Kami telah mengatakan bahwa kebangkitan itu adalah meningkatnya tarap berpikir. Tingkat pemikiran yang tinggi adalah pemikiran yang bersifat menyeluruh dan mendalam. Dikatakan menyeluruh karena pemikiran tersebut meliputi segala sesuatu yang ada yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Dikatakan mendalam karena pemikiran tersebut didasarkan pada pengkajian atas hakekat segala sesuatu yang ada tersebut yaitu apakah semua itu bersifat azali atau merupakan makhluk yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta. Berdasarkan hal itu, sesungguhnya kebangkitan itu tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan adanya mabda (ideologi) yang tegak di atas akidah akliyah, yang akan melahirkan sistem peraturan. Mabda itu merupakan asas pemikiran yang terdapat dalam kehidupan manusia dan merupakan faktor yang menentukan makna keberadaan manusia dalam kehidupan.
{“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif (kecenderungan pada agama yang benar) dan aku tidaklah termasuk pada golongan oang-orang yang musyrik.”}(Q. S. Al-An’am: 79). {“Katakanlah,”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku diperintahkan dengan hal itu dan aku termasuk orang-orang yang pertama berserah diri.”}(Q. S. Al-An’am: 162).
Itulah jawaban dari makna keberadaannya dalam kehidupan. {“Sesungguhnya kami berasal dari Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya.”}(Q. S. Al-Baqarah: 156). Maksudnya, bahwa akidah yang merupakan asas dari mabda (ideologi) itu juga merupakan asas bagi kehidupan individu, asas bagi kehidupan masyarakat dan asas bagi negara. Akidah itu adalah keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari kiamat.
Dari akidah tersebut lahir seluruh solusi bagi permasalahan manusia. Akidah itu juga menjelaskan tiga hubungan manusia yaitu hubungan manusia dengan dengan Penciptanya berupa ibadah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri berupa akhlak dan hubungan manusia dengan sesamanya berupa muamalah. Syariat kita tidak meninggalkan sebuah perkara pun kecuali ada penjelasannya dan tidak ada sebuah perbuatan pun kecuali ada hukumnya. Itulah manhaj kehidupan yang sempurna. Manusia akan dimintai pertanggungjawabannya atas semua perkara yang dia lakukan atau dia peroleh dalam kehidupan ini, berdasarkan manhaj tersebut. {“Siapa saja yang berbuat kebaikan walaupun sebesar biji dzarrah maka dia akan melihatnya dan siapa saja yang berbuat keburukan walaupun sebesar biji dzarrah maka dia pun akan melihatnya.”}(Q. S. Al-Zalzalah: 8). {“Milik Allah lah semua yang ada di langit dan di bumi. Apabila kalian menampakkan apa yang ada dalam diri kalian ataupun menyembunyikannya maka Allah akan meminta pertanggungjawabannya kepada kalian.”}(Q. S. Al-Baqarah: 284).
Akidah juga telah menjelaskan bahwa aktivitas manusia yang paling utama adalah mengemban risalah ini, menunaikan amanah ini dan menyebarkan agama ini. {“Dan siapa lagi yang lebih baik perkataannya dari orang yang menyeru kepada Allah dan berbuat amal saleh serta berkata,”Sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri.”}(Q. S. Fushilat: 33). Allah SWT berfirman: {“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik serta berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui mengenai orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih mengetahui mengenai orang-orang yang mendapat petunjuk.”}(Q. S. An-Nahl: 125). Allah SWT juga berfirman: {“Katakanlah,”Apabila bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, keluarga kalian, harta yang kalian kelola, perdagangan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”}(Q. S. At-Taubah: 24). Allah SWT berfirman: {“Kamu tidak akan menemukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka itu adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau keluarga mereka.”}(Q. S. Al-Mujadilah: 22).
Akidah mabda tersebut tidak hanya sebatas pada solusi-solusi dan pengembanan dakwah semata, melainkan menjelaskan pula hal-hal sebagai berikut:
1. Tata cara mewujudkan mabda (ideologi) tersebut dalam realitas kehidupan, membangkitkan umat berdasarkan ideologi itu, membangun negara yang akan menerapkan ideologi tersebut dalam kancah kehidupan dan mengembannya ke seluruh dunia. Hal itu berdasarkan pada jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW, sirah beliau dan tahapan-tahapan yang beliau tempuh. {“Sungguh, dalam diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagi kalian.”}(Q. S. Al-Ahzab: 21).
2. Menjelaskan pula thariqah (metode) praktis untuk menjaga ideologi itu sendiri, menjaga akidah, menjaga masyarakat dan menjaga negara. Hal itu dilakukan dengan cara menjatuhkan hukum-hukumnya hingga hukuman mati terhadap orang yang berupaya menghancurkan akidah atau masyarakat atau negara tersebut. Hal itu juga dilakukan dengan cara mengangkat orang yang akan menjadi wakil kaum muslimin (khalifah) untuk menjalankan hukum-hukum tersebut.
3. Menjelaskan tata cara penerapan solusi-solusi tersebut sehingga tidak hanya sebatas nasehat, saran dan petunjuk semata melainkan kepala negara (khalifah) harus memerintahkan untuk menerapkan hukum-hukum tersebut baik yang menyangkut ibadah atau akhlak ataupun muamalat. Kepala negara harus memerintahkan untuk menerapkan sanksi terhadap setiap orang yang melalaikan ibadah seperti shalat atau shaum ataupun zakat. Kepala negara juga harus memerintahkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap orang yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan sifat-sifat dan akhlak kaum muslimin atau terhadap orang yang memakan makanan yang haram atau meminum minuman yang haram. Dengan demikian, tidak ada kebebasan bagi manusia untuk makan atau minum apa saja.
Sanksi tersebut dijatuhkan terhadap pelanggaran hukum syara apapun. Hal itu dilakukan untuk menjaga kehormatan manusia, kemuliaan mereka, nasab (keturunan) mereka dan harta mereka. Misalnya hukuman mati terhadap orang yang melakukan pembunuhan, hukuman cambuk bagi qadzaf (orang yang membuat tuduhan palsu), hukuman mati bagi pezina muhshan (yang sudah pernah menikah) dan potong tangan bagi pencuri. Sanksi itu juga dilaksanakan untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat dalam kehidupan mereka dengan cara menjatuhkan sanksi yang dapat membuat jera para pembuat kerusakan di muka bumi seperti hukuman mati, penyaliban, pemotongan bagian tubuh secara menyilang dan pengasingan.
4. Adapun berkaitan dengan pengembanan dakwah, maka hal itu merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin. Diwajibkan pula bagi kepala negara untuk menyiapkan pasukan tentara dan untuk memerangi orang-orang kafir dalam rangka pemberlakuan hukum Islam terhadap mereka atau dalam rangka menjaga hubungan-hubungan kaum muslimin dengan mereka seperti perjanjian, penarikan jizyah dan sebagainya. Hal itu telah dijelaskan dalam ratusan ayat Al-Quran Al-Karim dan dalam ratusan hadits.
Dalam rangka mencapai ketinggian pemikiran tersebut –yakni kebangkitan- maka Islam telah menetapkan tsaqafah yang wajib dipelajari oleh kaum muslimin dan juga menetapkan tata cara tsaqafah tersebut diambil. Adapun tsaqafah Islam itu adalah sebagai berikut:
Pertama, apa-apa yang memuat akidah Islam seperti Al-Quran dan As-Sunnah.
Kedua, apa-apa yang pembahasannya disebabkan (diharuskan) oleh akidah Islam seperti ilmu bahasa Arab.
Adapun apa-apa yang yang memuat akidah Islam, maka hal itu merupakan kumpulan nash-nash yang terkandung dalam Kitabullah, syarah (penjelasan) dan tafsirnya, penjelasan mengenai pemikiran-pemikiran dan hukum-hukumnya, penjelasan mengenai hujah-hujah dan bukti nyata –bukti yang tidak meninggalkan keraguan bahwa Al-Quran dan As-Sunnah itu adalah wahyu dari Allah dan bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW tidak lain adalah wahyu dari sisi Allah- serta penjelasan lainnya yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits.
Adapun apa-apa yang pembahasannya disebabkan (diharuskan) oleh akidah Islam, maka seperti yang sudah diketahui bahwa Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Demikian pula hadits-hadits Rasulullah SAW adalah bahasa Arab juga. Tidak mungkin memahami keduanya kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Arab dengan seluruh cabangnya merupakan salah satu perkara yang pembahasannya disebabkan (diharuskan) oleh akidah Islam.
Demikian pula, mutaba’ah (monitoring) terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, pengetahuan tentang fakta dan pemahaman mengenai penetapan hukum syara atas peristiwa-peristiwa tersebut atau untuk menjelaskan hukum Allah atas peristiwa-peritiwa tersebut atau untuk mengungkapkan pertentangan peristiwa itu dengan pemikiran-pemikiran Islam dan hukum-hukumnya; semua itu merupakan perkara yang pembahasannya disebabkan (diharuskan) oleh akidah Islam.
Demikian pula, pengetahuan sejarah beserta hakekat dan peristiwa-peristiwanya -yang digunakan dalam rangka mengetahui fakta umat Islam di masa lampau, untuk mengetahui tata cara pemberlakuan Islam oleh para khalifah dan untuk mengetahui negeri-negeri yang di dalamnya dikibarkan panji-panji Islam- juga merupakan perkara yang pembahasannya disebabkan (diharuskan) oleh akidah Islam.
Terakhir, pengetahuan terhadap fakta internasional dan hubungan-hubungan internasional serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di negeri-negeri kaum muslimin, juga merupakan perkara yang dituntut oleh akidah Islam sehingga memungkinkan kaum muslimin untuk menjalankan perannya dalam kehidupan dan untuk menjadi saksi atas manusia.
Adapun metode untuk mengambil semua pengetahuan tersebut, maka hal itu harus dilakukan dengan pengambilan yang bersifat pemikiran sehingga dapat mengkristal menjadi pemahaman-pemahaman yang akan berpengaruh terhadap perilaku manusia dan membimbing mereka meniti jalan yang lurus. Hal itu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Pertama, hendaklah memahami fakta yang hendak dipecahkan itu dengan pemahaman yang dapat menghilangkan semua kesamaran dan ketidakjelasan serta menghindari pengetahuan yang bersifat umum dan kabur.
Kedua, hendaklah memahami fakta nash-nash atau pemikiran-pemikiran dan makna-makna yang dikandungnya sesuai dengan makna yang bersifat etimologis (bahasa) atau makna yang bersifat istilah atau makna yang bersifat syar’i dan memahami topik yang dikandungnya dengan pemahaman yang dapat menjelaskan aspek ‘ilat atau syarat atau mani’ atau sebabnya.
Ketiga, melakukan tashdiq (pengakuan bahwa perkara itu benar, pen.) atas pengetahuan-pengetahuan tersebut -dengan cara mengukurnya berdasarkan qaidah fikriyah yaitu akidah Islam dan berdasarkan dalil-dalil dan standar-standar yang dikandung akidah Islam tersebut- dengan pembenaran yang dapat mengubah pengetahuan tersebut dalam jiwa manusia dari hanya sekadar pemikiran yang memiliki fakta menjadi sebuah pemahaman. Maksudnya, hingga pengetahuan itu menjadi pemikiran yang dipahami faktanya dan terjadi proses pembenaran terhadap fakta tersebut. Dengan demikian, hal itu akan memberikan pengaruh terhadap tingkah laku individu.
Keempat, hendaklah pengetahuan tersebut diambil dalam rangka untuk diamalkan dan untuk disebarkan ke seluruh dunia.
Kelima, hendaklah semuanya itu dilakukan dengan metode yang mutsiratan (membangkitkan) dan muatsiratan (mempengaruhi). Adapun keberadaannya yang membangkitkan, maka personifikasi fakta sehingga menjadi terindra oleh seseorang akan membangkitkan perasaan dan kesadarannya serta memperkuat perhatiannya. Sedangkan keberadaannya yang mempengaruhi, maka pengaplikasian pengetahuan tersebut terhadap faktanya dalam bentuk yang rinci dan pengkaitan pengetahuan tersebut dengan dalilnya yakni dikaitkan dengan akidah -sebagai qaidah fikriyah yang dia yakini- akan menjadikan pengetahuan itu berpengaruh terhadap manusia dan mendorongnya untuk beramal.
Hasil yang akan diraih dengan menjalankan metode ini adalah terbentuknya metode pemikiran yang produktif -yang dibangun berdasarkan qaidah fikriyah yang benar- di tengah-tengah umat. Metode itu juga akan mengantarkan pada kebangkitan dan kemajuan berpikir. Pemikiran itu tidak mungkin terus menerus disimpan dalam dirinya karena pengaruh dari pemikiran tersebut akan nampak dalam kehidupan. Hal itu terjadi karena pemikiran tersebut diambil dengan metode yang tepat yakni diambil berdasarkan pemahaman atas fakta pemikiran tersebut dan berdasarkan pemahaman atas fakta yang sesuai dengan pemikiran tersebut. Kemudian diikuti oleh tashdiq (pembenaran) terhadap fakta tersebut dengan tujuan untuk diamalkan bukan untuk kepuasan intelektual atau kebanggaan semata. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang alamiah bagi orang yang meyakini sebuah ideologi bahwa dia akan bertingkah laku sesuai dengan ideologinya itu. Dengan kata lain, ideologi itu akan menjadi qiyadah fikriyah, yang akan memberikan tuntunan kepada manusia dan menjadikan manusia itu mampu menuntun manusia lain dengan ideologinya itu.
Dengan demikian, akidah mereka akan menjadi qaidah fikriyah bagi mereka. Mereka akan membangun pemikiran-pemikiran mereka tentang alam semesta dan kehidupan berdasarkan qaidah fikriyah tersebut. Akidah itu juga akan menjadi qiyadah fikriyah yang akan melahirkan sistem peraturan dan hukum-hukum mereka dalam rangka mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan ijin Allah SWT, dalam rangka membuat mereka berjalan di jalan yang sempurna yakni di jalan kemajuan dan kebangkitan serta dalam rangka membuat manusia menjadi tahu apa makna keberadaan mereka dalam kehidupan.
Itulah kebangkitan dan itu pula tata cara yang akan mengantarkan pada kebangkitan tersebut. Segala puji milik Allah Tuhan semesta Alam. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mendengarkan perkataan kemudian mengikuti perkara-perkara yang baik dari perkataan tersebut.
No comments:
Post a Comment