusia agar digunakan dalam kehidupan ini dan dia akan meminta pertanggungjawaban kepada kita kelak tentang ketaatan kita terhadap aturanNya. Cukuplah bagi kita untuk membongkar kesalahan – kesalahan kapitalisme dengan mengetahui fakta bahwa aqidah kapitalisme ini berasal dari kompromi antara dua ide yang kontradiksi dan aqidah kapitalisme ini sama sekali tidak dibangun atas dasar pemikiran rasional.
Posted by Harist al Jawi at 7:56 PM 0 comments
Labels: Artikel Politik
Saturday, August 25, 2007
Memahami POLITIK LUAR NEGERI Daulah Islamiyah
Oleh Iyad Hilal, MA
Daulah Islamiyah wajib menerapkan hukum Allah secara sempurna di dalam negeri, mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia, dan mengadopsi seluruh hubungannya dengan negara-negara lain atas dasar hukum Islam. Pengembangan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia tidak akan sempurna kecuali dengan metode (tharîqah) yang datang dari wahyu. Wahyu telah memerintahkan jihad fi sabilillah sebagai metode untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk menerapkan Islam atas seluruh umat manusia sekaligus agar mereka melihat dan merasakan bagaimana Islam benar-benar hidup di dalam realitas kehidupan, bukan sekadar kata-kata ataupun topik yang diseminarkan.
Sikap Daulah Islamiyah seperti ini membawanya terjun ke dalam dua jenis pergulatan, yaitu ash-shirâ‘ al-fikrî dan ash-shirâ‘ as-siyasî (pergulatan pemikiran dan politik) dengan seluruh negara-negara yang ada di dunia, di samping ash-shirâ‘ al mâdî ad-dumuwwî (pergulatan fisik dan darah) dengan negara-negara yang berperang dengannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa kondisi ini mengharuskan diumumkannya perang secara sekaligus atau serentak kepada seluruh dunia, karena hal itu tidak mungkin dilakukan secara praktis. Pergulatan dengan seluruh negara-negara di dunia akan mengakibatkan negara-negara tersebut berkumpul dalam satu aliansi yang sangat kuat untuk melawan Daulah Islamiyah. Hal ini tidak akan memberi kebaikan bagi Daulah Islamiyah sedikitpun.
Pergulatan politik merupakan perkara yang harus dilakukan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi karena sudah menjadi tabiat Islam yang berseberangan dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia seluruhnya. Konsekuensinya, Daulah Islamiyah harus terjun dalam pergulatan politik dengan seluruh negara yang ada.
Pergulatan politik sangat berbeda dengan pergulatan fisik (militer) yang amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Pergulatan fisik merupakan cara paling akhir yang dipakai jika cara-cara lain telah gagal. Simpul itu wajib dipecahkan dengan ‘pedang’ ketika sulit diuraikan dengan cara lain.
Rasulullah saw. telah melakukan langkah-langkah strategis dan taktis, yakni membuat perjanjian dengan sebagian kabilah dan memerangi sebagian lainnya. Itu dilakukan tatkala beliau menandatangani Perjanjian Hudaibiyah agar dapat berkonsentrasi untuk memukul kekuatan Yahudi yang masih bercokol di Khaibar serta senantiasa mengancam eksistensi dan kepentingan Daulah Islamiyah. Demikian juga ketika beliau mengikat perjanjian dengan kabilah-kabilah yang berada di seputar wilayah Quraisy agar dapat terfokus menyerang Quraisy. Orang yang mengikuti sirah Rasulullah saw. akan melihat bahwa beliau pertama-tama mengikat perjanjian gencatan senjata dengan kabilah-kabilah di sekitar Quraisy untuk memukul Quraisy. Setelah itu, beliau membuat perjanjian dengan Quraisy untuk memukul Khaibar. Setelah Quraisy dapat dikunci posisinya, beliau mempersiapkan serangannya untuk memukul Romawi yang merupakan negara adidaya di dunia saat itu. Semua ini terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Dengan itu, Rasulullah saw. mampu mengangkat pamor Daulah Islamiyah; dari negara yang bersifat lokal menjadi negara yang menyaingi negara-negara besar. Semua itu dilakukan dalam rangka mengemban dakwah Islam yang memang wajib beliau kembangkan.
Politik Luar Negeri (Polugri) Daulah Islamiyah
Daulah Islamiyah wajib mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan metoda yang telah dijalankan oleh Rasulullah saw., yaitu jihad fi sabilillaah. Perkara ini sama sekali tidak boleh dilalaikan. Melalaikannya sama saja dengan melalaikan dakwah Islam dan berlepas diri dari kewajiban mengemban dakwah.
Dakwah Islam ke luar negeri yang dilakukan Daulah Islamiyah melalui jihad menunjukkan bahwa asal dari hubungan luar negeri Daulah Islamiyah dengan darul kufur (negara-negara kafir) adalah al-harb (perang). Kondisi perang—baik muhâriban hukman atau muhâriban fi‘lan—ini menjadi basis hubungan luar negeri sampai darul kufur tunduk pada pemerintahan Islam dan sampai umat manusia dibiarkan menganut apa yang mereka yakini tanpa ada paksaan atau tekanan. Pemahaman ini adalah pemahaman para fukaha dan kaum Muslim terdahulu (Lihat: al-Mughni, jld. 8/345; al-Mabsûth, jld. 10/2; al-Umm, jld. 3/160; Bidâyah al-Mujtahid, jld. I/308).
Islam telah membagi dunia ini menjadi dua, yaitu darul Islam (Daulah Islamiyah) dan darul kufur. Daulah Islamiyah (negara Islam) adalah negara yang satu, yang wajib mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Pengembanan dakwah Islam adalah asas politik luar negeri bagi Daulah Islamiyah. Inilah yang menjadi landasan dibangunnya hubungan Daulah Islamiyah dengan negara-negara lain.
Titik-tolak Daulah Islamiyah untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia melalui jihad bermaknan bahwa negara menjadikan peperangan (al-harb) sebagai asal dalam (menjalin) hubungannya dengan negara lain. Meskipun demikian, bukan berarti Daulah Islamiyah harus selalu menyulut api peperangan secara terus-menerus dengan seluruh negara yang ada di dunia meskipun negara-negara tersebut memusuhi Islam dan melakukan konspirasi melawannya. Sebab, kadangkala negara Islam tidak memiliki kemampuan untuk berperang karena sebab-sebab tertentu, seperti tidak adanya kondisi yang tepat untuk berperang, atau karena negara sedang memfokuskan peperangan di medan (perang) lain. Bahkan, kadangkala negara terpaksa menghentikan peperangan karena satu keadaan atau beberapa keadaan. Meskipun demikian, aktivitas jihad fi sabilillah yang dilakukan Daulah Islamiyah tetap melalui prosedur syariat, sebagaimana yang dikandung di dalam Hadis Nabi saw. berikut:
أَدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ أَدْعُهُمْ إِلَىالتَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَاعَلَى اْلمُهَاجِرِيْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَّتَحَوَّلُوْا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُوْنُوْنَ كَأَعْرَابِ اْلمُسْلِمِيْنَ يَجْرِيْ عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِيْ يَجْرِيْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ فِيْ الفَيْءِ وَالْغَنِيْمَةِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوْا مَعَ اْلمُسْلِمِيْنَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ اْلجِزْيَةَ، فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ، وَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ
Ajaklah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menerima seruanmu itu maka terimalah hal itu dari mereka dan hentikanlah peperangan. Kemudian, ajaklah mereka untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Muhajirin. Beritahukan kepada mereka, bahwa jika mereka menerima hal itu maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang Muhajirin. Jika mereka menolak untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Islam maka beritahukan kepada mereka, bahwa kedudukan mereka seperti orang-orang Arab Badwi dari kaum Muslim, yaitu diterapkan hukum Allah atas mereka sebagaimana diterapkan atas kaum Muslim, dan mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari fai’ dan ghanîmah, kecuali jika mereka turut berjihad dengan kaum Muslim. Apabila mereka menolaknya maka pungutlah atas mereka jizyah. Jika mereka menerima hal itu maka janganlah engkau memerangi mereka. Namun, apabila mereka menolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. (HR Muslim dan Ahmad, dengan lafal Muslim).
Dengan kata lain, sebelum melakukan perang (jihad fi sabilillah), Daulah Islamiyah terlebih dahulu menawarkan beberapa alternatif: (1) Memeluk Islam; (2) Bergabung dan tunduk terhadap Daulah Islamiyah serta bagi ahl adz-dzimmah diberi kebebasan untuk menganut agamanya masing-masing dengan membayar jizyah; (3) Jika dua pilihan tersebut ditolak, berarti secara syar‘î, Daulah Islamiyah berhak memerangi mereka dengan jihad fi sabilillah.
Itulah yang Rasulullah saw. tunjukkan kepada kita melalui aktivitas beliau dengan mengirimkan belasan utusan kepada para raja maupun kaisar di darul kufur. Isi surat yang disampaikan kepada para raja tersebut menunjukkan ajakan Rasulullah saw. untuk memeluk Islam atau—jika mereka menolak— bersedia tunduk di bawah kekuasaan Islam dengan membayar jizyah (sebagai tanda ketundukan mereka terhadap Daulah Islamiyah). Jika dua pilihan tersebut mereka tolak, Daulah Islamiyah secara syar‘î berhak melakukan futuhat (invansi terbuka) untuk menghancurkan penghalang-penghalang fisik bagi sampainya Islam kepada penduduk darul kufur tersebut. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa futuhat Islam ke negara Persia (wilayah Iran dan Irak), Romawi (wilayah Syam), maupun Mesir didahului oleh ajakan untuk memenuhi dua alternatif tersebut.
Pengakuan Daulah Islamiyah atas Darul Kufur
Secara syar‘î, Daulah Islamiyah tidak mengakui keberadaan darul kufur. Pengakuan atas keberadaan darul kufur hanya didasarkan pada realitas politik yang memang ada. Berdasarkan asas (pengakuan) ini, Daulah Islamiyah mengadopsi hubungan-hubungannya dengan negara-negara lain dan bergaul dengan mereka. Rasulullah saw. mengadakan hubungan dengan negara-negara kufur yang mengelilinginya dan mengakui keberadaannya sebagai suatu realitas politik, namun tidak sebagai realitas syar‘î.
Karena Daulah Islamiyah tidak mengakui secara syar‘î keberadaan negara-negara lain (yang termasuk darul kufur), maka asas yang menjadi dasar berdirinya Daulah Islamiyah juga bertentangan dengan asas berdirinya negara-negara lain. Akidah Islam adalah asas Daulah Islamiyah, asas konstitusi dan perundang-undangannya, serta asas di dalam melakukan muhâsabah (pengawasan, koreksi) terhadap negara. Sebaliknya, negara-negara lain ada yang menggunakan ideologi komunis (yang mengingkari adanya Pencipta) atau mengambil ideologi kapitalis (yang memisahkan agama dari kehidupan) sebagai asasnya. Ada juga negara yang tidak mengambil akidah apapun sehingga negara tersebut tidak berdiri di atas landasan yang bersifat akidah. Semua ini sangat berbeda dengan Daulah Islamiyah.
Berdasarkan hal ini maka seluruh struktur yang tidak Islami merupakan struktur yang batil dan tidak diakui oleh negara Islam (‘Abdul Karim Zaidan, Majmû‘ât al-Buhûts al-Fiqhiyyah, hlm. 52-54). Sebab, adanya pengakuan atas semua itu berarti sama saja dengan penerimaan total atas keberadaannya. Padahal, Islam tidak menerima keberadaan kekufuran secara mutlak.
Meskipun Daulah Islamiyah tidak mengakui darul kufur secara syar‘î, bukan berarti peperangan selalu terjadi antara negara Islam secara terus-menerus. Daulah Islamiyah kadang-kadang terikat perjanjian dengan sebagian negara dan berperang dengan sebagian yang lain. Kadang-kadang ada negara yang tidak mengikat perjanjian dengan negara Islam dan tidak pula berperang dengan dengan negara Islam.
Rasulullah saw. membuat berbagai perjanjian sebagai cara untuk memecah-belah kekuatan musuh, seperti yang terjadi pada Perang Ahzab. Rasulullah saw. telah bersiap-siap untuk memerangi mereka seluruhnya. Setelah pengepungan atas Madinah berlarut-larut, beliau berniat untuk mengikat perjanjian dengan sebagian kabilah. Akan tetapi, sikap Sa‘ad bin ‘Ubadah dan Sa‘ad bin Mu‘adz membuat Rasulullah saw. mengurungkan perjanjian tersebut. Beliau kemudian bersiap untuk memerangi seluruh kabilah sekaligus sampai Allah memenangkan beliau dengan kemenangan yang didukung oleh-Nya.
Semua ini memperlihatkan kepada kita bahwa memerangi suatu negara dan mengikat perjanjian dengan negara lainnya, memecah-belah persatuan musuh, atau menghadapi musuh yang bersatu merupakan perkara-perkara yang mubah yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Berbagai perjanjian yang dibuat oleh negara dapat dimanfaatkan oleh negara pada saat melakukan pergulatan politik maupun fisik sekaligus. Negara dapat menggunakannya ketika melakukan aktivitas politik maupaun militer. Perjanjian di bidang perdagangan dengan negara tertentu tiada lain sesuai dengan kepentingan dakwah. Bahkan, aktivitas-aktivitas politik semacam ini jauh lebih penting dari aktivitas-aktivitas militer yang digunakan sebagai alternatif terakhir. Rasulullah saw. telah meminta kepada tentara yang beliau kirim untuk menawarkan Islam, jizyah, atau perang. Lebih dari itu, Rasulullah saw. melakukan sendiri kontak-kontak dengan para raja yang ada di sekitarnya. Penawaran dan kontak ini merupakan aktivitas politik yang tidak bisa dilalaikan sama sekali dan tidak boleh diremehkan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dalam hubungannya dengan Daulah Islamiyah, kita dapat membagi negara-negara lain menjadi tiga:
(1) Negara-negara muhâribah fi‘lan (secara de facto dalam kondisi perang), seperti Israel. Artinya, perang pada dasarnya sedang berlangsung antara kum Muslim dengan institusi tersebut.
(2) Negara-negara muhâribah hukman (secara de jure dalam kondisi perang), seperti negara imperialis Inggris atau negara-negara yang sangat berambisi menguasai kita seperti Rusia dan Amerika.
(3) Negara-negara yang terikat dengan kita melalui sejumlah perjanjian dan kesepakatan tertentu.
Perlu diingat bahwa negara apapun dapat berubah statusnya sesuai dengan situasi dan kondisi. Misalnya saja AS. Sebelum melakukan ekspansi terhadap Kuwait dan sebagian wilayah Irak pada Perang Teluk, AS tergolong negara-negara yang muhâribah hukman. Akan tetapi, setelah negara ini memerangi Irak, statusnya berubah menjadi negara muhâribah fi‘lan. Apalagi AS secara biadab melakukan invasi terhadap Afganistan dan membantai ribuan kaum Muslim melalui pemboman yang dahsyat dan membabi buta. Hal ini tergolong perkara yang bisa berubah sesuai dengan perubahan fakta.
Oleh karena itu, kaum Muslim wajib untuk mengubah negeri-negeri mereka dari darul kufur menjadi darul Islam dengan cara melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui pendirian Daulah Islamiyah atau mengembalikan lagi Khilafah Islamiyah setelah diruntuhkan pada tahun 1924 M. Kekhilafahan inilah yang akan menyatukan negeri-negeri Islam dan berusaha untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia dan mengembannya dengan tharîqah (metode) yang dikehendaki oleh Islam.
Sesungguhnya hal ini merupakan perkara utama yang dihadapi kaum Muslim, yang karenanya tidak boleh diremehkan. Mengecilkan perkara ini akan mengakibatkan kehinaan di dunia serta kesengsaraan dan azab yang amat pedih di akhirat. []
Iyad Hilal, MA, pengamat Politik Islam Internasional, alumnus Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh.
Posted by Harist al Jawi at 8:32 PM 71 comments
Labels: Artikel Politik